Tindak Pidana Pertambangan Tanpa Izin
Thursday, 8 October 2015
Sudut Hukum | Tindak Pidana Pertambangan Tanpa Izin
Dalam kamus bahasa Indonesia pertambangan
adalah “urusan tambang menambang” yang berkata dasar tambang, yang berarti “lombong
tempat mengambil hasil dari dalam bumi”.[1] Tanpa,
memiliki arti “tidak dengan”.[2]
Sedangkan izin adalah “sikap atau pernyataan meluluskan/mengabulkan dan tidak
melarang”[3]. Secara
keseluruhan dapat diartikan urusan terkait kegiatan pengambilan hasil dari
dalam bumi yang dilakukan dengan tidak mendapatkan pernyataan terkait untuk
meluluskan/memperbolehkan hal tersebut dilakukan.
Pengertian Pertambangan dalam
Undang-Undang No. 4 tahun 2009 Pasal 1 Ayat 1 tentang Pertambangan
Mineral dan Batu Bara memiliki arti “Pertambangan adalah
sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan
pengusahaan mineral atau batu bara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi,
studi kelayakan, kontruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan
dan penjualan serta kegiatan pasca tambang. Pengertian izin disini adalah izin
untuk melakukan usaha pertambangan sebagaimana diatur dalam UU No. 4
tahun 2009, yang dikeluarkan oleh pejabat berwenang yaitu
Bupati/Gurbernur/Menteri sesuai Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP)
yang menjadi kewenangannya masing-masing”.
Sebagaimana telah diketahui di atas bahwa
Negara mempunyai hak menguasai atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya termasuk tambang. Berdasarkan hal tersebut setiap orang yang akan
melakukan pertambangan aturan mainnya wajib meminta izin terlebih dahulu
dari Negara/Pemerintah. Apabila terjadi kegiatan penambangan pelakunya tidak
memiliki izin, maka perbuatannya merupakan tindak pidana yang diatur
dalam Pasal 158 UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan[4] yang
berbunyi “Setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa IUP, IPR atau
IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 40 ayat (3), Pasal 48, Pasal 67
ayat (1), Pasal 74 ayat (1) atau (5) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh
miliar rupiah)”.
Macam-Macam Tindak Pidana di Bidang Pertambangan
Dalam UU Pertambangan selain
mengenal adanya tindak pidana Illegal
Mining juga terdapat bermacam-macam tindak pidana lainnya,
yang sebagian besar ditujukan kepada pelaku usaha pertambangan, dan hanya satu macam tindak pidana
yang ditujukan kepada pejabat penerbit izin di bidang pertambangan.
Tindak pidana tersebut adalah sebagai berikut :[5]
1. Tindak pidana melakukan pertambangan
tanpa izin
Sebagaimana telah diketahui diatas bahwa
negara mempunyai hak menguasai atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya termasuk tambang. Berdasarkan hal tersebut setiap orang yang akan
melakukan kegiatan pertambangan aturan mainnya wajib meminta izin lebih
dahulu dari negara/pemerintah.
Apabila terjadi kegiatan penambangan
pelakunya tidak memiliki izin, maka perbuatannya merupakan tindak pidana
yang diatur dalam Pasal 158 UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara yang berbunyi “Setiap orang yang melakukan usaha penambangan
tanpa IUP, IPR atau IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 40 ayat
(3), Pasal 48, Pasal 67 ayat (1), Pasal 74 ayat (1) atau (5) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah)”
2. Tindak pidana menyampaikan data
laporan keterangan palsu.
Dalam melaksanakan kegiatan pertambangan
dibutuhkan datadata atau keterangan-keterangan yang benar dibuat oleh pelaku usaha yang bersangkutan seperti data
studi kelayakan, laporan kegiatan usahanya, dan laporan penjualan hasil tambang, agar hal tersebut dapat dipertanggungjawabkan.
Perbuatan memberikan data atau laporan
yang tidak benar sebenarnya sanksinya sudah diatur dalam Pasal 263 KUHP tentang
Pemalsuan Surat. Oleh karena pemalsuan suratnya di bidang pertambangan
dan sudah diatur secara khusus, terhadap pelakunya dapat dipidana
berdasarkan Pasal 159 UU Pertambangan yang dapat dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00”.[6]
3. Tindak pidana melakukan
eksplorasi tanpa hak
Pada dasarnya untuk melakukan kegiatan
usaha pertambangan wajib memiliki izin dan setiap izin yang dikeluarkan ada dua kegiatan yang harus dilakukan yaitu untuk
eksplorasi dan eksploitasi. Kegiatan eksplorasi meliputi penyelidikan umum,
eksplorasi, dan studi kelayakan. Yang dimaksud eksplorasi adalah tahapan
kegiatan usaha pertambangan untuk memperoleh informasi secara terperinci
dan teliti tentang lokasi, bentuk, dimensi, sebaran kualitas, dan sumber daya
terukur dari bahan galian serta informasi mengenai lingkungan sosial dan
lingkungan hidup (Pasal 1 angka 15).
Oleh karena melakukan kegiatan eksplorasi
pertambangan didasarkan atas izin yang dikeluarkan pemerintah yaitu IUP
atau IUPK, maka eksplorasi yang dilakukan tanpa izin tersebut merupakan
perbuatan pidana yang diancam hukuman berdasarkan Pasal 160 Ayat
1 UU No. 4 Tahun 2009 dipidana dengan pidana kurungan paling lama
1 tahun atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00”.[7]
4. Tindak pidana sebagai pemegang
IUP eksplorasi tidak melakukan kegiatan operasi produksi
Orang yang melakukan kegiatan usaha pertambangan
pada prinsipnya melakukan penambangan dengan cara menggali tanah untuk
mendapatkan hasil tambang kemudian dijual dan akan memperoleh keuntungan.
Seperti diketahui di atas bahwa kegiatan usaha pertambangan terdiri atas
kegiatan eksplorasi dan eksploitasi.
Oleh karena terdapat dua tahap dalam
melakukan usaha pertambangan maka pelaksanaanya harus sesuai dengan
prosedur, melakukan kegiatan eksplorasi baru eksploitasi. Sehubungan dengan itu
khusus bagi pemegang IUP eksplorasi setelah melakukan kegiatan eksplorasi tidak
boleh melakukan operasi produksi sebelum memperoleh IUP Produksi. Pelanggaranya diancam dengan Pasal 160 Ayat 2 UU No. 4
Tahun 2009 yang dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun
dan denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00”.
Ketentuan tersebut digunakan pemerintah
sebagai alat untuk mengontrol perusahaan pertambangan yang nakal, ketika
melakukan kegiatan eksplorasi sesuai dengan izinnya langsung melakukan kegiatan
operasi produksi padahal belum menjadi pemegang IUP Eksploitasi.[8]
5. Tindak pidana pencucian barang
tambang
Dalam kegiatan keuangan dan perbankan
dikenal adanya pencucian uang atau money loundering, dimana uang yang berasal
dari kejahatan “dicuci” melalui perusahaan jasa keuangan agar menjadi uang yang
dianggap “bersih”. Di bidang pertambangan juga dapat terjadi pencucian
hasil tambang, penambang-penambang gelap dapat berhubungan dengan para
penambang yang memiliki izin untuk mengadakan transaksi hasil tambangnya
sehingga sampai kemasyarakat merupakan barang tambang yang sah.
Tindak pidana pencucian barang
tambang (mining loundering) dalam UU No.4 Tahun 2009 dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 tahun dan denda paling
banyak Rp 10.000.000.000,00”.
Untuk dapat membongkar kejahatan tersebut
tentu tidak mudah karena pada umumnya penambangan
dilakukan di daerah pedalaman yang biasanya jauh dari keramaian dan sepi petugas, sehingga dibutuhkan adanya pengawasan
intensif dengan kerja sama antara aparat Kementrian Pertambangan, Pemerintah
Daerah setempat dan Kepolisian.[9]
6. Tindak pidana menghalangi
kegiatan usaha pertambangan
Pengusaha pertambangan yang telah
memperoleh izin dari pejabat yang berwenang dapat segera melakukan kegiatannya sesuai lokasi yang diberikan. Dalam
melaksanakan kegiatan usaha pertambangan terkadang tidak dapat berjalan
lancar karena adanya gangguan dari warga masyarakat setempat.
Gangguan tersebut terjadi antara lain
karena disebabkan jalan menjadi rusak akibat dilalui kendaraan-kendaraan berat,
sungai dan sawah tertutup tanah galian, tanaman menjadi rusak, dan lain-lain.
Warga yang merasa dirugikan biasanya
protes dengan menghalangi dengan berbagai cara agar penambangan tidak diteruskan.
Terhadap perbuatan yang menggangu kegiatan usaha pertambangan tersebut
merupakan tindak pidana yang diancam dengan Pasal 162 UU No. 32 Tahun
2009, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun atau
denda paling banyak Rp 100.000.000,00”.
Akibat adanya gangguan dari masyarakat
akan merepotkan pengusaha pertambangan karena proyeknya tidak dapat
jalan, sebaiknya hal tersebut telah tergambar dalam analisis risiko sehingga
pengusaha dapat menghindari akan timbulnya risiko yang akan terjadi. Misalnya
jika jalan yang dilewati menuju proyek sebelum rusak berat segera diperbaiki
tentu masyarakat akan senang.[10]
7. Tindak pidana yang berkaitan
dengan penyalahgunaan wewenang pejabat pemberi izin
Ketentuan pidana yang telah
dibicarakan di atas lebih banyak ditujukan kepada perbuatan yang dilakukan oleh penerima/pemegang izin tambang. Selain
itu UU Pertambangan juga mengatur tentang tindak pidana yang
ditujukan kepada pejabat
pemberi izin sebagaimana Pasal 165 yang
berbunyi : “Setiap orang yang mengeluarkan IUP, IPR, atau IUPK yang
bertentangan dengan undang-undang ini dan menyalahgunakan kewenangannya diberi
sanksi pidana paling lama 2 tahun penjara dan denda paling banyak Rp
200.000.000,00”.
Perbuatan penyalahgunaan kewenangan
sifatnya luas tetapi terhadap pejabat penerbit izin tersebut dibatasi sepanjang
perbuatan penerbitan IUP, IPR, atau IUPK saja. Tujuan diaturnya tindak pidana ini agar pejabat tersebut dapat bekerja dengan
baik dan melayani kepentingan masyarakat dengan
semestinya.[11]
8. Tindak Pidana yang Pelakunya
Badan Hukum
Badan hukum adalah sekelompok
orang yang terkait suatu organisasi yang dipandang sebagai manusia pada umumnya. Suatu organisasi
disebut badan hukum apabila akta pendiriannya disahkan oleh pemerintah.
Untuk perusahaan yang berbentuk perseroan terbatas, pengesahan akta
pendiriannya dilakukan oleh Menteri Hukum dan Ham dan diumumkan dalam
berita Negara RI.
Dalam badan hukum kegiatannya
dilakukan oleh pengurusnya. Oleh karena badan hukum dipandang sebagai manusia maka badan hukum dapat menjadi pelaku pidana dan yang
bertanggung jawab adalah pengurusnya.
Dalam tindak pidana di bidang pertambangan
badan hukum dapat sebagai pelaku pidananya sebagaimana diatur pada Pasal
163 Ayat 1 UU No. 4 Tahun 2009. Meskipun
demikian dalam undang- undang tersebut tidak memberikan pengertian tentang badan hukum. Istilah badan hukum disinggung dalam
pengertian badan usaha (Pasal 1 angka 23). Badan usaha adalah setiap badan hukum
yang bergerak dibidang pertambangan yang didirikan berdasarkan hukum
Indonesia dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sehubungan dengan itu dalam UU No. 4
Tahun 2009 pelaku usaha di bidang pertambangan dalam Pasal 38 dan Pasal 65
terdiri atas badan usaha, koperasi, dan
perseorangan. Kemudian dalam PP No. 23 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Kegiatan
Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara, badan usaha dapat berupa badan
usaha, swasta, BUMN, atau BUMD, sedangkan perorangan dapat berupa orang
perseorangan, perusahaan firma, atau perusahaan komanditer.
Memperhatikan ketentuan badan hukum
dalam UU No. 4 Tahun 2009 tersebut hanya tertuju kepada badan usaha saja yaitu badan
usaha swasta berupa perseroan terbatas (UU No. 40 Tahun 2007), BUMN, dan BUMD.
Oleh karena UU No. 4 Tahun 2009 sebagai lex spesialis maka perusahaan pertambangan
yang berbentuk koperasi yang didirikan berdasarkan UU No. 25 Tahun 1992 dan
akta pendiriannya disahkan oleh Menteri Transmigrasi dan Koperasi, tampaknya
tidak termasuk dalam pengertian badan hukum dalam UU No. 4 Tahun 2009.
Jika koperasi melakukan tindak pidana di bidang pertambangan yang
dapat dituntut hanyalah orang perorangan yang ada dalam koperasi sedangkan
koperasi sebagai badan hukum tidak dapat dituntut dan dihukum pidana.
Kekurangan yang ada dalam UU No. 4 Tahun
2009 adalah tidak mengatur tentang korporasi yang dapat sebagai pelaku pidana
seperti dalam undang-undang yang lain yaitu UU Penerbangan, UU Perikanan, UU
Narkotika. Ole karena korporasi pengertiannya mencakup sekumpulan orang baik
yang berbadan hukum atau yang tidak berbadan hukum maka apabila
hal itu diatur dalam UU No. 4 Tahun 2009 semua perusahaan yang didirikan
minimal dua orang dapat menjadi pelaku tindak pidana dibidang perbankan
apabila melanggar undang-undang yang bersangkutan.
Jika tindak pidana di bidang pertambangan
dilakukan oleh suatu badan hukum, maka yang dapat dituntut ke pengadilan
adalah badan hukumnya, namun hukuman yang dijatuhkan hakim selain
pidana penjara, juga pidana denda terhadap pengurusnya. Di samping
itu terhadap badan hukum tersebut dijatuhi hukuman berupa pidana
denda dengan pemberatan ditambah 1/3 kali dari ketentuan maksimum pidana
denda yang dijatuhkan. Kemudian hakim juga dapat menjatuhkan hukuman
tambahan terhadap badan hukum berupa pencabutan izin usaha dan/atau pencabutan
status badan hukum.[12]
9. Pidana tambahan
Dalam hukum pidana dikenal
adanya hukuman pokok dan hukuman
tambahan. Pelaku tindak pidana dibidang pertambangan di atas yang
dijatuhi pidana penjara dan denda merupakan hukuman pokok.
Selain jenis hukuman tersebut
terhadap pelakunya dapat dijatuhi dikenai pidana tambahan berupa :
- Perampasan barang yang digunakan dalam melakukan tindak pidana
- Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana
- Kewajiban membayar biaya yang timbul akibat tindak pidana Kemudian hakim juga dapat menjatuhkan hukuman tambahan terhadap badan hukum berupa pencabutan izin usaha dan/atau pencabutan status badan hukum.
[1] Tanti Yuniar, Kamus Lengkap
Bahasa Indonesia, PT Agung Media Mulia, h. 570.
[2] Ibid, h. 573
[3]
Ibid, h.
261.
[4]
Gatot
Supramono, Hukum Pertambangan Mineral Dan Batubara Di Indonesia,
Jakarta, Rineka Cipta, 2012, Cetakan. 1, h. 248.
[5] Ibid, h. 248.
[6] Ibid, h. 249.
[7] Ibid.
[8] Ibid, h. 250.
[9] Ibid, h. 251
[10] Ibid.
[11] Ibid, h. 252.
[12] Ibid, h. 252-254