Judicial Immunity
Wednesday, 11 November 2015
Sudut Hukum | Judicial Immunity
Judicial Immunity atau imunitas yudisial adalah
bentuk kekebalan hukum yang melindungi hakim dan lain-lain petugas pengadilan
dari tuntutan atau gugatan hukum yang diajukan terhadap mereka atas aksi atau
tindakan hukum, tidak peduli apakah tindakannya tidak kompeten, tindakan
tersebut lalai, atau mungkin berbahaya, bahkan jika perilaku ini merupakan
pelanggaran terhadap undang-undang (Wikipedia).
Umumnya berbagai definisi mengenai
imunitas yudisial menyatakan kekebalan hukum yang dimiliki hakim dan petugas
peradilan terbatas pada tangggung jawab perdata hakim dalam menjalan fungsi
yudisialnya, tidak perduli apakah hakim dalam menjalan fungsi peradilan
tersebut curang atau korup sekalipun. Artinya hakim
dalam menjalan fungsi peradilannya jika terbukti melakukan pelanggaran pidana
masih dipertanggungjawabkan secara pribadi kepada hakim tersebut.
Secara historis, kekebalan hukum dikaitkan dengan gagasan common law Inggris bahwa “the King can do no
wrong.” Hakim, sebagai delegasi Raja
mengenai penetapan keadilan, sesuai “ought
not to be drawn into question for any
supposed corruption [for this tends] to the
slander of the justice of the King.”
Jika dikaitkan dengan imunitas parlemen, timbulnya hak imunitas parlemen karena perjuangan dalam perebutan kekuasaan antra raja
dengan parlemen. Dijelaskan Krenenburg
dalam “Het Staatsrecht” (1947) di Inggris, sebelum pertengahan abad ke-17,
sering kali anggota parlemen ditangkap sesudah mereka melaksanakan sidang parlemen,
karena pendapat dan pidatonya yang mengecam dan mengkritik tindakan raja.
Sejarah inilah sehingga dalam Bill of Right dalam Pasal 9
mencantumkan, “That the freedom of speech and
debates or proceedings in Parliament, ought
not be impeached or questioned in any
court or place out of Parliament”. Dengan ini, sehingga anggota
parlemen bisa leluasa melakukan oposisi atau menjalankan fungsi kontrolnya.
Namun dalam perkembangannya, imunitas parlemen menyesuaikan diri dengan kondisi,
baik di Inggris maupun Perancis (Mahadi,
1958: 130-135).
Sebagaimana tujuan imunitas parlemen, melindungi fungsi kontrol parlemen atas tindakan penangkapan raja, saat ini konteksnya
pemerintah. Sedangkan imunitas yudisial, akar sejarahnya terkait dengan
independensi kekuasaan kehakiman. Di Inggris,
hakim dihadapkan pemecatan karena membuat putusan yang tidak menyenangkan raja.
Agar kekuasaan kehakiman dapat
bebas dan merdeka dalam membuat putusan harus ada jaminan bahwa hakim dalam menjalankan tugas yudisialnya dapat independen dan bebas dari luar,
imingiming, tekanan, ancaman atau campur tangan baik langsung atau tidak
langsung, dari siapapun atau dengan alasan
apapun.
Jadi hakim dalam memberikan
putusannya hanya berdasarkan fakta-fakta dan hukum. Tujuan dari imunitas yudisial ini tidak lain mendorong hakim
untuk bertindak secara “jujur dan adil”, tanpa memperhatikan bahaya kerugian yang ditimbulkan akibat tindakan mereka dalam menjalankan tugas yudisialnya. Sebagaimana Lord
Denning dalam kasus Sirros v. Moore (1970) 3 WLR 458 C.A menyatakan: ia
tidak boleh membuka halaman bukunya dengan jari-jari yang gemetar, sambil bertanya
kepada dirinya: “jika aku melakukan hal ini, apakah aku harus bertanggungjawab
terhadap kerugian yang terjadi?. (Sebastiaan Pompe: 2010). Imunitas yudisial juga
melindungi mereka dari pelecehan orang-orang
yang berkepentingan secara negatif yang
dapat mempengaruhinya.
Basic Principles on the
Independence of the Judiciary sendiri, dalam Pasal 16
menyatakan bahwa, “Without
prejudice to any disciplinary procedure or to
any
right of appeal or to compensation
from the State, in accordance with
national law, judges should enjoy personal
immunity from civil suits for monetary
damages for improper acts or omissions in the
exercise of their judicial functions.“ (Tanpa mengurangi prosedur
disipliner atau untuk setiap hak untuk naik banding atau kompensasi dari
negara, sesuai dengan hukum nasional, hakim harus menikmati kekebalan pribadi
dari tuntutan perdata untuk kerusakan atau kerugian moneter untuk tindakan yang
tidak benar atau kelalaian dalam melaksanakan fungsifungsi yudisial mereka).
Kekebalan hukum hakim pertama kali diakui Mahkamah Agung (MA) Amerika Serikat dalam kasus Randall v Brigham, 74 AS, (7 Wall.) 523 19 L. Ed. 285 (1868). Pengadilan menyatakan
bahwa seorang pengacara yang telah dilarang menjalankan praktik hukum oleh
seorang hakim tidak bisa menuntut hakim atas pencabutan izin praktik tersebut.
Dalam pendapatnya, pengadilan menyatakan bahwa hakim tidak bertanggung jawab
atas tindakan yudisial kecuali mereka melakukan “kejahatan atau korupsi.”
MA AS pada 1967 menyatakan kekebalan hakim atas gugatan ganti
rugi walaupun terdapat tuduhan hakim
mengenai perbuatan yang dilakukan “malliciously” dan “corruptly” dalam kasus Pierson
Vs. Ray. Dikatakan oleh Ketua MA bahwa kesalahan-kesalahan
hakim tersebut dapat diperbaiki dalam tingkat banding dan hakim tidak perlu
hawatir dan takut pada pihak-pihak yang tidak puas akan mengejarnya dengan
tuduhan “malice” dan “corruption”.
Putusan inilah menjadi dasar kekebalan hakim dalam gugatan
perdata sesuai Surat Edaran Mahkamah Agung No.09 Tahun 1976, tanggal 16
Desember 1976, dan pendapat Oemar Seno Adji dalam kertas kerjanya dalam
Konferensi Ketua-Ketua MA se Asia-Pasifik ke-7
di Jakarta, Juni 1978 berjudul “Saveguards of The Judiciary”(Seno Adji,1980:
257- 260). Selain praktik dalam semua
sistem hukum, juga dalam perkembangan ilmu hukum umumnya berkesimpulan Pasal 1365
BW tidak dapat diterapkan kepada hakim yang salah dalam menjalankan tugas
peradilannya.
Dari perkembangan putusan di Amerika Serikat dalam artikel “Judicial Immunity Vs Due Process: When
Should a Judge be Subject to Suit?”, Cato
Jurnal, Vol.7, No.2 Fall 1987, menunjukkan doktrin kekebalan mutlak ini. Hakim
tidak bertanggung jawab atas kerusakan moneter untuk tindakan yang dilakukan dalam
pelaksanaan atau menjalankan fungsi peradilannya. Dalam kasus Stump Vs. Sparkman 349 (1978), menyatakan
kekebalan hukum lebih luas daripada kekebalan penuntutan. Hakim benarbenar kebal
dari gugatan perdata selama ia melakukan dalam yurisdiksinya
dan dengan niat baik.
Hampir semua pendapat mengemukakan bagaimana kekebalan mutlak tidak berlaku yaitu dalam
hal: pertama, hakim tidak dapat berlindung dari kekebalan ketika ia
melakukan suatu tindakan yang bukan merupakan “fungsi peradilan”. Kemudian yang kedua, kekebalan mutlak tidak berlaku
ketika seorang hakim bertindak “in the clear absence of all jurisdiction.”.
Selanjutnya apakah tindakan yudisial atau menjalankan fungsi
yudisial itu? Ketika hakim melakukan
tindakan administratif, misalkan melakukan pemecatan atau pengangkatan, maka
tidak termasuk ruang lingkup dalam imunitas yudisial yang dilindungi doktrin
ilmu hukum dan praktik hukum. Selain itu, tidak termasuk dalam perlindungan
kekebalan yudisial manakala seorang hakim memukul terdakwa dalam persidangan
atau di luar pengadilan karena kesal memberikan keterangan berbelit-belit
misalnya. Hakim demikian harus dituntut secara
pidana dan bukan ranah kekebalan yang
dimaksud.
Dalam praktik pengadilan di luar negeri, MA Amerika Serikat mencoba mengembangkan dua alat uji untuk mendefinisikan “tindakan yudisial”
atau “fungsi yudisial” tersebut. Pertama,
bahwa apakah suatu tindakan sering dilakukan oleh seorang hakim (sifat
tindakan) dan kedua, apakah seorang hakim bertindak dalam yurisdiksinya
(yang ditentukan dari ekspektasi dari pihak-pihak yang berperkara). Pengujian
ini berasal dari putusan kasus Pulliam Vs Allen 466 US 522 (1984) dimana MA
menetapkan meskipun hakim Pulliam telah bertindak dalam yurisdiksinya, injunctive
relieve terhadap yang bersangkutan dapat diberikan. MA juga menyatakan
hakim yang bersangkutan harus membayar ganti biaya jasa pengacara penggugat.
Tetapi pada 1988, dalam kasus
Foorester Vs White 484 US 219 (1988),
pengujian Stump tersebut dikesampingkan. Sebastiaan Pompe menggambarkan tindakan yudisial hanya dengan
contoh-contoh yang negatif untuk menunjukkan bagaimana “bukan tindakan yudisial”. Yaitu kasus dimana hakim
membanting para pihak ke tanah, memukuli mereka, menginjakinjak perut mereka
atau misalkan hakim memerintahkan menangkap pedagang kopi dan memborgolnya,
karena misalkan kopi yang diminum hakim terasa tidak enak, bukan termasuk
tindakan yudisial.
Sedangkan sampai batas mana petugas peradilan dalam sistem peradilan
sehingga menerima kekebalan, masalah
tersendiri yang masih dalam proses pencarian. Dalam perkembangan pengadilan di luar negeri, bahwa dalam sistem Inggris/Amerika menunjukkan
kehatihatiannya dalam menerapkan tanggung jawab hukum, karena tanggung jawab perbuatan melawan hukum (tort)
adalah personal sifatnya. Sedangkan model Jerman/Belgia, hakim dianggap organ negara, sehingga tanggung jawab
pertama melekat pada negara. Terhadap
pasang surut pendefinisian tindakan yudisial dimana melekat kekebalan yudisial,
Pompe menyimpulkan, “Saluran bagi pihak berperkara secara umum untuk mengajukan
keberatan harus disedikan dengan memintakan sanksi disiplin atau jalur banding
biasa”. Sedangkan model Eropa
Kontinental, judicial liability sendiri tidak begitu dikaitkan dengan masalah independensi kekuasaan kehakiman.
Putusan spektakuler MA Belgia (Cour de Cassation) meninjau ulang argumen klasik mengenai tanggung jawab
hukum kehakiman dengan mendasarkan pada hukum berbagai negara, “termasuk Indonesia,”
kata Pompe.
MA Belgia menerima tanggung jawab perdata negara atas kesalahan hakim dalam mengambil putusan,yaitu tidak membedakan tindakan publik
dan privat yang dilakukan negara,
karena negara diuntungkan dengan imunitas dalam hukum. Kemudian, negara merupakan
subjek hukum, sehingga tidak ada pengecualian terhadap pengadilan yang
bertindak merugikan dan melanggar hak-hak individu dan pengadilan tidak boleh
bertindak tidak hati-hati. Negara juga bertanggung jawab secara hukum
atas tindakan lembaganya, sebatas dalam yuridiksinya, dalam arti cukup
ekspektasi hakim atau pejabat publik akan bertindak dalam kewenangannya, tidak
peduli faktanya iya atau tidak.
Belanda yang menjadi kiblat hukum Indonesia, seperti dikutip SEMA
No.9 Tahun 1976, Perihal: Gugatan
terhadap Pengadilan dan Hakim, menyebutkan dinyatakan dalam Yurisprudensi HR.
3 Desember 1971, NJ 1972, 137 bahwa peraturan perundang-undangan yang menyediakan sarana-sarana hukum (“rechtsminddelen”) terhadap putusanputusan hakim, harus dipandang telah mengatur secara tuntas perlindungan
terhadap kepentingan bagi pihak-pihak yang berkepentingan untuk
memperoleh suatu keputusan hakim yang tepat.
Hal demikian tidak dapat dibenarkan, adanya kemungkinan bagi pihak yang setelah mempergunakan segala sarana hukum yang tersedia, namun tidak berhasil
dalam gugatannya, untuk memulai suatu
gugatan baru terhadap negara berdasarkan
pasal 1365 B.W. karena hal ini berarti
keputusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti, dijadikan lagi
sarana dari pemeriksaan baru. Berdasarkan
atas ketentuan-ketentuan hukum tata
usaha negara yang menghubungkan adanya sarana-sarana
hukum yang ada dengan kedudukan bebas dari pengadilanpengadilan, maka tidak
terdapat suatu ruang gerak bagi pertanggungan jawab negara terhadap suatu
tindak langkah hakim yang dipandang kurang benar (Dr. J.R. Stellinga; Grondtrekken
van het Ned. Administratif Recht, halaman 318)
Prof. A.W. (Ton) Joengblod, Profesor Seizure of Good and
Execution Law Universiteit Utrecht,
menyatakan pengadilan Belanda menikmati
imunitas perdata secara penuh. peluang
perubahan doktrin tanggung jawab perdata atas tindakan yudisial yang salah (illegal law) sangat kecil. Karena kerangka hukum Belanda diarahkan kepada pencegahan dan penyelesaian jalur
banding-formal atas putusan pengadilan. Peluang
meminta tanggung jawab negara jika hakim dalam mempersiapkan kasus tidak
mengindahkan prinsip hukum yang fundamental, dan dapat dikatakan bahwa tidak
ada “perlakuan yang jujur dan imparsial terhadap kasus tersebut” sebagaimana Pasal
6 European Convention on Human Rights, sesuai putusan MA tahun 1971, putusan
benckmark kasus Mrs X melawan Pemerintah Belanda.
Joengblod mengatakan, keputusan pengadilan adalah tindakan publik.
Dengan karakteristik ini memungkinkan negara untuk bertanggungjawab atas
kerugian yang diderita seseorang bila ia secara salah dikalahkan dalam
perkaranya, bila pengadilan memberikan putusan yang salah.
“Secara umum, dengan alasan-alasan
diatas, maka pemerintah tidak dapat
dimintakan pertanggungjawabannya untuk
putusanputusan pengadilan yang buruk. Hanya jika dalam
mempersiapkan perkara, prinsipprinsip hukum yang fundamental tidak diindahkan,
untuk menangani perkara secara adil dan tidak memihak, dan peluang banding tidak
lagi terbuka, barulah pemerintah dapat dimintai pertanggungjawaban.” Dalam
literatur, kata Joengblod, banyak dukungan terhadap tanggung jawab pemerintah, akan
tetapi tanggung jawab peradilan atas kerugian yang ditimbulkan secara hukum dikecualikan.
Perbuatan melawan hukum sendiri dahulu tidak termasuk penguasa
(1365 BW), tetapi dalam perkembangan
negara melalui alat-alat negara dianggap
dapat melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan orang lain, baik
pribadi atau badan hukum. (Miftakhul Huda)- *BMK
Edisi September 2012.