Tusschen Vonnis (Putusan sela)
Wednesday, 11 November 2015
Sudut Hukum | Tusschen Vonnis (Putusan sela)
Untuk sampai pada putusan yang diharapkan memberikan
penyelesaian dan mengakhiri sengketa dengan putusan akhir (eindvonnis),
putusan berdasarkan tujuannya dapat dijatuhkan ketika dimana pemeriksaan di
persidangan belum berakhir. Putusan ini dijatuhkan masih dalam tahap permulaan,
pertengahan, atau mendekati akhir putusan. Putusan yang termasuk jenis ini
disebut dengan dalam bahasa asing sebagai tusschen vonnis atau putusan
sela atau putusan antara.
Di dalam praktik berperkara di MK, sebelumnya tidak dikenal putusan
sela. Putusan ini tidak diatur kecuali jenis perkara sengketa kewenangan
lembaga Negara (SKLN) yang diatur dalam UUNo.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi. MK dalam perkara SKLN berdasarkan ketentuan Pasal 63 dapat
mengeluarkan penetapan yang memerintahkan kepada pemohon dan/atau termohon
untuk menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan
sampai ada putusan MK. Putusan sela dijabarkan dalam Pasal 12 dan Pasal 13
Peraturan MK No. 08/PMK/2006 tentang Pedoman Beracara Dalam Sengketa Kewenangan
Konstitusional Lembaga Negara.
Mengenai perkara Pengujian Undang-Undang (PUU) dimungkinkan adanya
putusan sela dalam hal dugaan terjadinya tindak pidana dalam pembuatan
undang-undang yang diatur dalam Peraturan MK, sedangkan UUMK tidak mengaturnya.
Pasal 16 ayat (1), (2) dan (3) PMK No. 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara
dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, menentukan dalam hal pemohon mendalilkan
adanya dugaan perbuatan pidana dalam pembentukan undang-undang yang dimohonkan
pengujiannya, MK dapat menghentikan sementara pemeriksaan permohonan atau
menunda putusan. Secara tegas ayat (4) PMK tersebut yang menyatakan, “Penghentian
proses pemeriksaan permohonan atau penundaan putusan sebagaimana dimaksud ayat
(1) ditetapkan dengan Ketetapan Mahkamah yang diucapkan dalam sidang yang
terbuka untuk umum.”
Adapun dalam praktik pengujian UU, atas permohonan putusan provisi
yang diajukan Amrozi dkk dalam perkara pengujian UUNo. 2/Pnps/1964 tentang Tata
Cara Pelaksanaan Pidana Mati, MK tidak menerima permohonan tersebut. MK
mempertimbangkan bahwa dalam UUMK tidak mengenal permohonan provisi dalam
pengujian undang-undang (UU); dalam setiap pengujian UU, UUyang diuji tersebut
tetap berlaku sebelum dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, permohonan
provisi dikenal dalam sengketa kewenagan lembaga negara yang diatur dalam Pasal
63 UUMK; bahwa mekanisme permohonan provisi sifatnya harus penting dan
mendesak; dan permohonan provisi adalah permohonan yang bersifat sementara dan
sama sekali tidak ada hubungannya dengan pokok permohonan. Sehingga MK
mengganggap permohonan provisi yang diajukan tidak berdasar dan beralasan hukum
(Putusan No. 21/PUU-VI/2008 tanggal 21 Oktober 2008).
Dalam perkembangan, MK membuat putusan sela dalam bentuk putusan
provisional yang tidak terbatas pada karena adanya dugaan adanya tindak pidana
dalam pembuatan UU. Atas permohonan Bibit-Chandra untuk menguji UUNo.30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUKPK) yang diajukan
oleh Bibit- Chandra, MK mengabulkan sebagian permohonan provisi yang diajukan
dan menolak permohonan selebihnya.
Permohonan yang dikabulkan terbatas dalam pengujian UU, yakni
menunda penerapan Pasal 32 Ayat (1) huruf c Jo Pasal 32 Ayat (3) UUKPK oleh
Presiden, yakni tindakan administratif berupa pemberhentian Pimpinan KPK yang
menjadi terdakwa karena melakukan tindak pidana kejahatan. MK berpendapat meskipun
UUMK tidak mengenal putusan provisi dalam perkara PUU, seiring dengan
perkembangan kesadaran hukum, kebutuhan praktik dan tuntutan rasa
keadilan masyarakat serta dalam rangka memberikan perlindungan dan kepastian hukum
yang adil, Mahkamah memandang perlu menjatuhkan putusan provisi dalam perkara ini dengan
mendasarkan pada aspek keadilan, keseimbangan, kehati-hatian, kejelasan tujuan,
dan penafsiran yang dianut dan telah berlaku tentang kewenangan Mahkamah dalam
menetapkan putusan sela.
Terlepas nanti dinyatakan inkonstitusional atau tidak, Mahkamah
memandang terdapat cukup potensi terjadinya pelanggaran atas kepastian hukum
yang adil, perlakuan yang sama di hadapan hukum, dan kebebasan dari
ancaman dari rasa takut untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan
hak, sehingga Mahkamah harus memainkan peran yang besar dalam mempertegas dan
memberikan rasa keadilan dalam perkara in melalui putusan provisi. Mahkamah
tidak dapat mengabulkan permohonan provisi sejauh menyangkut penghentian proses
pidana di kepolisian dan kejaksaan. Bahwa dalam praktik pemeriksaan perkara
PUUseringkali untuk kasus-kasus tertentu dirasakan perlunya putusan sela dengan
tujuan melindungi pihak yang hak konstitusionalnya amat sangat terancam
sementara pemeriksaan atas pokok pemohonan sedang berjalan. Putusan sela perlu
untuk diterapkan apabila dengan putusan tersebut tidak akan menimbulkan
kerancuan hukum di satu pihak, sementara di pihak lain justru akan
memperkuat perlindungan hukum.
“Menimbang bahwa relevansi dan signifikansi diterbitkannya putusan
provisi dalam perkara pengujian undang-undang terhadap UUD adalah untuk
mencegah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia apabila suatu norma hukum
diterapkan sementara pemeriksaan atas pokok permohonan masih berjalan padahal
hak-hak konstitusional Pemohon yang dirugikan tidak dapat dipulihkan dalam
putusan akhir. Dalam perkara a quo putusan sela diperlukan untuk mencegah
kemungkinan kerugian konstitusional para Pemohon apabila menjadi terdakwa
karena diberhentikan (tetap) oleh Presiden padahal dasar hukum atau
pasal undang-undang tentang itu sedang diperiksa dalam pengujian terhadap UUD
1945 di Mahkamah.” (Putusan
sela (provisi) No. 133/PUU-VII/2009, tanggal 29 Oktober 2009) Mengenai perkara
PHPUAnggota DPR, DPD, dan DPRD yang sudah dilaksanakan sejak Pemilu 2004,
pengaturan putusan sela baru ditentukan dalam PMK No. 14 Tahun 2008 tanggal 18
Juli 2008 yang isinya sebenarnya menggantikan PMK No.04/PMK/2004 tentang
Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum. Putusan sela
ditentukan dalam Pasal 9 ayat (6) PMK 14/2008 yang menyatakan, “Apabila
dipandang perlu, untuk kepentingan Pemeriksaan Persidangan, Mahkamah dapat
menetapkan putusan sela dan menunjuk petugas guna menyaksikan hal-hal yang
terkait dengan penghitungan suara yang diperintahkan oleh Mahkamah.” Dengan
aturan ini, MK untuk kepentingan pemeriksaan, putusan sela dapat dijatuhkan.
Sedangkan menurut Pasal 1 angka 19 PMK No.16 Tahun 2009 tentang
Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD
tanggal 5 Maret 2009, putusan sela dirumuskan sebagai putusan yang dijatuhkan
oleh hakim sebelum putusan akhir berupa putusan untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu yang berkaitan dengan objek yang dipersengketakan yang
hasilnya akan dipertimbangkan dalam putusan akhir. Peraturan MK mengantisipasi
berbagai kemungkinan dijatuhkannya putusan sela yang tidak terbatas melakukan
perbuatan, tetapi juga untuk tidak melakukan perbuatan tertentu.
Dalam praktik putusan sela yang dijatuhkan MK pada Pemilu 2009,
lembaga ini terbatas menetapkan sebuah putusan sela dibeberapa daerah
pemilihan, yakni pemungutan suara ulang dan penghitungan suara ulang dan belum
mengenal putusan sela jenis lain, sedangkan jenis lainnya belum dikenal.
Yang mengalami perkembangan pesat justru penanganan perkara
PHPUKepala Daerah yang dilaksanakan sejak 2008. Semula putusan sela belum
digunakan sebagai instrumen MK untuk dalam menjatuhkan putusan dengan putusan
yang memberikan keadilan dan tidak sebatas melegitimimasi hasil pemilu yang
penuh dengan pelanggaran. Sementara Peraturan MK No. 15 Tahun 2008 tentang
Prosedur Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah,
tanggal 23 Oktober 2008 masih mengatur secara terbatas sebagaimana Pasal 8 ayat
(4) menentukan, “Untuk kepentingan pemeriksaan, Mahkamah dapat menetapkan putusan
sela yang terkait dengan penghitungan suara ulang”.
Dalam praktik putusan sela perkara PHPUKepala Daerah 2008-2013, MK
tercatat beberapa kali menjatuhkan putusan sela yang modelnya antara lain
sebagai berikut: (1) pemungutan suara ulang; (2) penghitungan suara ulang; (3)
mendiskualifikasi pasangan calon tertentu dalam Pemilukada; (4) menerima berkas
pencalonan pasangan calon tertentu; (5) membuka kembali pendaftaran pasangan
calon untuk memberi kesempatan bakal pasangan calon baru yang belum mendaftar;
(5) verifikasi administrasi dan faktual; (6) menunda putusan pokok permohonan
sampai putusan sela MK dilaksanakan.
Dalam ketentuan hukum acara perdata selama ini, dikenal
adanya beberapa putusan sebelum putusan akhir (putusan sela), yaitu: pertama,
yaitu putusan preparatoir. Putusan ini untuk mempersiapkan dan mengatur
pemeriksaan perkara. Putusan ini sama sekali tidak memengaruhi putusan itu
sendiri, misalnya putusan yang memerintahkan supaya pihak yang diwakili oleh
seorang kuasa untuk menghadap sendiri, atau keputusan bahwa gugatan rekonvensi
tidak akan diputus bersama dengan gugatan konvensi. S.M. Amin (1957)
menyebutkan putusan preparatoir ini untuk memperlancar pemeriksaan, sehingga
vonis terakhir dapat tercapai dengan lebih mudah dan cepat, misalkan putusan
untuk menetapkan hari penyumpahan.
Kedua, putusan Interlocutoir. Putusan ini bukan sebagai putusan
terakhir yang berpengaruh terhadap putusan terakhir. Misalkan putusan untuk
mendengar keterangan ahli dan pembebanan sumpah. S.M. Amin lebih jelas
menyatakan putusan ini bertujuan agar memperoleh lebih banyak bahan-bahan agar
suatu putusan terakhir lebih sempurna, misalkan putusan yang memerintahkan
pemeriksaan saksi, ahli atau sebidang tanah yang menjadi pokok sengketa.
Ketiga, putusan insidentil. Putusan ini mengenai suatu hal yang hakikatnya tidak mempunyai
hubungan erat dengan pokok perkara, misalkan saja putusan tentang “vrijwaring”,
“voeging”, atau “tussenkomst”. S.M. Amin mencontohkan putusan diterima atau
tidaknya suatu tangkisan atau eksepsi.
Keempat, yaitu putusan provisional. Putusan ini dikeluarkan karena
ada hubungan dengan pokok perkara—menetapkan tindakan sementara bagi
kepentingan pihak yang berperkara, misalkan putusan atas gugatan seorang istri
terhadap suaminya, untuk memberi ongkos penghidupan selama pokok perkara, yaitu
gugatan perceraian belum diputusakan.
Berdasarkan yurisprudensi Mahkamah Agung, Sudikno
Mertokusumo (1988) menyatakan, hakim tidak terikat dengan putusan sela. Bahkan
hakim yang menetapkan putusan sela berwenang untuk mengubah putusan sela
tersebut jika ternyata terdapat kesalahan. [*BMK edisi juli 2013]