Metode Penalaran Ta’lili
Friday, 20 November 2015
Sudut Hukum | Metode Penalaran Ta’lili
Metode ini merupakan metode yang berusaha
menemukan illat (alasan) dari pensyariatkan suatu hukum.
Sehingga berdasarkan pada anggapan bahwa ketentuan-ketentuan yang diturunkan
Allah untuk mengatur perilaku manusia ada alasan logis dan hikmah yang ingin dicapainya.
Sebab Allah tidak menurukan ketentuan dan aturan tersebut secara sia-sia atau
tanpa tujuan apa-apa. Secara umum tujuan tersebut adalah kemaslahatan manusia
di dunia dan di akhirat. Tetapi secara lebih khusus, setiap perintah dan
larangan mempunyai alasan logis dan tujuan masing-masing. Sebagian daripadanya
disebutkan langsung di dalam al- Qur'an atau al-hadits. Sebagian lagi
diysariatkan saja dan ada pula yang harus direnungkan dan dipikirkan terlebih
dahulu.
Jumhur ulama berpendapat bahwa alasan logis
tersebut selalu ada. Tetapi ada yang tidak terjangkau oleh akal
manusia sampai saat ini. Seperti alasan logis untuk berbagai ketentuan dalam
bidang ibadah. Alasan logis inilah yang digunakan sebagai alat dalam metode ta’lili.
Dalam hal ini, berdasarkan kegunaan dan kedudukannya dalam penysari’atkan
hukum, illat dibagai menjadi illat tasyri dan illat qiyasi.
Illat tasyri adalah illat yang digunakan untuk mengetahui apakah sesuatu
ketentuan dapat diteruskan berlaku atau sudah sepantasnya berubah karena illat
yang mendasarinya telah bergeser. Kaidah ini telah dirumuskan dalam sebuah
kaidah kulliyah; al-hukm yadurru ma’a al-illat wujudan wa’adaman. Maksudnya,
ada dan tidaknya hukum berputar sesuai dengan illatnya.
Banyaknya ketentuan fiqh yang berubah dan
berkembang berdasarkan kepada asas ini. Perubahan dapat
dilihat dari dua segi; pertama, pemahaman tentang illat hukum itu
sendiri yang berubah, sesuai dengan perkembangan pemahaman terhadap dalil nash
yang menjadi landasannya. Misalnya pemahaman tentang illat zakat hasil
pertanian. Yang biasa dipahami sebagai illat adalah makanan pokok atau
dapat disimpan lama atau dapat ditakar atau dapat ditimbang atau hasil dari tanaman
yang ditanam. Tetapi sekarang dipopulerkan pendapat bahwa illat tersebut
adalah al-nama (produktif). Jadi semua tanaman yang produktif wajib
dikeluarkan zakatnya.
Kedua, pemahaman
terhadap illat masih tetap seperti sediakala, tetapi maksud tersebut
akan tercapai lebih baik sekiranya hukum yang didasarkan kepadanya diubah.
Contoh populer untuk hal ini adalah pembagian tanah al-fay’
(rampasan perang) di Irak pada masa Khalifah Umar bin
Khattab. Illat pembagiannya adalah agar tidak menjadi monopoli
orang-orang kaya saja. Pada masa Rasulullah, kebun-kebun orang Yahudi yang
kalah perang di Madinah dan Khaibar dibagi-bagikan kepada kaum muslimin. Tetapi
Umar tidak mau membagi lahan-lahan pertanian Irak yang demikian subur dan luas,
setelah selesai perang.
Menurutnya pembagian itu akan melahirkan
sekelompok orang kaya baru yang justru dihindari oleh al-Qur'an. Tanah tersebut
harus menjadi milik negara dan disewakan kepada penduduk. Hasil
sewa inilah yang dibagikan kepada orang-orang yang tidak mampu dan pihak-pihak
yang memerlukan bantuan keuangan dari negara.
Mungkin dapat dimasukkan ke dalam kategori ini,
illat-illat yang namanya masih tetap, tetapi ukuran
atau kandungannya telah berubah. Misalnya illat untuk melakukan
shalat khauf (surat al-Baqarah ayat 239). Oleh
jumhur ulama, illat tersebut ditafsirkan secara sempit hanya mencakup
takut karena perang atau binatang buas. Tetapi pada masa sekarang, beberapa
ulama di antaranya HAMKA menafsirkannya lebih luas hingga mencakup antara lain
takut kehilangan tempat duduk di dalam kerata api yang padat.10 Untuk
pergeseran ukuran, dapat diberikan contoh musafir sebagai illat mengqashar
shalat. Selama ini ukuran musafir ditentukan dengan jarak kilometer. Tetapi
karena zaman modern ini alat transpormasi telah sangat beragam dibanding dengan
masa Rasul, mungkin ukuran tersebut akan lebih tepat dengan waktu tempuh.
Kemudian illat qiyasi. Illat qiyasi adalah
illat yang digunakan untuk mengetahui apakah ketentuan yang berlaku
terhadap suatu masalah yang dijelaskan oleh suatu dalil nash dapat diberlakukan
pada ketentuan lain yang tidak dapat dijelaskan oleh dalil nash, karena ada
kesamaan illat antara keduanya. Dengan kata lain, ketentuan pada masalah
kedua yang tidak ada dalil nashnya karena mempunyai illat yang sama.
Inilah yang dinamakan qiyas. Penalaran ini diterima secara
luas di kalangan ulama fiqh. Mereka menggunakan alasan-alasan dari
al-Qur'an, hadits serta praktek sahabat yang mendukung keabsahannya.
Penolakannya hanya dari kelompok zhahiri terutama Ibn Hazm, dengan alasan
kegiatan ini tidak diperlukan dengan mengada-ada terhadap firman Allah dan
hadits Rasul.
Untuk melakukan qiyas perlu dipenuhi
beberapa unsur dan persyaratan yaitu; pertama, untuk
masalah pokok (maqis alaih) harus mempunyai ketentuan
yang berdasarkan dalil nash dan tidak ada keterangan bahwa
ketentuan tersebut berlaku khusus sehingga tidak boleh diberlakukan pada masalah lain, misalnya
ketentuan yang khusus untuk Nabi s.a.w. Kedua, untuk masalah
baru (maqis) harus tidak ada ketentuan nash yang
mengaturnya secara langsung. Dengan kata lain, masalah baru tersebut belum
diketahui hukumnya. Terhadap masalah-masalah yang ketentua pokoknya telah
sama-sama diatur oleh dalil nash dan ingin dilakukan qiyas pada bagian
yang lain lebih terperinci, para ulama menetapkan bahwa masalah baru (yang akan
diqiyaskan) tersebut tidak boleh disyari’atkan lebih awal dari masalah pokok,
misalnya mengqiyaskan hukum mebaca niat haji kepada mambaca niat shalat.
Ketentuan haji disyari’atkan lebih belakang
dari shalat. Membaca niat waktu haji sunnah hukumnya. Tetapi ini tidak
boleh diqiyaskan kepada membaca niat shalat sehingga niat shalat pun dianggap
sunah, karena penysariatan shalat lebih awal dari haji tersebut. Ketiga, untuk
illat yang ada pada masalah pokok betul-betul ditemukan pada masalah
baru dan relatif sama kualitasnya. Dikatakan relatif, karena sulit mencari dua keadaan
yang betul-betul sama. Illat untuk qiyas mempunyai persyaratan relatif
lebih ketat daripada illat tasyri. Yaitu harus merupakan keadaan yang
konkrit, harus dapat diukur sehingga tidak menimbulkan ketidakpastian hukum,
harus mempunyai relevansi yang jelas sehingga terasa logis dan rasional. Dan
syarat yang lebih penting, tidak ada halangan syari’at atau akilah yang
menyebabkan illat pada masalah pokok tidak berlaku pada masalah baru.
Inilah persyaratan dan ketentuan yang harus
dipenuhi dalam melakukan qiyas. Tetapi sebagian ulama
masih menambahkan persyaratan lain, misalnya ketentuan pada masalah pokok bukan
merupakan perkecualian dari kaidan umum. Contohnya izin memakan ikan dan
belalang tanpa disembelih adalah perkecualian dari kewajiban menyembelih semua
hewan. Karenanya, ketentuan ini tidak boleh diqiyaskan kepada hewan lain
seperti kodok atau blekicot. Tetapi pendapat seperti ini dibantah oleh banyak
ulama. Menurut mereka, sekiranya ketentuan untuk masalah pokok telah terpenuhi,
maka qiyas boleh dilakukan, lepas dari kenyataan apakah dalil nash yang mengaturnya
merupakan perkecualian atau tidak. Sebab, ketentuan khusus atau hukum
perkecualian tersebut akan tetap berlaku selama kondisi dan persyaratan dan
kondisi khusus. Dalam prakteknya, untuk sebuah masalah sering ditemukan
beberapa kemungkinan illat, sehingga para ulama harus melakukan pilihan
sebelum mengqiyaskannya. Penentuan pilihan ini merupakan bidang ijtihad yang
luas dan tetap terbuka, sehingga selalu merangsang para ulama untuk tetap
memikirkan atau merenungkan kembali.
Sekiranya tingkat kekuatan illat tersebut
tidak sama ada yang jelas dan ada yang tersembunyi itu karena ada pertimbangan
khusus. Pilihan seperti ini dinamakan istihsan atau qiyas khafi. Sebagai
contoh bisa dikemukakan ketentuan tentang larangan masuk masjid bagi orang haidh,
yang diqiyaskan kepada orang junub karena sama-sama hadas besar. Ada ulama yang
merasa qiysa di atas kurang tetap. Menurut mereka ada unsur
lain yang membedakan haidh dan junub. Walupun keduanya sama-sama hadas besar. Junub bersifat ikhtiyari
dan orang boleh bersuci secepat dia inginkan, sedangkan haidh bersifat fitri
dan tidak akan berhenti sebelum waktunya habis, yang relatif lebih panjang
waktunya dibanding dengan junub. Karenanya tidak pantas larangan perempuan haidh
memasuki masjid kalau hanya diqiyaskan kepada junub.