Pengertian Maskawin (Mahar)
Wednesday, 25 November 2015
Sudut Hukum | Pengertian Maskawin (Mahar)
Mahar menurut istilah ulama dan ahli hukum
Islam Indonesia diantaranya:
a) Menurut Abdurrrahman al-Jaziri, maskawin
adalah nama suatu benda yang wajib diberikan oleh seorang pria terhadap seorang
wanita yang disebut dalam akad nikah sebagai pernyataan persetujuan antara pria
dan wanita itu untuk hidup bersama sebagai suami istri.[1]
b) Menurut Imam Taqiyuddin, maskawin (shadaq)
ialah sebutan bagi harta yang wajib atas orang laki-laki bagi orang perempuan
sebab nikah atau bersetubuh (wathi'), Di dalam al-Qur’an maskawin
disebut: shadaq, nihlah, faridhah dan ajr. Dalam sunnah
disebut: mahar, ’aliqah dan ’aqr.[2]
c) Kamal Muchtar, mengatakan mahar adalah
pemberian wajib yang diberikan dan dinyatakan oleh calon suami kepada calon
istrinya di dalam sighat akad nikah yang merupakan tanda persetujuan dan
kerelaan dari mereka untuk hidup sebagai suami istri.[3]
d) Pasal 1 sub d KHI, mahar adalah
pemberian dari calon mempelai pria pada calon mempelai
wanita baik berbentuk barang, uang, maupun jasa yang
tidak bertentangan dengan hukum Islam.[4]
e) Menurut Mustafa Kamal Pasha, mahar
adalah suatu pemberian yang disampaikan oleh pihak mempelai putra
kepada mempelai putri disebabkan karena terjadinya ikatan perkawinan.[5]
Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka
dapat disimpulkan bahwa mahar merupakan suatu kewajiban yang
harus dipikul oleh setiap calon suami yang akan menikahi calon istri
sebagai tanda persetujuan dan kerelaan untuk hidup bersama sebagai
suami istri, jadi mahar itu menjadi hak penuh bagi istri
yang menerimanya, bukan hak bersama dan bukan pula hak walinya, tidak ada seorangpun yang berhak
memanfaatkannya tanpa seizin dari perempuan itu.
[1]
Abdurrrahman
al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘Ala al-Mazahib al-Arba’ah, Juz IV, Beirut Libanon:
Darul Kutub ’Ilmiyah, 1990, h. 89.
[2]
Imam
Taqiyuddin Abi Bakar Ibn Muhammad al-Husaini al-Hishni al-Dimasyqy al- Syafi’i,
Kifayah al- Akhyar fii Halli Ghayah al- IKhtisar, Juz II, Beirut: Dar
al-Kutub al-’Ilmiah, 1990, h. 60.
[3]
Kamal
Muchtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan
Bintang, 1974, h. 78.
[4]
Abdurrahman,
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademi Presindo, 1992, h.
113.
[5] Mustafa Kamal Pasha, Fikih
Islam, Jogjakarta: Citra Karsa Mandiri, 2009, h. 274.