Rukun dan syarat sahnya akad tabungan mudharabah
Thursday, 12 November 2015
Sudut Hukum | Rukun dan syarat
sahnya akad tabungan mudharabah
Sebagai sebuah
kontrak, akad tabungan mudharabah mengharuskan adanya
ijab dan kabul yang menunjukkan bahwa salah satu pihak mengajak pihak yang
lain baik secara lisan maupun tertulis untuk mengadakan kerjasama. Yang harus
dicermati adalah apakah bentuk transaksi dalam tabungan mudharabah ini sudah memenuhi ketentuan transaksi menurut hukum
Islam terutama jika dilihat dari sah atau tidaknya akad, dan apakah akad
tabungan mudharabah ini dapat dilaksanakan
akibat hukumnya?.
Pandangan Islam
tentang akad atau kontrak sebenarnya tidak ada batasan yang
ketat tentang bagaimana perjanjian tersebut dibentuk. Beberapa pembatasan yang
ada dalam kitab fikih klasik sebenarnya sebagian adalah cakupan dari beberapa
bentuk perjanjian yang ada pada masa kitab tersebut disusun. Jika peradaban
semakin maju, maka tidak menutup kemungkinan untuk mengembangkan
bentuk akad.[1]
Dalam Islam asas
kebebasan melakukan akad adalah dalam hal menentukan
bentuk-bentuk suatu perjanjian yang digali berdasarkan dalil-dalil umum
dalam Islam. Sebagaimana hadis Nabi yang dijadikan kaidah fikih yaitu bahwa:
Kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.
Dengan kata lain
mereka dapat membuat syarat apa saja dan kelak syarat yang
diperjanjikannya itu dihormati dan mengikat mereka untuk memenuhinya. Berangkat
dari hadis tersebut nampak adanya kelonggaran dalam menetapkan syarat
perjajian. Dalam Al-Qur‟an pun tidak ada pernyataan yang membatasi bentuk-bentuk
perjanjian, sebagaimana firman Allah dalam Surat Q.S. 5: 1 yaitu:
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu...
Salah satu
faktor penting dalam terciptanya akad adalah unsur kerelaan antara
kedua belah pihak yang meleburkan diri dalam ikatan perjanjian. Pihak kedua
yang melakukan perjanjian tersebut berikrar kepada pihak pertama dan saling
rela dengan ikatan tersebut. Harus dipahami dari bertemunya kedua orang tersebut
adalah sebagai wujud kesesuaian keinginan untuk memunculkan kelaziman syara’
yang dicari oleh kedua belah pihak. Akad tersebut tidak hanya bisa terwujud
dengan adanya ikatan dua perkataan secara nyata, akan tetapi juga terwujud
dengan adanya ucapan dari salah satu pihak kemudian pihak yang lain mengerjakan
sesuatu yang menunjukkan kehendaknya, baik berupa tulisan, isyarat, maupunh
penyerahan. Bahkan juga dapat terjadi suatu akad dengan adanya ikatan antara
dua perilaku yang dapat mengggantikan posisi ungkapan tersebut yaitu yang bisa
dipahami oleh kedua belah pihak baik tindakan maupun isyarat.
Berdasarkan
penjelasan di atas dapat dipahami bahwa sebenarnya inti dari terciptanya
suatu akad secara umum adalah terwujudnya dua kehendak orang yang
berakad dan ada kesesuaian antara keduanya untuk memunculkan kelaziman (kewajiban)
yang bersifat syar‟i (aturan) pada kedua pihak yang diindikasikan dari adanya
suatu ungkapan tulisan isyarat atau tindakan. Suatu akad akan jadi mengikat
apabila memenuhi rukun dan syaratnya. Rukun akad yang pokok adalah ijab kabul.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa esensi akad adalah pencapaian kesepakatan
kedua belah pihak, yang mana perbuatan seseorang dianggap sebagai suatu
pernyataan kehendak.
Terhadap akad
tabungan mudharabah, dilihat dari
segi pembedaan bermacam-macam akad, termasuk ke dalam akad bernama,
karena mudharabah sendiri sudah ditentukan namanya
oleh pembuat hukum dan ditentukan pula ketentuan-ketentuan
khusus terhadap akad ini. Tabungan mudharabah
ini
termasuk juga ke dalam akad tidak bertempo, karena unsur waktu tidak merupakan
bagian dari isi perjanjian. Dan termasuk akad konsensual, di mana untuk
terciptanya akad tersebut cukup berdasarkan kata sepakat, walaupun prakteknya
di bank bukti kesepakatan tersebut wajib dibuktikan dengan pengisian dan
penandatanganan formulir akad, dalam hal ini menurut penulis karena akad tabungan
tersebut sebenarnya tidak harus tertulis, sebab tertulis maupun tidak tertulis
tidak menghalangi keabsahan akad. Tergolong juga ke dalam akad yang masyru,
yaitu akad yang dibenarkan oleh syara untuk dibuat, tidak ada larangan untuk
menutupnya dan bahkan anjuran untuk dibuat karena menunjang
kemaslahatan
umat.
Adapun akad
tabungan mudharabah dapat dikatakan sah jika telah memenuhi
rukun dan syarat-syaratnya. Di mana rukun-rukunnya yaitu, pertama, para pihak yang membuat akad,
yaitu terdapat nasabah penabung yang selanjutnya disebut sahib al-mal, dan bank sebagai pekerja atau mudarib. Kedua, adanya pernyataan kehendak para pihak,
berupa ijab dan kabul, hal ini dibuktikan dengan kesepakatan yang tertuang di
dalam formulir tabungan mudharabah, apabila
nasabah penabung menyetujuinya, maka diharuskan mengisi dan menandatangani
formulit tersebut. Dengan catatan tidak ada unsur paksaan dan keterbukaan semua
informasi yang ada dalam formulir tersebut. Selanjutnya, rukun yang ketiga
yaitu obyek akad. Obyek akad dalam hal ini terpenuhi, karena terdapat modal
dari nasabah penabung/sahib al-mal yang akan dimudharabah-kan.
Selanjutnya
obyek juga menyangkut adanya pekerjaan, yaitu usaha yang dilakukan oleh bank
syariah dalam mengelola modal sahib
al-mal.
Kemudian rukun yang keempat berupa tujuan akad, yaitu maksud bersama yang
hendak diwujudkan oleh para pihak melalui penutupan akad, hal ini terpenuhi
dari adanya kesepakatan pembagian nisbah bagi hasil dalam kerja sama yang
dilakukan.
Walaupun
rukun-rukun mudharabah dalam tabungan mudharabah hidayah telah terpenuhi,
akan tetapi rukun tersebut memerlukan syarat agar dapat berfungsi
membentuk akad. Syarat untuk membentuk akad dalam tabungan mudharabah yakni tamyiz, (yaitu
diharuskan nasabah adalah orang yang dewasa dan cakap bertindak hukum),
berbilang pihak (adanya penabung/sahib
al-mal dan
mudarib/pihak bank), persesuaian ijab
dan kabul (nasabah harus paham dengan segala ketentuan yang ditentukan bank,
demikian juga dengan bank yang harus mengetahui nasabahnya), kesatuan majelis
akad (nasabah dan pihak bank harus bertemu secara langsung), objek akad dapat
diserahkan, objek akad tertentu/dapat ditentukan, objek akad dapat
ditransaksikan atau berupa benda bernilai dan dimiliki (dalam hal ini
ditentukan bahwa modal berupa satuan uang yang berlaku, milik pribadi nasabah
dan penyerahannya harus tunai), dan tujuan akad tidak bertentangan dengan
syara.
Dengan memenuhi
rukun dan syarat terbentuknya, suatu akad memang sudah terbentuk,
namun belum serta merta langsung dikatakan sah. Sahnya akad memerlukan unsur
penyempurna yang menjadikan suatu akad tersebut sah, hal ini yang disebut
syarat keabsahan akad. Terdapat syarat keabsahan umum dan syarat keabsahan
khusus. Syarat keabsahan umum merupakan syarat yang berlaku untuk semua jenis
akad, di antaranya tidak boleh ada unsur riba. Terhadap syarat keabsahan
khusus, dalam tabungan mudharabah terdapat ciri
khasnya, yakni mudarib yang dalam hal ini aktif
menjalankan usaha, sedangkan sahib
al-mal merupakan
pihak yang pasif, akan tetapi setelah usaha memperoleh keuntungan, keuntungan
tidak harus dibagi sama rata, tetapi berdasarkan kesepakatan prosentase nisbah
bagi hasil yang telah disepakati di awal akad.
Apabila suatu
akad telah memenuhi rukun-rukunnya, syarat-syarat terbentuknya,
dan syarat-syarat keabsahannya, memang suatu akad dinyatakan sudah
sah. Akan tetapi, meskipun sudah sah, ada kemungkinan bahwa akibatakibat hukum
akad tersebut belum dapat dilaksanakan. Akad yang belum dapat dilaksanakan
akibat hukumnya itu, meskipun sudah sah, disebut akad maukuf (terhenti/tergantung).
Agar akibat
hukumnya dapat dilaksanakan, akad yang sudah sah itu harus memenuhi
dua syarat berlakunya akibat hukum, yaitu adanya kewenangan sempurna
atas objek akad, dan adanya kewenangan atas tindakan hukum yang dilakukan.
Kewenangan sempurna atas objek akad terpenuhi jika para pihak mempunyai kepemilikan
atas objek bersangkutan, atau mendapat kuasa dari pemilik, dan pada objek
tersebut tidak tersangkut hak orang lain seperti objek yang sedang digadaikan
atau disewakan. Selanjutnya, kewenangan atas tindakan hukum terpenuhi jika
dalam akad tabungan mudharabah ditetapkan
setiap orang yang ingin berakad haruslah orang yang sudah dewasa atau cakap
bertindak hukum. Dengan demikian, apabila akad tabungan mudharabah telah memenuhi semua unsur di atas, barulah
dapat digolongkan ke dalam akad yang nafiz, yaitu akad yang sah
dan dapat dilaksanakan akibat hukumnya karena telah memenuhi syarat berlakunya
akibat hukum.
[1]
Liaquat
Ali Khan Niazi, Islamic Law of Contract, (Lahore: Research Cell Dyal
Sing Trust Library, t.t.), hlm. 77.