Sejarah Hisab Rukyah
Sunday, 8 November 2015
Sudut Hukum | Sejarah Hisab Rukyah
Menurut catatan sejarah, penemu ilmu astronomi
adalah nabi Idris.[1]
Tetapi baru sekitar abad ke- 28 sebelum masehi embrio ilmu falak mulai nampak
sebagaimana digunakan dalam penentuan waktu pada penyembahan berhala seperti
yang terjadi di mesir untuk menyembah dewa orisis, isis dan amon, serta di
babilonia dan mesopotamia untuk menyembah dewa astoroth dan baal.[2]
Tetapi pengetahuan tentang nama- nama hari
dalam satu minggu baru ada pada 5000 tahun Sebelum masehi yang masing- masing
diberi nama dengan nama-nama benda langit. Yaitu matahari untuk hari ahad,
bulan untuk hari senin, mars untuk hari selasa, mercurius untuk hari rabo,
yupiter untuk hari kamis, venus untuk hari jum’at dan saturnus untuk hari sabtu.[3]
Pada masa sebelum masehi, perkembangan ilmu ini
dipengaruhi oleh teori geosentris[4] aristoteles.
Kemudian teori ini dipertajam oleh aristarchus dari samos (310-230 SM) dengan
hasil pengukuran jarak antara bumi dan matahari, kemudian eratosthenes dari
mesir juga sudah dapat menghitung keliling bumi.
Setelah Masehi perkembangan ilmu ini ditandai
dengan temuan Claudius ptolomeus (140 M) berupa catatan
tentang bintang – bintang yang diberi nama Tibril Magesthi dan
berasumsi bahwa bentuk semesta alam adalah geosentris.
Pada masa permulaan Islam, ilmu astronomi belum
begitu masyhur dikalangan umat Islam. Hal ini tersirat dari
hadits nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari inna ummatun ummiyatun la naktubu
wa la nahsibu . namun demikian mereka telah mampu mendokumentasikan
peristiwa- peristiwa pada masa itu dengan memberikan nama-nama tahun sesuai
dengan peristiwa yang paling monumental.
Wacana mengenai hisab rukyah baru muncul pada
masa pemerintahan Khalifah Umar Bin Khattab ra, beliau menetapakan kalender
hijriyah sebagai dasar melaksanakan ibadah bagi umat Islam. Penetapan ini
terjadi pada tahun 17 H. Tepatnya pada tanggal 20 Jumadil Akhir 17 H. Dan di
mulai sejak Nabi hijrah dari Mekkah ke Madinah.
Perhitungan tahun hijriyah dilatarbelakangi
oleh pengangkatan beberapa gubernur pada masa pemerintahan umar,
diantaranya pengangkatan Abu Musa al Asy’ari sebagai Gubernur Basrah.
Surat pengangkatannya berlaku mulai Sya’ban tetapi tidak jelas tahunnya. Karena
tidak diketahui tahunnya secara pasti, maka Umar merasa perlu menghitung dan
menetapkan tahun Islam. Kemudian Umar mengundang para sahabat untuk bermusyawarah
tantang masalah ini. dan kemudian disepakati kalender hijriyah sebagai kalender
negara.
Perkembangan hisab rukyah mencapai titik
keemasan pada masa pemerintahan Dinasti Abbasyiah masa keemasan
itu ditandai dengan adanya penerjemahan kitab Sindihind dari india
pada masa pemerintahan Abu ja’far al Manshur,[5] selain
itu pada masa al Makmun di Baghdad didirikan observatorium
pertama yaitu Syammasiyah 213 H/ 828 M yang di pimpin oleh dua ahli astronomi termashur Fadhl ibn al
Naubakht dan Muhammad ibn Musa al Khawarizmi[6] yang
kemudian diikuti dengan serangkaian observatorium yang
dihubungkan dengan nama ahli astronomi seperti observatorium
al Battani di Raqqa dan Abdurrahman al shufi di Syiraz.[7]
Puncak dari zaman keemasan astronomi ini
dicapai pada abad 9 H/15 M ketika Ulugh Beik cucu Timur Lenk mendirikan
observatoriummya di samarkand yang bersama dengan observatorium
Istanbul dianggap sebagi penghubung lembaga ini ke dunia barat.[8]
Tokoh- tokoh astronomi yang hidup pada masa keemasan
antara lain adalah al Farghani, Maslamah ibn al Marjit di
Andalusia yang telah mengubah tahun masehi menjadi tahun hijriyah,
Mirza Ulugh bin Timur Lenk yang terkenal dengan ephemerisnya, Ibn Yunus,
Nasirudin, Ulugh Beik yang terkenal dengan landasan ijtima’ dalam
penentuan awal bulan qamariyah.[9]
Setelah Islam menampakkan kemajuan dalam ilmu
pengetahuan dan dengan terjadinya ekspansi intelektualitas ke
Eropa melalui Spanyol, muncullah Nicolas Capernicus (1473-1543) yang
membongkar teori Geosentris yang dikembangkan oleh Ptolomeus
dengan mengembangkan teori Heliosentris.[10]
Di Indonesia, sejak zaman kerajaan-kerajaan
Islam, umat Islam sudah terlibat dalam pemikiran hisab rukyah yang
ditandai dengan penggunaan kalender hijriyah sebagai kalender resmi.
Sekalipun setelah adanya penjajahan Belanda, terjadi pergeseran penggunaan
kalender resmi pemerintah yang semula kalender hijriyah diganti dengan
penggunaan kalender masehi. Namun demikian umat Islam terutama yang ada di
daerah- daerah tetap menggunakan kalender hijriyah.
Hal yang demikian ini tidak di larang oleh
pemerintah kolonial bahkan penerapannya diserahkan kepada penguasa
kerajaan Islam masing-masing terutama yang menyangkut maslah
peribadatan seperti tanggal 1 Ramadhan, 1 Syawal dan 10
Dzulhijjah.
Wacana hisab rukyah di Indonesia paling
bersejarah yang terjadi pada masa pemerintahan kerajaan Islam adalah
dengan diberlakukannya kalender hijriyah sebagai kalender resmi
menggantikan tahun saka.[11] Perkembangan hisab rukyah pada awal abad 17
sampai 19 bahkan awal abad 20 tidak bisa lepas dari pemikiran
serupa di negara Islam yang lain. Hal ini seperti
tercermin dalam kitab Sullamun Nayyirain[12] yang masih terpengaruh oleh
sistem Ulugh Beik.
Namun dengan semakin canggihnya tekhnologi dan
ilmu pengetahuan maka wacana hisab rukyah pun mengalami perkembangan yang
sangat pesat.data bulan dan matahari menjadi semakin akurat dengan adanya
sistem Ephemeris, Almanak Nautika dan sebagainya yang menyajikan data perjam. Sehingga
akurasi perhitungan bisa semakin tepat. Dan sampai sekarang, hasanah
(kitab-kitab) hisab di Indonesia dapat dikatakan relatif banyak apalagi banyak
pakar hisab sekarang yang menerbitkan (menyusun) kitab falak dengan cara mencangkok
kitab-kitab yang sudah lama ada di masyarakat di samping adanya kecanggihan
tehnologi yang dikembangkan oleh para pakar Astronomi dalam mengolah datadata kontemporer
berkaitan dengan hisab rukyah Melihat fenomena tersebut pemerintah mendirikan
Badan Hisab Rukyah yang berada di bawah naungan Departemen Agama.
Pada dasarnya kehadiran Badan Hisab rukyah
untuk menjaga persatuan dan ukhuwah Islamiyyah khususnya dalam
beribadah. Hanya saja dalam dataran realistis dan etika praktis,
masih belum terwujud. Hal ini dapat dilihat dengan adanya seringkali terjadi
perbedaan berpuasa Ramadhan maupun berhari raya Idul Fitri.
[1]
Sebagaimana
sering dijumpai dalam muqadimah kitab-kitab falak seperti dalam Zubair
Umar al Jailany,Khulasoh al Wafiyah, Surakarta: Melati, tt, hlm. 5.
[2]
Thantawy al
jauhary, Tafsir al Jawahir,Juz VI,Mesir: Mustafa al Babi al Halabi, 1346
H, hlm. 16 – 17.
[4]
Teori
geosentris adalah teori yang yang berasumsi bahwa bumi adalah sebagi pusat peredaran
benda-benda langit.
[6]
Observatorium
pada masa ini telah meninggalkan teori yunani kuno dan membuat teori
sendiri dalam menghitung kulminasi matahari dan menghasilkan data-data dari
kitab Sindihind
yang di sebut dengan table of Makmun dan oleh orang eropa di kenal
dengan astronomos/
astronomy. Lihat dalam Mehdi Nakosteen,Kontribusi Islam Atas Dunia
Intelektual Barat:Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam,Terj. Joko S
Kalhar, Surabaya: Risalah Gusti, 1996, hlm. 230-233.
[7]
Sayyed
Hossein Nasr, Ilmu Pengetahuan dan Peradaban,Terj J Muhyidin, Bandung: Penerbit
Pustaka, 1986, hlm. 62-63.
[9]
Jamil
ahmad,Seratus Muslim terkemuka,Terj. Tim penerjemah Pustaka al Firdaus, Cet
I, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987, hlm. 166-170.
[10]
Teori
Heliosentris adalah teori yang merupakan kebalikan dari teori geosentris. Teori
ini mengemukakan bahwa Matahari sebagai pusat peredaran benda- benda langit.
Akan tetapi menurut lacakan sejaarah yang pertama kali melakukan kritikk
terhadap teori geosentris adalah al Biruni yang berasumsi tidak mungkin langit
yang begitu besar beserta bintang-bintangnya yang mengelilingi bumi. Lihat
dalam Ahmad Baiquni,Al Qur’an, Ilmu Pengetahuan dan Tekhnologi, Cet IV,
Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1996, hlm. 9.
[11]
Peristiwa
ini terjadi pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyokro Kusuma, raja kerajaan
Islam Mataram II (1613 – 1645)
[12]
Sullamun
Nayyirain adalah kitab kecil unruk mengetahui konjungsi matahari, bulan berdasarkan
metode Ulugh Beik al Samarqondy yang di susun oleh KH. Muh Mansur bin KH Abdul
Hamid bin Muh Damiry al Batawy. Di mana kitab tersebut berisi rissalah untuk
ijtima’, gerhana
bulan daan matahari. Lihat dalam Ahmad Izzuddin , Analisis Kritis tentang
Hisab Awal Bulan Qamariyah dalam kitab Sullamun Nayyirain, Skripsi Sarjana,
Seamarang: Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, 1997, hlm. 8.