Perdamaian Dalam Perspektif Islam
Sunday, 6 December 2015
Sudut Hukum | Perdamaian Dalam
Perspektif Islam
Dalam Islam
perdamaian dikenal dengan Al-Islah yang berarti memperbaiki,
mendamaikan dan menghilangkan sengketa atau kerusakan. Berusaha
menciptakan perdamaian, membawa keharmonisan, menganjurkan
orang untuk berdamai antara satu dengan lainnya, melakukan
perbuatan baik berperilaku sebagai orang suci.[1] Dalam
bahasa Arab, perdamaian diistilahkan dengan “Ash Shulhu” secara harfiyah
mengandung pengertian “memutus pertengkaran”.
Dalam pengertian
syari’at dirumuskan sebagai berikut: “suatu jenis akad (perjanjian) untuk
mengakhiri perlawanan (perselisihan)”.[2] Menurut Imam
Taqiy Al-Din Abu Bakar Ibnu Muhammad Al- Husaini dalam kitab Kifayatul Akhyar, Ash
Shulhu adalah: “akad yang memutuskan perselisihan antara dua pihak yang berselisih”.[3]
Shulhu (perdamaian)
adalah perjanjian untuk saling menghilangkan permusuhan, perbantahan,
perdendaman dan sikap-sikap yang dapat menimbulkan permusuhan dan peperangan.[4]
Islah merupakan sebab
untuk mencegah suatu perselisihan dan memutuskan suatu pertentangan dan
pertikaian. Pertentangan itu apabila berkepanjangan akan mendatangkan
kehancuran, untuk itu maka islah mencegah hal-hal yang menyebabkan
kehancuran dan menghilangkan hal-hal yang membangkitkan fitnah dan pertentangan
dan yang menimbulkan sebab-sebab serta menguatkannya persatuan dan persetujuan,
hal ini merupakan suatu kebijakan yang diajarkan oleh syara’.
Al-Qur’an
menjelaskan islah merupakan kewajiban umat Islam baik secara personal
maupun sosial. Penekanan islah ini lebih terfokus pada hubungan antara
sesama umat manusia dalam rangka pemenuhan kewajiban kepada Allah SWT. Damai
mempunyai arti tidak bermusuhan, keadaan tidak bermusuhan, berbaik kembali,
tentram, aman, sedang mendamaikan, memperdamaikan yaitu menyelesaikan
permusuhan (pertengkaran) supaya kedua belah pihak berbaikan kembali, merundingkan
supaya mendapat persetujuan dan mendamaikan sendiri mempunyai arti sendiri
yaitu penghentian permusuhan.[5]
Perjanjian damai
(shulh) menjadi hak para mahluk yang sebagian ada pada sebagian lain
yang memungkinkan untuk di gugurkan dan diganti rugi. Sedangkan hak-hak Allah
SWT, seperti, hukuman dan zakat, maka tidak ada jalan untuk damai di dalamnya.
Perdamaian di dalamnya adalah melaksanakannya secara sempurna.
Perjanjian damai
meliputi lima macam:
- Damai antara kaum muslim dan kaum yang berperang dengannya,
- Perjanjian damai antara kelompok yang memililki keadilan dengan kelompok yang menyerang diantara kaum muslimin,
- Perjanjian damai antara sepasang suami isteri jika dikhawatirkan terjadi perpecahan keduanya,
- Perbaikan hubungan antara dua pihak yang bertikai bukan dalam perkara harta,
- Perbaikan hubungna antara dua pihak yang bertikai dalam perkara harta. Perdamaian ini macam ini terbagi dua macam, yaitu perdamaian damai tentang keputusan dan perdamaian damai tentang pengingkaran.[6]
Ruang lingkup perdamaian
sangat luas baik pribadi maupun sosial. Diantara islah
yang diperintahkan Allah SAW adalah dalam hal masalah rumah
tangga. Untuk mengatasi kemelut dan sengketa rumah tangga (syiqoq dan nusyus)
dalam surat An-Nisa’ ayat 35, surat tersebut menegaskan bahwa setiap terjadi
persengketaan diperintahkan untuk mengutus pihak ketiga (hakam) dari
pihak suami atau istri untuk mendamaikan mereka. Dalam hal ini ulama fiqh
sepakat untuk menyatakan bahwa kalau hakam (juru damai dari pihak suami dan
istri) berbeda pendapat maka putusan mereka tidak dapat dijalankan dan kalau hakam
sama-sama memutuskan untuk mendamaikan suami-istri kembali, maka putusannya
harus dijalankan tanpa minta kuasa mereka.[7]
Ayat ini juga
menjelaskan tentang pengangkatan hakim, jika kamu tahu ada pertengkaran antara
suami istri, sedang kamu tidak mengetahui siapa yang bersalah dan mereka terus
mempersengketakan, ayat ini menunjukkan kebolehan untuk pengangkatan hakim.[8]
Di kalangan umat
Islam dulu juga dikenal dengan adanya tahkim yaitu orang yang mereka
sepakati dan tunjuk sebagai seorang hakam[9] untuk
menyelesaikan sengketa. Tahkim berasal dari bahasa arab yang artinya
menyerahkan putusan pada seseorang dan menerima putusan itu.
Selain itu
tahkim digunakan sebagai istilah bagi orang atau kelompok yang ditunjuk
untuk mendamaikan sengketa yang terjadi diantara dua pihak. Tahkim
dimaksud untuk menyelesaikan sengketa dimana para pihak yang terlibat
dalam sengketa diberi kebebasan untuk memilih seorang hakam (mediator)
sebagai penengah atau orang yang dianggap netral yang mampu mendamaikan
kedua belah pihak yang bersengketa.[10]
Abu Al-‘Ainain
Abdul Fatah Muhammad dalam bukunya yang berjudul Al-Qadla
Wa Al-Itsbat Fi Al Fiqih Al Islami menyebut definisi tahkim
sebagai berikut : “Bersandarnya dua orang yang bertikai kepada seseorang yang
mereka ridhai keputusannya untuk menyelesaikan pertikaian
mereka”. Adapun Abdul Karim Zaidan, Seorang pakar hukum Islam berkebangsaan
Irak, dalam bukunya Nidzam Al-Qadla Fi Asy- Syari’at Al-Islamiyah menjelaskan
bahwa yang dimaksud dengan tahkim adalah : “Pengangkatan atau penunjukan secara
suka rela dari dua orang yang bersengketa akan seseorang yang mereka percaya
untuk menyelesaikan sengketa antara mereka”.[11]
Dalam hal
mewujudkan perdamaian melibatkan beberapa pihak, antara lain:
- Pihak yang berselisih
- Pendamai atau hakam yang diangkat dari pihak hakim atau hakamain.[12]
Dari kedua
keluarga ahli fiqih dalam hal ini menetapkan bahwa hakim itu hendaknya orang
yang mempunyai sifat hakim, yaitu dapat dijadikan saksi dan benar-benar mempunyai
keahlian untuk bertindak sebagai hakam. Dalam hukum Islam usaha mendamaikan
sengketa merupakan usaha yang harus terus dilakukan agar jalinan keluarga bertahan
untuk selama-lamanya.
[1]
Abdul Aziz
Dahlan (et.el), Ensikopledi Hukum Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve,
2996, h. 740
[2]
Chairuman
Pasaribu, Suhrawardi K, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Jakarta: Sinar Grafika,
2004, h. 26
[3]
Imam Taqiy
Al-Din Abu Baker Ibnu Muhammad Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, juz I, Semarang:
Toha Putra, h. 271
[4]
M. Abdul
Majid, et al, Kamus Istilah Fiqih, Jakarta: Pustaka Firdaus, cet ke-4,
1994, h. 328
[5]
W.J.S.
Poerwo Darminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: P.N. Balai
Pustaka, cet ke-8, 1985, h. 225.
[6]
As-Shan’ani,
Subulus Salam juz 3, Beirut-Libanon: Darul Kitab Ilmiyah, 1182 H, h. 110.
[7]
Abdul Aziz
Dahlan et.el, Ensikopledi Hukum Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve,
1996, h. 1750
[8] Ibid, h. 741.
[9]
Tahkim
adalah menjadikan sebagai hakam. Berlindungnya dua pihak yang bersengketa kepada
orang yang mereka sepakati dan setuju serta rela menerima keputusannya untuk menyelesaikan
persengketaan mereka, berlindungnya dua pihak yang bersengketa kepada orang yang
mereka tunjuk (sebagai penengah) untuk memutuskan atau menyelesaikan
perselisihan yang terjadi diantara mereka. Lihat Ibid, h. 1750
[10] http://www.pa-balikpapan.net/indek.php?view=article
[11]
Satria
Effendi M. Zein, Arbitrasse Islam di Indonesia, Jakarta: Badan Arbitrase Muamalat
Indoneio (BAMUI), 1994, h. 8.
[12]
Hakamain
berdasarkan pengertian berdasarkan surah An-Nisa’ ayat 35 ditafsirkan oleh para
ulama’ fiqh sebagai juru damai yang terdiri atas wakil dari pihak suami dan
wakil dari pihak istri,
untuk mencari jalan keluar dari kemelut yang dihadapi oleh pasangan suami
istri. Lihat dalam kitab Risalatun Nikah, Jakarta: Gema Insani,
Press, cet I, 1999, h.158.