Ajaran Moral dan Sumber Nilai-Nilainya
Friday, 1 January 2016
Sudut Hukum | Ajaran Moral dan Sumber Nilai-Nilainya
Moral secara bahasa berasal dari bahasa Latin mores
yang merupakan bentuk jamak dari kata mos yang berarti kebiasaan,
atau adat kebiasaan.[1] Sedangkan
dalam Kamus Besar Besar Bahasa Indonesia, dikatakan bahwa moral adalah
(1) ajaran tentang baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap,
kewajiban, akhlaq, budi pekerti, susila; (2) kondisi mental yang membuat orang
tetap berani, bersemangat, bergairah, berdisiplin; isi hati atau keadaan perasaan
sebagaimana terungkap dalam perbuatan; (3) ajaran kesusilaan yang dapat ditarik
dari suatu cerita.[2]
Secara istilah, pengertian moral ialah (1) prinsip hidup yang berkenaan dengan
benar dan salah, baik dan buruk; (2) kemampuan untuk memahami perbedaan benar
dan salah; (3) ajaran atau gambaran tentang tingkah laku yang baik. Istilah
moral biasanya dipergunakan untuk menentukan batas-batas suatu perbuatan,
kelakuan, sifat dan perangai dinyatakan benar, salah, baik, buruk, layak atau
tidak layak, patut maupun tidak patut.
Dalam pemahaman masyarakat umum, istilah moral
sering disamakan dengan akhlaq dan etika. Dikarenakan ketiga hal
tersebut, memiliki beberapa persamaan yaitu:[3]
- moral, akhlaq dan etika mengacu pada ajaran atau gambaran tentang perbuatan, tingkah laku, sifat dan perangai yang baik.
- moral, akhlaq dan etika merupakan prinsip atau aturan hidup manusia untuk menakar martabat dan harkat kemanusiaan.
- moral, akhlaq dan etika seseorang atau sekelompok orang tidak semata-mata merupakan faktor keturunan yang bersifat tetap, statis, dan kostan, tetapi merupakan potensi positif yang dimiliki setiap orang.
Dalam menggambarkan suatu ajaran moral, al-Qur’an
menggunakan kata akhlaq, baik itu secara eksplisit maupun
implisit. Penentuan baik dan buruk dalam islam didasarkan pada ajaran moral
yang bersifat subyektif (menentukan baik dan buruk berdasarkan sesuatu di luar
diri manusia, yaitu wahyu dan al-Qur’an), dan obyektif (menentukan baik dan
buruk berdasarkan akal budi manusia). Perbuatan baik dan buruk itu ditentukan
oleh Allah melalui wahyu; namun, al-Qur’an pun menjelaskan baik dan buruk
bersifat obyektif, dapat diketahui oleh akal sehat, baik sesudah maupun sebelum
al-Qur’an diturunkan. Akal memiliki kapasitas untuk mengetahui baik dan buruk
serta membedakannya; tetapi akal tidak memiliki otoritas untuk menetapkan
sesuatu perbuatan bahwa itu baik atau buruk.[4]
Moral berlaku sesuai dengan ide umum yang
diterima, tentang tindakan manusia mana yang baik dan wajar sesuai dengan
ukuran-ukuran tindakan umum yang diterima oleh kesatuan sosial atau lingkungan
tertentu, hal tersebut berlaku karena moral memandang perbuatan manusia secara
lokal. Oleh karena itu, penilaian baik dan buruknya seseorang dilihat dari amal
perbuatannya yang nyata, bukan dari niat hatinya yang tersembunyi, atau
sekalipun perbuatan tersebut dilakukan secara terpaksa.[5]
Dalam hal ini Durkheim mengatakan, bahwa dunia
moral adalah dunia masyarakat, dimana obyek perilaku moral adalah kelompokatau
masyarakat, bahkan tindakan demi kepentingan diri sendiri tidak pernah dianggap
bersifat moral. Dengan begitu tidak ada masyarakat tanpa moralitas. Bertindak
secara moral berarti menaati suatu norma, yang menetapkan perilaku apa yang
harus diambil pada suatu saat tertentu. Disini terlihat bahwa moralitas berada
dalam ruang lingkup kewajiban, dimana kewajiban adalah perilaku yang telah ditetapkan
terlebih dahulu.[6]
Dari paparan diatas dapat disimpulkan, bahwa
sumber nilai ajaran moral berasal dari tiga hal, yaitu: pertama, agama
(dalam hal ini al-Qur’an); kedua, hati nurani
dan akal sehat atau pikiran yang jernih; ketiga, adat kebiasaan
masyarakat. Sebagai contoh, tindakan pencurian. Menurut
agama pencurian adalah suatu tindakan tercela yang harus mendapat hukuman: “Laki-laki
yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai)
pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (Q.S. al-Maidah;
5: 38). Namun dalam waktu yang sama, baik sesudah ataupun sebelum al-Qur’an
turun, hati nurani dan akal budi manusia pun telah mengakui bahwa pencurian
adalah tindakan tercela.
Begitu pula adat kebiasaan dan kesepakatan
masyarakat tidak membenarkan tindak pencurian karena itu sama artinya
merugikan orang lain dan mengganggu ketenangan hidup
bermasyarakat.
1. Nilai Dasar Ajaran Moral dalam Islam
Di kalangan masyarakat luas terdapat berbagai
pendapat tentang hubungan moral dan agama. Dalam islam, agama merupakan sumber
utama dari moralitas manusia, jadi moralitas merupakan bagian dari agama, yakni
sebagai pedoman bagaimana manusia seharusnya bertingkah laku sesuai dengan
ajaran agama.[7]
Sebagaimana Fazlur Rachman katakan, bahwa dasar
ajaran al-Qur’an adalah moral yang memancarkan titik beratnya pada monoteisme
dan keadilan sosial. Hukum moral tidak dapat diubah; Ia merupakan perintah Tuhan;
manusia tidak dapat membuat hukum moral: bahkan ia sendiri harus tunduk
kepadanya, ketundukan itu disebut “Islam” dan perwujudannya dalam kehidupan
disebut ibadah atau pengabdian kepada Allah SWT.[8]
Moral, akhlaq dan etika dalam pengetiannya yang
mendasar, sebagai konsep dan ajaran yang komprehensif yang
menjadi pangkal pandangan hidup tentang baik dan buruk, benar dan salah
yang mencakup keseluruhan pandangan dunia dan pandangan hidup. Pembahasan
baik dan buruk menurut al-Qur’an dapat dibagi dalam beberapa pokok bahasan.
Antara lain: al-Haq dan al-Batil (kebenaran dan kebatilan), al-Islah dan
al-Ifsad (perbaikan dan penghancuran), al-Tayyib dan al-Khabis (yang
baik dan yang buruk), al-Hasanah dan al-Sayyi’ah (kebaikan dan
keburukan). Adapun pengembangan sifat, sikap dan perilaku dari pokok
bahasan diatas sangatlah beragam.
Al-Qur’an diturunkan untuk mengajarkan dan
menetapkan suatu perbuatan baik dan perbuatan yang lain buruk.
Al-Qur’an pun membimbing manusia untuk melakukan perbuatan baik dan benar,
dengan disertakan penjelasan bahwa melakukan kebaikan akan mendapat pahala dan melakukan
kebatilan akan mendapat dosa. Dalam hal ini manusia diberi kewenangan untuk
memilih melakukan perbuatan baik atau perbuatan buruk, akan tetpi manusia pun
harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan Allah.
Dari paparan diatas dapat kita simpulkan, bahwa
ketaatan atau sikap hormat dan tanggung jawab adalah dua nilai
moral dasar yang menjadi landasan atas terbentuknya nilai-nilai moral
yang lain, seperti contohnya: kejujuran, keadilan, bijaksana, suka
menolong, amanah, dan lain sebagainya.
2. Pilar-pilar Ajaran Moral
Pada dasarnya, pengetahuan dan pertimbangan
moral menjadi penentu tingkah laku moral. Salah satu penyebab
ketidakmampuan seseorang berlaku baik meskipun ia telah memiliki pengetahuan
tentang baik dan buruk adalah karena ia tidak terlatih untuk melakukan
kebaikan.
Dalam usaha membentuk pribadi yang bermoral,
menurut Thomas Lickona perlu melalui tahapan-tahapan sebagai
berikut:[9]
a. Moral Knowing
Moral knowing sebagai aspek pertama memiliki
enam unsur, yaitu:
- Kesadaran moral (moral awareness)
- Pengetahuan tentang nilai-nilai moral (knowing moral values)
- Penentuan sudut pandang (perspective taking)
- Logika moral (moral reasoning)
- Keberanian mengambil menentukan sikap (decision making)
- Pengenalan diri (self knowledge)
Keenam unsur ini adalah faktor penting
dimulainya penanaman nilai-nilai ajaran moral terhadap
diri seseorang, hal tersebut sesuai dengan titah manusia sebagai
makhluk berakal.
Agama islam merupakan pedoman bagi manusia yang
berakal. Sebagaimana firman Allah: “Mereka itulah
orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah
orang-orang yang mempunyai akal”. (Q.S. Al-Zumar; 39: 18).
b. Moral Loving atau Moral Feeling
Moral loving merupakan penguatan aspek emosi
pada diri seseorang, guna membentuk sikap akan kesadaran terhadap jati diri, yaitu:
- Nurani (conscience)
- Percaya diri (self esteem)
- Kepekaan terhadap derita orang lain (emphaty)
- Cinta kebenaran (loving the good)
- Pengendalian diri (self control)
- Kerendahan hati (humility)
Keenam unsur ini berguna untuk membangun
kepekaan seseorang terhadap dirinya sendiri dan orang
lain, dengan tujuan agar agar seseorang mampu mempertahankan prinsip
dirinya secara bertanggungjawab.
c. Moral Doing/ Acting
Tindakan moral ini adalah hasil dari dua pilar
yang telah dijelaskan sebelumnya. Lahirnya sebuah tindakan itu berasal dari
tiga unsur berikut ini:
- Kompetensi (competence)
- Keinginan (will)
- Kebiasaan (habit)
Dari ketiga pilar ajaran moral inilah, terlihat
bahwa ajaran moral itu bersifat terapan. Dimana ketiga pilar ini
bersama-sama saling mendukung dan menciptakan tindakan moral.
[1] Kemenag RI, Etika Berkeluarga,
bermasyarakat, dan Berpolitik (Tafsir al-Qur’an Tematik), (Seri. 3, Jakarta; Lajnah Pentashihan Mushaf
al-Qur’an, 2009), h. 1.
[2] Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, Cet. I,
Edisi IV, 2008), h. 929.
[3] Kemenag RI, Etika, ..., h. 11.
[4] Kemenag RI, Etika, ..., h. 15.
[5] Kemenag RI, Etika, ..., h. 325-328.
[6] Emile Durkheim, Moral Education, terj. Lukas Ginting,
(Erlangga, 1961), h. 17.
[7] Lihat, Sutarjo Adisusilo, Pembelajaran
Nilai Karakter; Konstruktivisme dan VCT sebagai Inovasi Pendekatan Pembelajaran
Afektif, (Edisi. I, Cet. III, Jakarta; Rajawali Pers, 2014), h. 50.
[8] Fazlur Rahman, Islam. Terj. Senoaji Saleh, (Cet.II;
Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h. 49.
[9] Lihat, Sutarjo Adisusilo, Pembelajaran
Nilai Karakter; Konstruktivisme dan VCT sebagai
Inovasi Pendekatan Pembelajaran Afektif, (Edisi. I, Cet. III, Jakarta; Rajawali Pers,
2014), h. 1-3. Lihat juga, Thomas Lickona, Pendidikan
Karakter; Panduan Lengkap Mendidik Siswa Menjadi Pintar dan Baik, terj. Lita. S, (Cet. II, Bandung; Nusa Media, 2014), hlm. 74. Lihat
juga, Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, (Cet.
II, Bandung; Remaja Rosdakaya, 2012), h. 112. Lihat juga, Masnur Muslich, Pendidikan
Karakter Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional, (Jakarta; Bumi Aksara,
2011), h. 133.