Hukum Memanfaatkan Barang Gadai
Saturday, 30 January 2016
Sudut Hukum | Hukum Memanfaatkan Barang Gadai
Assalamualaikum..
Saya mau brtanya tntang masalh
pemanfaatan barang gadai, bahaimana hukumnya? Boleh atau tidak?
___________
Pada dasarnya segala sesuatu yang
diperbolehkan untuk dijual, maka boleh untuk dijadikan jaminan (borg)
atas utang.[1] Selain itu juga barang yang dijadikan jaminan sudah ada pada saat
perjanjian terjadi, sehingga memungkinkan bagi barang itu untuk diserahkan
seketika kepada murtahin dan barang tersebut mempunyai nilai menurut
syara’.
Persoalan lain adalah apabila yang
dijadikan barang jaminan itu adalah binatang ternak. Menurut sebagian ulama
Hanafiyah, murtahin boleh memanfaatkan hewan ternak itu apabila mendapat
izin dari pemiliknya.[2]
Ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Ulama
Hanafiyah berpendirian bahwa apabila hewan itu dibiarkan saja, tanpa diurus
pemiliknya, maka murtahin boleh memanfaatkannya, baik seizin pemiliknya
maupun tidak, karena, membiarkan hewan itu tersia-sia, termasuk dalam larangan
Rasulullah.[3]
Ulama Hanabilah berpendapat bahwa apabila
yang dijadikan barang jaminan itu adalah hewan, maka pemegang barang jaminan
berhak untuk mengambil susunya dan mempergunakanya, sesuai dengan jumlah biaya pemiliharaan
yang dikeluarkan pemegang barang jaminan.[4]
Hal tersebut dijelaskan dalam hadits
yaitu:
“Abu Hurairah r.a. berkata, bahwa Rasulullah SAW. Bersabda: binatang tunggangan yang dirungguhkan atau diborongkan harus ditunggangi dipakai, disebabkan ia harus dibayar, air susunya boleh diminum diperas untuk pembayaran ongkosnya, orang yang menunggangi dan meminum air susunya harus membayar.”[5]
Hadits di atas menerangkan bahwa binatang
yang dijadikan jaminan boleh diambil manfaatnya seperti untuk tunggangan,
diminum air susunya hal ini disebabkan karena adanya biaya yang telah
dikeluarkan untuk pemeliharaan tetapi apabila hasil ternaknya ada kelebihannya,
maka kelebihan itu dibagi rata antara murtahin dan rahin. Dan
apabila orang yang menunggangi dan yang minum air susunya tidak membaginya maka
orang tersebut harus membayar kelebihan itu.
Akan tetapi menurut ulama Hanabilah,
apabila barang jaminan itu bukan hewan atau sesuatu yang tidak memerlukan biaya
pemiliharaan, seperti, tanah, maka pemegang tidak boleh memanfaatkanya.[6]
Ulama Hanafiyah mengatakan apabila barang
jaminan itu hewan ternak, maka pihak penerima gadai boleh memanfaatkan hewan
itu apabila mendapat izin dari pemilik barang. Sedangkan ulama Malikiyah dan Syafi’iyah
mengatakan bahwa kebolehan memanfaatkan hewan ternak yang dijadikan barang
jaminan oleh pemberi gadai, hanya apabila hewan itu dibiarkan saja tanpa diurus
pemiliknya.[7]
Madzhab Maliki berpendapat gadai wajib
dengan akad (setelah akad) pemberi gadai (rahin) dipaksakan untuk
menyerahkan marhun untuk dipegang oleh penerima gadai (murtahin).
Jika marhun sudah berada di tangan pemegang gadaian (murtahin),
pemberi gadai (rahin) mempunyai hak memanfatkan, berbeda dengan pendapat
Imam Asy Syafi’i yang mengatakan hak memanfaatkan berlaku selama tidak
merugikan/membahayakan penerima gadai (murtahin).[8]
Para ulama fiqih sepakat bahwa barang
yang dijadikan barang jaminan itu tidak boleh dibiarkan begitu saja, tanpa
menghasilkan sama sekali, karena tindakan itu termasuk tindakan yang
menyia-nyiakan harta, akan tetapi bolehkah pihak pemegang barang jaminan (murtahin),
memanfaatkan barang jaminan itu? Sekalipun mendapat ijin dari pemilik barang
jaminan, dalam persoalan ini terjadi perbedaan pendapat
para Jumhur ulama fiqih.[9]
Pada dasarnya barang gadai tidak boleh
diambil manfaatnya, baik oleh pemiliknya maupun oleh penerima gadai. Hal ini
disebabkan status hanya sebagai jaminan utang dan sebagai amanat bagi
penerimanya. Namun apabila mendapat izin dari masing-masing pihak yang
bersangkutan, maka barang tersebut boleh dimanfaatkan. Hal ini dilakukan karena
pihak pemilik barang (pemberi gadai) tidak memiliki barang secara sempurna yang
memungkinkan ia melakukan perbuatan hukum (barangnya sudah digadaikan).
Misalnya, mewakafkan, menjual dan sebagainya sewaktu-waktu atas barang yang
telah digadaikan tersebut. Sedangkan hak penerima gadai (murtahin)
terhadap barang tersebut hanya pada keadaan atau sifat kebendaannya yang
mempunyai nilai, tetapi tidak pada guna pemanfaatan/ pemungutan hasilnya. Murtahin
hanya berhak menahan barang gadai, tetapi tidak berhak menggunakan atau memnfaatkan
hasilnya, sebagaimana pemilik barang (pemberi gadai) tidak berhak menggunakan
barangnya itu, tetapi sebagai pemilik apabila barang yang digadaikan itu
mengeluarkan hasil, maka hasil itu menjadi miliknya.[11]
Secara jelas dapat dikatakan bahwa adanya
perbedaan pendapat di kalangan ulama madzhab dalam membahas pemanfaatan barang
gadai di atas merupakan referensi bagi para pihak dalam transaksi gadai (rahn)
untuk dapat memilih atau mencari jalan tengah dalam hal pemanfaatan barang yang
digadaikan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi yang ada, sehingga tujuan utama
gadai sebagai pengikat pada transaksi yang tidak tunai tidak terabaikan.
[1]
Abdul Fatah
Idris dan Abu Ahmadi (eds), Kifayatul Akhyar Terjemah Ringkas
Fiqih Islam Lengkap, Cet.I,
(Jakarta: Rineka Cipta, 1990), h.143.
[2]
Wahbah
Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islam Wa Adillatuh, Jilid V, (Bairut: Dar
Ar-Fikr, 1984), h. 256.
[3]
Fathi
Ad-Duraini, Al-Fat Al-Islami Al-Muqaram Maal Al-Mazzahib, (Demaskus: Mathba’ah
Ath-Tharriyin, 1979), h. 555.
[4] Ibnu Qudamah, Al-Mughni.,
Jilid IV, h. 432-433
[5]
Imam
Abdillah Muhammad bin Ismail Ibnu Ibarhim bin Magrib bin Bani Zibal Bukhori
Ja’fi, Sohih Bukhori Jilid 3, (Birut Libanon: Darul Qutub, tt), h. 16
[6] Ibnu Qudamah, h. 440
[7] Wahbah az-Zuhaili, h. 557
[8]
Sayid
Sabiq, Fikih Sunnah 12, Alih Bahasa: H. Kamaludin A Marzuki, Pustaka, h,
141.
[9]
Abu Walid
Muhammad Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibn Rasyid, Bidayatul Al- Mujtahid Wanihayat
Wamuqtasid, (Bairut: Dar Al-Jiil, 1409 H/1989), Jilid II, h. 272.
[10] Ibid, h. 271.
[11]
Muhammad
Sholikul Hadi, . h.54.