Macam-macam Qiyas
Saturday, 30 January 2016
Sudut Hukum | Untuk memperoleh pemahaman utuh tentang
qiyas diperlukan pengetahuan tentang spare parts (suku cadang,
rukun-rukun) dari metode ini. Dalam epistemologi usul fiqih diuraikan bahwa
rukun-rukun qiyas meliputi; al-asl, al-far’, al-hukm, dan ‘illat.
Terkait susunan ini, al-Jabiri memaparkan bahwa membuat konfigurasi
ideal bagi rukun qiyas, sehingga ia “enak” dipahami sebagai sebuah gambaran
logis bagi struktur berfikir bukan persoalan mudah, karenanya membutuhkan upaya
pikir yang cukup subtil. Karena hal ini maka di dalam berbagai tempat,
konfigurasi rukun-rukun qiyas menampakkan berbagai bentuk dan pilihan,
tergantung pendekatan yang dipakai, serta pemahaman yang diyakini dari
masing-masing istilah kuncinya. Plus-minus paradigma yang dipakai meniscayakan
fabrikasi konfigurasi rukun qiyas akan selalu bisa diperdebatkan, tidak paten.
Dengan mempertimbangkan proses waktu
berfikir misalnya, konfigurasi konvensional di atas menjadi klasik, sebab
paradigma ini menawarkan bentuk sebagai berikut; hukm al-asl, far’,
illat hukm al-asl, dan tahsil hukm al-asl fi al-far’. Konfigurasi
demikian ini dibanding konfigurasi yang di atas mempunyai setidaknya dua
perbedaan yaitu ia tidak memisahkan antara hukum dengan asal, serta merta
sebagai satu kesatuan pembahasan (sesuai paradigma Mutakallimin), dan masuknya
proses (action, upaya) pemberlakuan hukum asal pada cabang sebagai rukun
qiyas.
Konfigurasi ini walaupun kelihatan rasional, akan menjadi kurang tepat
kalau misalnya pembahasan illat hukum asl dalam qiyas itu mendahului far’. Lagi-lagi hal ini pun kurang tepat kalau konfigurasi didekati dengan
paradigma bahwa pembahasaan illat dalam qiyas itu tidak berangkat dari nas
akan tetapi dari far’ yang untuk mendapatkannya semata melalui
penalaran.
Menurut al-Jabiri, dalam perspektif
terakhir ini sebenarnya konfigurasi ideal qiyas itu bisa terbentuk. Logikanya,
seorang mujtahid untuk pertama sekali memulai langkahnya dengan menerima kasus
aktual (al-far’) yang melalui penelusuran mendalam atas nas tidak
didapatkan ketentuan hukumnya. Ini membawa arti bahwa al-far’ dalam
pembahasan qiyas menjadi fokus niscaya pertama.
Dari sini aplikasi qiyas
mengalir kepada penemuan al-asl yang diprakonsepsikan mempunyai
ketetapan hukum dalam nas, untuk selanjutnya diulas illat hukum yang
terdapat di dalam al-asl dan al-far’ dan dimungkinkan bias mempertemukan
keduanya. Setelah ketiga langkah ini ditempuh maka upaya terakhir adalah
penetapan hukum asal kepada cabang. Mendasar pada rentetan pemikiran maka
konfigurasinya adalah al-far’, al-asl, al-‘illat, dan al-hukm.
Menurut penulis apa yang menarik dari
paparan al-Jabiri ini, –sesuai dengan proyek Kritik Nalar Arab-nya– esensinya
bukan semata untuk mengetahui struktur qiyas (bunyah al-qiyas) sebagai
metode penemuan hukum dengan segala kemungkinan konfigurasinya. Al-Jabiri
berkehendak memaparkan bahwa bagaimana pun susunan konfigurasi [akan]
terbentuk, tetap saja ia menampakkan ke-monolitik-an sebuah metode. Metode ini
menguasakan hukum segala persoalan aktual kepada nas, dengan cara menempelkan
hukum masalah di dalam nas (asal) kepada cabang.
Deduktifitas qiyas –dengan
sendiri– menjauhkannya dari nuansa “empirical approach”, apalagi “equilibrium
approach” bagi sebuah metode, yang mengakibatkan
produk hukum yang dihasilkan akan terasa “utopis”, suigeneris, dan “ngawang-ngawang”,
tidak menyelesaikan masalah. Karena itu, idealnya sebuah metode penemuan hukumtidak hanya semata berpijak pada nalar bayani (bahasa, teks, nas) akan tetapi
perpaduan gerak nalar bayani dan nalar alami (perubahan empirik).
Kembali kepada epistemologi usul fiqih
bahwa qiyas dapat terbagi kepada beberapa kelompok, tergantung dari mana sudut
pandang konseptornya. Qiyas dilihat dari subtansi kuat dan tidaknya hukum yang
terdapat di dalam asal dan cabang terbagi menjadi tiga macam yaitu:
- al-Qiyās al-aulawī atau al-jalī yaitu jika status hukum (sense of law) di dalam furu’ terasa lebih kuat dari pada yang terdapat di dalam asal. Contohnya, status haram memukul orang tua (far’) itu lebih kuat dari pada sekedar membentak (as l). Pola qiyas ini di kalangan ulama’ usul sering tidak disebut sebagai qiyas akan tetapi dibahas dalam konteks dilālah al-dilālah, dilālah al-nās atau fahw al-khitāb,
- al-Qiyās al-musāwī yaitu jika status hukum (sense of law) yang terdapat di dalam asal dan cabang’ itu sama atau kompak. Qiyas ini sering dinamakan al-qiyās fi ma‘nā al-nās, atau dalam perspektif Hanafiyah hal ini baru disebut qiyās al-jāli. Teknisnya dengan memberlakukan secara umum ketentuan hukum dalam asal kepada furu’, seperti diberlakukannnya hukum haram makan harta anak yatim (al-as l) kepada segala hal pengrusakan dan menghancurkan harta anak yatim (al-furu’). Atau dalam konteks mutakhir adalah menarik hukum haram terhadap upaya menteror (terorisme) sebagaimana hukum pada berbuat kerusakan di bumi. Mengqiyaskan teror (cabang) dengan segala perbuatan yang merusak (asal) adalah qiyās al-musāwī karena berdasarkan satu atribut sepadan (mafsadat, unharmony) keduanya bisa berkumpul dalam satu hukum.
- al-Qiyās al-khāfī yaitu jika status hukum yang ditemukan di dalam asal jelas lebih kuat dibanding cabang, karena tidak disebut adanya illat di dalam asal. Teknisnya, pertama sekali diperlukan upaya penampakan illat hukum di dalam asal melalui ijtihad yang dengannya baru membahas illat hukum di dalam cabang.
Qiyas dilihat dari ada tidaknya ilustrasi
illat terangkai di dalam hukum asal terbagi menjadi dua yaitu qiyās al-‘illat
dan qiyās al-dilālah. Sedangkan qiyas dengan mempertimbangkan kuat
tidaknya illat yang mengumpulkan (al-jāmi’) antara asal dengan cabang
dapat terbagi –sebagaimana diungkapkan al-Ghazali menjadi empat yaitu
- al-munāsib al-mu‘assir,
- al-munāsib al-mulā’im,
- al-munāsib al-ghārib, dan
- al-qiyās al-thart.
Ulasan pembagian qiyas terakhir
ini akan kita diskusikan di dalam pembahasan tentang illat, dengan alasan
klasifikasinya –sebagaimana ada di dalam banyak tempat– terkait erat dengan
pembahasan tata cara identifikasi illat. [*Mahsun Fuad