Pengertian Pencurian Saat Bencana Alam
Tuesday, 26 January 2016
Pencurian berakar dari kata “curi” yang
mendapat awalan pe- dan akhiran -an yang mempunyai arti proses, cara perbuatan
mencuri. Kemudian kaitannya dengan pengertian tindak pidana pencurian pada
waktu bencana ini telah disebutkan dan diatur dalam pasal 363 ayat (1) Item-2
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang menyatakan bahwa, pencurian pada
waktu bencana adalah: Tindak pencurian yang dilakukan pada waktu terjadi
kebakaran, letusan, banjir, gempa bumi atau gempa laut, letusan gunung berapi,
kapal tenggelam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api, huru-hara,
pemberontakan atau bahaya perang.[1]
Para penerjemah Wetboek van Strafrecht
(WvS) dan para penulis di Indonesia pada umumnya telah menerjemahkan
kata “watersnood” di dalam rumusan tindak pidana pencurian yang diatur
dalam pasal 363 ayat (1) Item-2 KUHP tersebut dengan kata “banjir” padahal watersnood
itu sebenarnya berarti “bahaya banjir”. Banjir di dalam bahasa Belanda
disebut “overstroming”. Antara bajir dan
bahaya banjir itu terdapat perbedaan, yakni bahaya banjir itu sudah ada sebelum
benar-benar terjadi banjir, yakni sejak bahaya tersebut sudah benar-benar
mengancam suatu daerah tertentu.
Kemudian kata “oorlongsnood” di
dalam rumusan tindak pidana pencurian yang diatur dalam 363 ayat (1) angka 2
KUHP yang oleh para penerjemah Wetboek van Strafrecht dan para penulis
telah diterjemahkan dengan benar dengan kata “bahaya perang” dan oleh Susilo
diterjemahkan dengan kata “kesengsaraan dimasa perang”.[*
[1]
Moeljatno,
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Jakarta: Bumi Aksara, Cet. ke-24, 2005, hlm. 128. Lihat juga
Lamintang dan C. Jisman Samosir, Delik-delik Khusus (Kejahatan yang Ditujukan
terhadap Hak Milik dan lain-lain Hak yang timbul dari Hak Milik), Bandung: Tarsito, Ed ke-2, 1990,
hlm. 70-71.