Sejarah Perkembangan Bantuan Hukum di Indonesia
Friday, 15 January 2016
Sudut Hukum | Sejarah Perkembangan Bantuan Hukum di Indonesia
Perkembangan
bantuan hukum di Indonesia tidak lepas dari sejarah berkembangnya bantuan hukum
tersebut secara Internasional. Sejarah bantuan hukum menunjukkan bahwa bantuan
hukum pada mulanya berawal dari sikap kedermawanan (charity) sekelompok
elite gereja terhadap para pengikutnya, hubungan kedermawanan ini juga ada pada
pemuka adat dengan penduduk sekitarnya. Suatu pola hubungan patron-client jelas
terpancar disini. Pengertian bantuan hukum disini tidak begitu jelas sehingga
ada kesan, bantuan hukum diinterprestasikan sebagai bantuan dalam segala hal
ekonomi, sosial, agama dan adat.
Sejarah
secara perlahan mengembangkan konsep bantuan (hukum). Dasar berpijak “kedermawanan”
itu mulai diubah menjadi “hak”. Setiap klien yang terampas haknya boleh
mendapatkan bantuan hukum.
Bantuanhukum sudah mulai dihubungkan dengan hak-hak politik, ekonomi dan sosial. Dalam
praktek sehari-hari bantuan hukum juga mulai melebarkan sayapnya, tidak saja
terbatas di negara-negara kapitalis tetapi juga di negara sosialis. Pada
beberapa dekade terakhir ini gerakan bantuan hukum hampir terdapat dimana-mana,
di Afrika Selatan, Brazilia, Taiwan, Tanzania dan lain-lain. Kalau bantuan
hukum diartikan sebagai charity maka bantuan hukum di Indonesia sudah
ada sejak datangnya agama Nasrani ke Indonesia tahun 1500-an, bersamaan
datangnya bangsa Portugis, Spanyol, Inggris, dan Belanda. Dan kalau kata charity
dikaitkan dengan praktek tolong-menolong dalam masyarakat hukum adat kita,
maka lembaga tolong-menolong ini adalah juga salah satu bentuk dari bantuan
hukum meskipun tidak terorganisasi.
Dalam
hukum positif Indonesia soal bantuan hukum ini sudah diatur dalam Pasal 250 Herziene
Indische Reglement (HIR). Menurut pasal ini, advokat diminta bantuan
hukumnya apabila ada permintaan dari orang yang dituduh serta diancam dengan
hukuman mati. Dengan demikian pasal 250 HIR tidak mewajibkan advokat untuk
memberikan bantuan hukum kepada orang yang dituduh atau diancam hukuman mati.
Pasal 250 HIR tersebut, juga lebih ditujukan kepada mereka yang bergolongan
kewarganegaraan Eropa/Belanda, pasal ini sarat dengan warna unsur diskriminasi
rasial.
Jadi,
asal 250 HIR dalam prakteknya lebih mengutamakan bangsa Belanda dibandingkan
bangsa Indonesia. Daya laku pasal ini terbatas bila para advokat tersedia dan
bersedia membela mereka yang terkait dengan perkara pidana serta dituduh dan
diancam hukuman mati dan atau hukuman seumur hidup.
Meskipun daya laku HIR terbatas, bisa ditafsirkan sebagai
awal mula pelembagaan bantuan hukum kedalam hukum positif kita. Meskipun HIR
tidak diperlakukan secara penuh tetapi HIR adalah pedoman yang tampaknya juga
diterima sebagai kenyataan praktek HIR ini masih tetap dianggap sebagai pedoman
sampai dilahirkannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok
Kekuasaan Kehakiman), dimana “hak untuk mendapatkan bantuan hukum” itu dijamin
melalui Pasal 35, 36 dan 37.
Secara intitusional, lembaga atau biro bantuan hukum dalam
bentuk konsultasi hukum pernah didirikan de Rechtshoge School Jakarta
pada tahun 1940 oleh Prof. Zeylemaker, seorang guru besar hukum dagang dan
hukum acara perdata. Biro konsultasi hukum yang beralamat di Kramat Raya 112
Jakarta tersebut dimaksudkan untuk memberi nasehat hukum kepada rakyat tidak
mampu disamping juga untuk memajukan kegiatan klinik hukum. Biro yang dikelola
oleh Mr. Alwi St. Osman dan Mr. Elkana Tobing serta beberapa mahasiswa ternyata
tidak sepenuhnya sukses karena kurangnya pengalaman praktek dikalangan
pengelolanya.
Pada tahun 1953 ide mendirikan semacam biro konsultasi hukum
itu kembali muncul. Kali ini dari sebuah perguruan Tionghoa Sim Ming Hui atau
Tjandra Naya. Biro ini baru pada tahun 1945 didirikan dibawah pimpinan Prof.
Ting Swan Tiong. Biro ini agak terbatas ruang geraknya dan lebih mengutamakan
konsultasi hukum bagi orang Cina. Biro ini juga tidak begitu sukses.
Prof. Ting Swan Tiong yang perhatiannya amat banyak dalam
bidang ini pada tahun 1962 datang kepada dekan fakultas Universitas Indonesia
Prof. Sujono Hadibroto dan mengusulkan agar di fakultas hukum didirikan biro
konsultasi hukum. Usulan ini disambut baik, dan pada tanggal 2 mei 1953 yang
bertepatan dengan hari pendidikan nasional, resmilah didirikan biro konsultasi
hukum di Universitas Indonesia dengan Prof. Ting Swan Tiong sebagai ketuanya.
Biro ini secara regular memberikan konsultasi hukum bagi orang tidak mampu.
Pada tahun 1968 diubah namanya menjadi lembaga konsultasi hukum, lalu pada
tahun 1974 diubah lagi menjadi Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum.
Di daerah-daerah lain, biro yang serupa juga didirikan oleh
Prof. Mochtar Kusumaatmadja dari Fakultas Hukum Universitas Padjajaran bisa
disebut sebagai tokoh bantuan hukum yang banyak jasanya dalam memberi teladan
bagi biro-biro serupa didaerah lain. Biro konsultasi hukum di fakultas hukum
Universitas Pajajaran didirikan pada tahun 1967. Biro-biro konsultasi hukum
telah merubah bentuknya menjadi biro bantuan hukum dan dengan demikian
meluaskan pelayanannya tidak sekedar memberi nasehat hukum, melainkan juga
mewakili mengadakan pembelaan hukum di muka pengadilan. Diluar fakultas hukumdan paling menonjol serta aktif adalah Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta yang
didirikan pada tanggal 28 Oktober 1970 oleh Persatuan Advokat Indonesia
(PERADIN). LBH ini adalah wajah lain dari gerakan bantuan hukum di Indonesia
karena cirinya yang sangat dinamik. Berkat sukses LBH Jakarta maka gerakan
bantuan hukum di Indonesia memasyarakat. Ketika LBH menunjukan eksistensinya
sebagai suatu lembaga mandiri yang memperjuangkan rakyat kecil, maka pendidikan
secara cuma-cuma kepada masyarakat pun dimulai.
Bantuan hukum khususnya
bagi masyarakat kecil yang tidak mampu dan buta hukum tampaknya merupakan hal
yang dapat kita relatif baru di negara-negara berkembang, demikian juga di
Indonesia. Namun didirikannya lembaga atau pusat bantuan hukum oleh berbagai
golongan adalah suatu pertanda sehat bahwa bantuan hukum telah diakui sebagai
salah satu basic needs.