Kedudukan Perempuan di Aceh
Wednesday, 23 March 2016
Sudut Hukum | Cukup menarik
membicarakan persoalan kedudukan perempuan di Aceh yang dianggap tidak janggal
memegang jabatan tinggi bahkan menjadi ratu. Dalam kerajaan-kerajaan Islam di
Aceh, kedudukan perempuan disetarafkan dengan laki-laki, karena itu tidak
mengherankan jika muncul sejumlah tokoh perempuan Aceh yang telah memainkan
peran penting di tanah Aceh pada masa lampau, sejak zaman kerajaan Islam Perlak
bahkan sampai zaman revolusi kemerdekaan. Baik sebagai pemimpin pemerintahan
maupun sebagai pahlawan dalam peperangan.[1]
Demikian
setelah terbentuk Kesultanan Aceh Darussalam, perempuan juga diberi kesempatan
yang luas untuk ikut serta dalam lembaga-lembaga negara dan pertahanan. Dalam
Kesultanan Aceh Darussalam, hak perempuan untuk memegang jabatan-jabatan apa
saja dalam kerajaan diakui dalam Qanun Meukota Alam yang membolehkan
kaum perempuan menduduki segala jabatan dalam lembaga negara. Demikian pula
kewajiban mereka terhadap kerajaan, seperti kewajiban untuk membela dan
memajukan kerajaan, oleh karena perempuan dipandang sama dengan pria dalam
hukum kerajaan.[2]
Image: cepologis.com |
Sejarah Aceh
mencatat banyak nama perempuan yang menonjol di masa lalu dalam hal
kepemimpinan dan perlawanan. Jauh sebelum berdirinya Kesultanan Aceh
Darussalam, kepemimpinan di Aceh pernah dipegang oleh perempuan, yakni Puteri
Lindung Bulan yang memerintah Kerajaan Benua Teuming (negara bagian dari
Kesultanan Perlak).[3] Dia adalah puteri Raja
Muda Sedia yang memerintah dalam tahun 735 - 800 H (1353 - 1398 M). Sekalipun
tidak memegang salah satu jabatan dalam pemerintahan, namun di belakang layar,
Puteri Lindung Bulan telah membantu ayahnya dalam berbagai urusan kerajaan.[4] Selain
itu, di Samudera Pasai juga ada Ratu Nihrasiyah Rawangsa Khadiyu. Dia adalah
Sultanah terakhir dari Kesultanan Samudera Pasai yang memerintah tahun 801
- 831 H (1400 - 1428 M).[5]
Dalam
perjalanan sejarah Kesultanan Aceh Darussalam, kita dapati tokoh-tokoh
perempuan yang memegang peranan penting dalam pemerintahan, angkatan perang dan
lembaga-lembaga negara, sebagai akibat logis dari ketentuan Qanun Meukota
Alam yang mengatur kedudukan perempuan.[6] Perempuan
diberi peran cukup besar dalam angkatan perang kerajaan. Dapat disebutkan di
sini pembentukan Armada Inong Balee pada masa Sultan al-Mukammil
(1589–1604) yang terdiri dari janda-janda prajurit yang mati dalam pertempuran
laut di teluk Aru.[7] Armada Inong Balee ini
dipimpin oleh Laksamana Malahayati, seorang pahlawan perempuan yang telah
banyak berjasa pada Kesultanan dan juga menonjol dalam menyusun
strategi-strategi perang.[8]
Laksamana
Malahayati juga telah berhasil menggagalkan percobaan pengacauan oleh angkatan
laut Belanda di bawah pimpinan Cornelis dan Frederick de Houtman pada tahun
1599 M. Dalam pertempuran dengan kapal perang Belanda tersebut, Cornelis de
Houtman mati ditikam Malahayati dan Frederijk ditawan.[9] Berkali-kali
Armada Inong Balee ikut bertempur di Selat Malaka dan pantai-pantai
Timur Sumatera. Seorang pengarang perempuan Belanda, Merie van Zuchtelen dalam
bukunya Vrowlijke Admiral Malahayati sangat memuji-muji Laksamana
Malahayati dengan Armada Inong Baleenya, yang terdiri dari 2000 prajurit
perempuan yang gagah dan tangkas.
Laksamana
Malahayati bukan saja seorang panglima armada perang, tetapi juga seorang
negaraan. Ketika negeri Belanda berusaha memperbaiki hubungan dengan kerajaan
Aceh, datanglah utusan Belanda, Sir James Lancaster yang datang ke Aceh pada
1602 M dengan membawa surat istimewa dari Prins Maurits, pemimpin negeri
Belanda pada waktu itu. Malahayati ditunjuk oleh Sultan al-Mukammil untuk
menghadapi utusan Inggris tersebut. Perundingan itu memberikan hasil yang
gemilang, antara lain dibukanya kedutaan Aceh di negeri Belanda dengan Duta
Besar pertama Abdul Hamid.[10]
Selain Inong
Balee, ada juga Suke Kaway Istana (Resimen Pengawal Istana) yang
dibentuk pada masa Sultan Muda Ali Riayat Shāh (m 1604–1607).
Resimen perempuan pengawal istana ini terdiri dari Si Pai Inong (prajurit
perempuan) dan dipimpin oleh dua pahlawan perempuan yaitu Laksamana Meurah
Ganti dan Laksamana Muda Cut Meurah Inseuen.[11] Kedua
pahlawan inilah yang berjasa membebaskan Sultan Iskandar Muda dari penjara
tahanan Sultan Muda.[12]
Sultan Iskandar
Muda juga menggunakan tiga ribu perempuan istana. Perempuan-perempuan istana
ini mencakup satuan yang terlatih menggunakan senjata, bertindak sebagai
pengawal istana dan mengambil bagian dalam arak-arakan kerajaan.[13] Sebuah
devisi pengawal istana yang dibentuk oleh Sultan Iskandar Muda diberi nama
Devisi Keumala Cahya, yang terdiri dari prajurit-prajurit perempuan dan
penglimanya juga seorang jendral perempuan. Satu batalion devisi perempuan ini
dijadikan “Batalion Kawal Kehormatan” yang prajurit-prajuritnya dipilih dari
dara-dara yang ramping semampai dan berwajah rupawan. Batalion inilah yang ditugaskan
untuk menyambut tamu agung dengan barisan kehormatannya.[14] Dr.
J. Jakobs, yang mengupas persoalan kedudukan perempuan Aceh mengemukakan bahwa
perempuan Aceh sebagai pemimpin bukan soal aneh. Katanya: “Tijdens onze
ezpeditie naam Samalanga had aldaar eene vrouw met naam Pocut Maligai als
regents de teugels van het bewind in handen en wist haar gezag met kracht te
handhaven. Zij dreigde toetertijds iedereen weerbaren man met straf van
ontmanning, wanneer hij in den oorlog zijne plicht als landverdediger mocht
verzaken.”
Terjemahannya: ketika kita menyerang ke Samalanga bertindak di sana seorang perempuan bernama Pocut Maligai menjadi pemangku dan putra ahli waris kerajaan masih di bawah umur dan dia telah berhasil mempertahankan kekuasaannya. Dia mengancam dengan hukuman kebiri kepada setiap laki-laki yang sudah wajib perang mengelak dari kewajibannya.[15]
___________________________
[1] Suhaimi, Emi. Wanita Aceh Dalam Pemerintahan dan Peperangan (Banda Aceh: Yayasan Pendidikan A. Hasjmy, 1993), 3.
[2] A.Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia (Jakarta : Bulan Bintang, 1990), 148-149.
[3] Sri Lestari Wahyuningroem, “Peran Perempuan dan Era Baru di Nangroe Aceh Darussalam” Antropologi Indonesia, Vol. 29, No. 1 (Januari, 2005), 95.
[4] Suhaimi, Wanita Aceh Dalam Pemerintahan, 6.
[5] Ibid., 11.
[6] Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam,149.
[7] Pertempuran Teluk Aru yaitu pertempuran yang terjadi pada masa al-Mukammil (m. 1589-1604 M) antara armada Aceh dan armada Portugis. Pertempuran ini berakhir dengan hancurnya armada Portugis, tetapi sekitar 1000 orang prajurit dan dua orang laksamana Aceh gugur dalam pertempuran ini.
[8] Wahyuningroem, “Peran Perempuan dan Era Baru”, 96.
[9] Suhaimi, Wanita Aceh Dalam Pemerintahan, 26. 11Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam,143.
[10] Suhaimi, Wanita Aceh Dalam Pemerintahan, 26.
[11] Wahyuningroem, “Peran Perempuan dan Era Baru”, 96
[12] Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam,143.
[13] Anthony Reid, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid I: Tanah Di Bawah Angin (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992), 192.
[14] Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam,143.
[15] Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad Jilid 1 (Medan: Waspada, 1981), 325-326.