Aborsi Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Sunday, 17 April 2016
SUDUT HUKUM | Selain
dalam Undang-Undang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014
tentang Kesehatan Reproduksi, pengaturan tentang aborsi juga terdapat dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku sebagai hukum pidana umum
(Lex Generalie), regulasi tentang pengguguran kandungan yang disengaja (abortus
provocatus) dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) diatur dalam buku
kedua Bab XIV tentang Kejahatan Kesusilaan khususnya Pasal 299, Bab XIX Pasal
346 sampai dengan Pasal 349, dan digolongkan ke dalam kejahatan terhadap nyawa.
Berikut
ini adalah uraian tentang pengaturan abortus provocatus yang terdapat
dalam masing-masing pasal tersebut:
Pasal
299 :
(1)
Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruh supaya
diobati, dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan bahwa karena pengobatan
itu hamilnya dapat digugurkan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat
tahun atau pidana denda paling banyak empat puluh lima ribu rupiah.
(2)
Jika yang bersalah berbuat demikian untuk mencari keuntungan, atau menjadikan
perbuatan tersebut sebagai pencarian atau kebiasaan, atau jika dia seorang
tabib, bidan atau juru-obat, pidananya dapat ditambah sepertiga.
(3)
Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan pencarian,
maka dapat dicabut haknya untuk melakukan pencarian itu.
Pasal
346 :
“Seorang
wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh
orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”
Pasal
347 :
(1) Barangsiapa
dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa
persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
(2)
Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana
penjara paling lama lima belas tahun.
Pasal
348:
(1)
Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita
dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun
enam bulan.
(2)
Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana
penjara paling lama tujuh tahun.
Pasal
349 :
Jika
seorang tabib, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut
Pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang
diterangkan dalam Pasal 347 dan Pasal 348, maka pidana yang ditentukan dalam
pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk
menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukan.
Beradasarkan
rumusan pasal-pasal tersebut di atas dapat diuraikan unsur-unsur tindak pidana
adalah sebagai berikut:
- Seorang wanita hamil yang sengaja melakukan aborsi atau menyuruh orang lain, diancam hukuman 4 (empat) tahun penjara.
- Seseorang yang sengaja melakukan aborsi terhadap ibu hamil, dengan tanpa persetujuan ibu hamil tersebut, diancam hukuman penjara 12 tahun, dan jika ibu hamil tersebut mati, diancam 15 tahun penjara.
- Jika dengan persetujuan ibu hamil, maka diancam hukuman 5,5 tahun penjara dan bila ibu hamilnya mati diancam hukuman 7 tahun penjara.
- Jika yang membantu melakukan aborsi tersebut seorang dokter, bidan atau juru obat (tenaga kesehatan) ancaman hukumannya ditambah sepertiganya dan hak untuk berpraktik dapat dicabut.
(Baca juga: Pengertian Aborsi dan Jenis-jenisnya)
Pasal-Pasal
dalam KUHP tersebut dengan jelas tidak memperbolehkan suatu aborsi di
Indonesia. KUHP tidak melegalkan tanpa kecuali. Bahkan abortus provocatus
medicalis atau abortus provocatus therapeuticus pun dilarang, termasuk
didalamnya adalah abortus provocatus yang dilakukan oleh perempuan korban
perkosaan. Perbedaan pada pasal diatas dengan Pasal 341 dan Pasal 342 KUHP
adalah terletak pada tenggang waktu dilakukan suatu aborsi. Sehingga dalam
pasal tersebut apabila dilakukan bukan merupakan suatu aborsi melainkan suatu
pembunuhan terahadap anak.
Menurut Soewadi, aborsi
berdasarkan indikasi medis atau aborsi terapeutik dapat dilakukan jika
kehamilan yang mengakibatkan resiko bagi kehidupan perempuan hamil, baik dari
segi kesehatan fisik maupun mental, adanya resiko keutuhan fisik bayi yang akan
dilahirkan (pertimbangan eugenik) dan perkosaan dan incest (pertimbangan
yuridis). Apabila pengaturan hukum tentang aborsi yang dimungkinkan atau
seharusnya berlaku di Indonesia diharmonisasikan dengan konsep aborsi
terapeutik sebagaimana diutarakan di atas, maka aborsi legal di Indonesia tidak
hanya terbatas pada aborsi berdasarkan indikasi medis untuk menyelamatkan jiwa
ibu dalam keadaan darurat, tetapi lebih luas lagi mencakup beberapa alasan
aborsi terapeutik baik dari segi medis maupun psikiatri yaitu: kehamilan akibat
perkosaan dan incest, perempuan hamil mengalami gangguan jiwa berat, dan
janin mengalami cacat bawaan berat.
(Baca juga: Hukum Aborsi Menurut Islam)
Adanya
legalitas aborsi bagi perempuan korban perkosaan dengan KUHP berimplikasi pada
tidak berlakunya pertanggungjawaban pidana pada perempuan korban perkosaan yang
melakukan aborsi sebab terdapat unsur pemaaf dan unsure pembenar baginya dalam
melakukan perbuatan tersebut.
Pertanggungjawaban pidana hanya menuntut adanya
kemampuan bertanggungjawab pelaku. Pada prinsipnya pertanggungjawaban pidanaberbicara mengenai kesalahan (culpabilitas) yang merupakan asas
fundamental dalam hukum pidana, yang mendalilkan bahwa tidak ada pidana jika
tanpa kesalahan.
Menurut
Muladi, diperlukan parameter hukum yang baik agar tercapai penegakannya (enforceability)
yang tinggi, oleh karena itu ketentuan yang dibentuk harus memenuhi kriteria,
yaitu:
- Necessity, bahwa hukum harus diformulasikan sesuai dengan kebutuhan sistematis terencana
- Adequacy, bahwa rumusan norma-norma hukum harus memiliki tingkat dan kadar kepastian yang tinggi;
- Legal certainty, bahwa hukum harus memuat kaidah-kaidah dengan jelas dan nyata, tidak samar-samar dan tidak menimbulkan penafsiran;
- Actuality, bahwa hukum harus mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakat dan zaman, tanpa mengabaikan kepastian hukum;
- Feasibility, bahwa hukum harus memiliki kelayakan yang dapat dipertangggungjawabkan terutama berkenaan dengan tingkat penataannya;
- Veribility, bahwa hukum yang dikerangkakan harus dalam kondisi yang siap uji secara objektif;
- Enforceability, bahwa pada hakikatnya terus memiliki daya paksa agar ditaati dan dihormati;
- Provability; bahwa hukum harus dibuat sedemikian rupa agar mudah dalam pembuktian.
Harmonisasi
pengaturan hukum tentang aborsi ini membawa konsekuensi lebih lanjut berupa
dekriminalisasi dan depenalisasi dalam pengaturan hukum pidana berkaitan dengan
aborsi yang akan direalisasikan dalam kebijakan formulasi, aplikasi dan
eksekusi untuk memenuhi asas lex certa dalam hukum pidana.
Hal ini diperlukan
karena ketiga alasan aborsi aman, yaitu kehamilan akibat perkosaan dan incest,
perempuan hamil yang mengalami gangguan jiwa berat, dan janin yang mengalami
cacat bawaan berat, di dalam ius constitutum merupakan perbuatan pidana
karena itu dilarang dan diancam dengan pidana, namun dalam ius constituendum
meskipun perbuatan-perbuatan tersebut tetap bersifat melawan hukum,
perempuan hamil dan tenaga medis yang membantu melakukan aborsi tidak dipidana
karena tidak mempunyai kesalahan berdasarkan pengecualian berupa alasan pemaaf
sebagai alasan penghapusan pidana yang bersumber dari Pasal 48 KUHP tentang
daya paksa (overmacht) dan kondisi darurat (noodtoestand).
Penerapan Pasal 48 KUHP terhadap ketiga alasan aborsi tersebut dilandasi oleh
teori perlindungan hukum yang seimbang yang bersumber pada Pancasila, yang dapat
diukur dengan ide yaitu justice yang memuat konsep iustitia distributive.
Konsep
iustitia distributive tersebut dengan jelas menggambarkan dua hal, yaitu
kewajiban pemerintah untuk membagikan kesejahteraan kepada warga negaranya dan
hak warganegara untuk memperoleh kesejahteraan dari pemerintah. Konsep iustitia
distributive jelas terlihat di dalam pernyataan pada alinea IV Pembukaan
UUD 1945 yang memuat salah satu tujuan didirikannya Negara Republik Indonesia
dan menjadi landasan politik hukum Indonesia yaitu : “Melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.”.