Alat Bukti Tertulis
Friday, 1 April 2016
SUDUT HUKUM | Alat bukti tertulis diatur dalam Pasal 138, 165, 167 HIR, 164, 285, 305 Rbg dan Pasal 1867-1894 BW. Alat bukti tertulis atau surat adalah “segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian”.
Potret atau gambar tidak memuat tanda-tanda bacaan atau buah pikiran, demikian pula denah atau peta, meskipun ada tanda-tanda bacaan, tetapi tidak mengandung buah pikiran atau isi hati seseorang. Itu semuanya hanya sekedar barang atau benda untuk meyakinkan saja.
Surat sebagai alat bukti tertulis dibagi dua yaitu: surat yang merupakan “akta” dan surat-surat lain yang “bukan akta”. Sedangkan akta dibagi menjadi “akta otentik” dan “akta di bawah tangan”.
Akta adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar daripada suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian. Yang dimaksud dengan penanda tanganan ialah “membubuhkan nama dari si penanda tangan”.
Membubuhkan paraf, yaitu singkatan tanda tangan saja dianggap belum cukup, nama itu harus ditulis tangan oleh si penanda tangan sendiri atas kehendaknya sendiri.
Dipersamakan dengan tanda tangan pada suatu akta di bawah tangan adalah sidik jari (cap jari atau cap jempol) yang dikuatkan dengan suatu keterangan yang diberi tanggal oleh notaris atau pejabat lain yang ditunjuk oleh undang-undang, yang menyatakan bahwa ia mengenal orang yang membubuhkan sidik jari atau orang yang diperkenalkan kepadanya, dan bahwa isi akta itu telah dibacakan dan dijelaskan kepadanya, kemudian sidik jari itu dibubuhkan pada akta dihadapan pejabat tersebut.
Alat bukti tertulis ynag diajukan dalam acara perdata harus dibubuhi dengan materai untuk memenuhi Pasal 23 Undang-Undang Bea Materai Tahun 1921. Surat perjanjian jual beli di bawah tangan, surat kuasa dan sebagainya, dengan perhitungan akan digunakan sebagai alat bukti di muka pengadilan, untuk memenuhi Undang-Undang Bea Materai Tahun 1921, sejak semula dibubuhi materai. Ini tidak berarti bahwa materai itu merupakan syarat sahnya perjanjian. Perjanjiannya sendiri tetap sah tanpa materai. Mahkamah Agung dalam putusannya tanggal 13 Maret 1971 No. 589 K/Sip/1970 berpendapat bahwa surat bukti yang tidak diberi materai tidak merupakan alat bukti yang sah.