Bentuk-bentuk Gugatan
Tuesday, 26 April 2016
SUDUT HUKUM | Tentang bentuk gugatan dapat disimpulkan dari ketentuan pasal 118
HIR atau pasal 142 ayat (1) Rbg dan pasal 120 HIR atau pasal 144 ayat(1) Rbg,
diantaranya yaitu:
a. Gugatan Tertulis
Gugatan tertulis diatur dalam pasal 118 HIR dan pasal 142 ayat(1)
Rbg, dalam kedua pasal ini ditentukan bahwa gugatan harus diajukan kepada Ketua
Pengadilan yang berwenang mengadili perkara tersebut. Surat gugatan yang
ditulis itu harus ditanda tangani oleh penggugat. Jika perkara itu dilimpahkan
kepada kuasa hukumnya maka yang menandatangani surat gugatan adalah kuasa
hukumnya, sebagaimana disebutkan dalam pasal 123 ayat(1) HIR dan pasal 147
ayat(1)Rbg. Berdasarkan pasal 113 HIR dan pasal 143 Rbg, Ketua Pengadilan
berwenang memberikan nasehat hukum mengajukan gugatan kepada pengadilan yang
berwenang.[1]
1) Identitas para pihak
Pada umumnya meliputi nama lengkap, tempat dan
tanggal lahir, alamat tinggal para pihak yang berperkara terutama tergugat
harus terang dan cermat, untuk memudahkan jurusita dalam melakukan pemanggilan,
serta kedudukannya sebagai pihak dalam perkara yang diajukan di pengadilan. Hal
ini merupakan syarat formal suatu gugatan untuk menghindari terjadinya error in
persona (kesalahan identitas seseorang).
Pihak-pihak yang berperkara itu harus ditegaskan
kedudukannya dalam perkara apakah sebagai penggugat atau tergugat. Jika
tergugat tidak menegaskan kedudukan atau posisinya dalam perkara bagaimana
mungkin orang yang berperkara bisa membela serta mempertahankan hak dan
hubungan hukum yang terjadi antara para pihak juga harus ditegaskan
kedudukannya dalam surat gugatan, jika tidak maka gugatan dianggap kabur
(obscuur libel).[2]
2) Fundamentum Petendi atau posita
Posita merupakan dalil-dalil atau alasan gugatan
yang menguraikan tentang kejadian atau peristiwa dan tentang dasar hukumnya. Ia
merupakan esensi gugatan yang menguraikan kejadian yang terjadi sehingga
penggugat mengajukan gugatan kepada pengadilan. Memuat hal-hal penegasan
hubungan hukum antara penggugat dan tergugat dan hubungan tergugat dengan obyek
sengketa.
Dalam perkara waris, posita penggugat harus
menegaskan bagaimana kedudukan atau hubungan hukumnya dengan pewaris, status
barang-barang warisan yang digugat benar-benar harta peninggalan pewaris, serta
dijelaskan peristiwa bahwa tergugat telah menguasai dan tidak mau melakukan
pembagian atas harta warisan.[3]
3) Petitum atau Tuntutan
Petitum adalah apa yang diminta atau diharapkan penggugat
agar dinyatakan atau dihukumkan kepada para pihak terutama pada tergugat oleh
hakim. Petitum juga harus jelas, harus sejalan dengan posita karena jika semua
petitum tidak senyawa dengan posita gugatan maka posita gugatan menjadi cacat
dan kabur sehingga menyebabkan gugatan tidak diterima. Jika hanya sebagian
petitum yang sejalan dengan posita, tidak mengakibatkan petitum yang
bersangkutan tidak diterima.
Surat gugatan harus dibuat dalam beberapa rangkap,
satu helai yang asli untuk pengadilan, satu helai untuk arsip penggugat, dan
ditambah satu salinan untuk tergugat.
b. Gugatan Bentuk Lisan
Pada dasarnya gugatan harus diajukan
kepada pengadilan secara tertulis, akan tetapi dalam pasal120 HIR dan pasal 144
ayat(1)Rbg dikemukakan bahwa jika orang yang menggugat buta huruf, maka gugatan
dapat diajukan secara lisan kepada Ketua Pengadilan dan selanjutnya Ketua
Pengadilan mencatat hal ihwal gugatan itu dalam bentuk tertulis. Jika Ketua
Pengadilan karena suatu hal tidak didapat mencatat sendiri gugatan tersebut
maka ia dapat meminta seorang pejabat pengadilan atau hakim untuk mencatat dan
menformulasikan gugatan tersebut sehingga memudahkan Majelis Hakim untuk
memeriksanya.
[1] Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di
Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: kencana, 2005). 27-28
[2] M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara
Peradilan Agama, (Jakarta: sinar grafika, cet III, 2005).194
[3] Ibid . 195
[4] Jeremias Lemek, Penuntun Membuat Gugatan, (Yogyakarta,
Liberty, 1991) 8