Dasar Hukum dan Hikmah Iddah
Tuesday, 12 April 2016
SUDUT HUKUM | Konsekuensi yang pertama kali muncul akibat
pernyataan perceraian adalah adanya masa 'iddah.[1] Perempuan
yang bercerai dari suaminya dalam bentuk apa pun, cerai hidup atau mati, sedang
hamil atau tidak, masih berhaid atau tidak, wajib menjalani masa 'iddah itu.
Kewajiban menjalani masa 'iddah dapat dilihat dari beberapa ayat
Al-Qur'an, di antaranya adalah firman Allah dalam surat al-Baqarah (2) ayat
228:
Artinya:"Perempuan-perempuan yang ditalaq oleh suaminya hendaklah menunggu masa selama tiga kali quru. Tidak halal perempuan itu menyembunyikan apa yang dijadikan Allah dalam rahimnya (QS. al-Baqarah: 228)."
Di antara hadis Nabi yang menyuruh menjalani
masa 'iddah tersebut adalah apa yang disampaikan oleh Aisyah menurut
riwayah Ibnu Majah dengan sanad yang kuat yang bunyinya:
Artinya: "Telah mengabarkan kepada kami dari Ali bin Muhammad dari Waki' dari Sufyan dari Mansur dari Ibrahim dari Aswad dari A'isyah berkata: Nabi Saw menyuruh Barirah untuk ber'iddah selama tiga kali haid. (HR. Abu Daud)."
Adapun tujuan dan hikmah diwajibkanya 'iddah
itu adalah sebagaimana dijelaskan dalam salah satu definisi yang disebutkan
sebelumnya, yaitu:
Pertama: untuk mengetahui bersihnya rahim perempuan
tersebut dari bibit yang ditinggalkan mantan suaminya. Hal ini disepakati oleh
ulama. Pendapat ulama waktu itu didasarkan kepada dua alur pikir:
- Bibit yang ditinggal oleh mantan suami dapat berbaur dengan bibit orang yang akan mengawininya untuk menciptakan satu janin dalam perut perempuan tersebut. Dengan pembauran itu diragukan anak siapa sebenarnya yang dikandung oleh perempuan tersebut. Untuk menghindarkan pembauran bibit itu, maka perlu diketahui atau diyakini bahwa sebelum perempuan itu kawin lagi rahimnya bersih dari peninggalan mantan suaminya.
- Tidak ada cara untuk mengetahui apakah perempuan yang baru berpisah dengan suaminya mengandung bibit dari mantan suaminya atau tidak kecuali dengan datangnya beberapa kali haid dalam masa itu. Untuk itu diperlukan masa tunggu.
Alur pikir pertama tersebut di atas tampaknya
waktu ini tidak relevan lagi karena sudah diketahui bahwa bibit yang akan
menjadi janin hanya dari satu bibit dan berbaurnya beberapa bibit dalam rahim
tidak akan mempengaruhi bibit yang sudah memproses menjadi janin itu. Demikian
pula alur pikir kedua tidak relevan lagi karena waktu ini sudah ada alat yang
canggih untuk mengetahui bersih atau tidaknya rahim perempuan dari mantan
suaminya. Meskipun demikian, 'iddah tetap diwajibkan dengan alasan
dibawah ini.[2]
Kedua: untuk taabbud, artinya semata untuk
memenuhi kehendak dari Allah meskipun secara rasio kita mengira tidak perlu
lagi. Contoh dalam hal ini, umpamanya perempuan yang kematian suami dan belum
digauli oleh suaminya itu, masih tetap wajib menjalani masa 'iddah,
meskipun dapat dipastikan bahwa mantan suaminya tidak meninggalkan bibit dalam
rahim isterinya itu.
Adapun hikmah yang dapat diambil dari ketentuan
'iddah itu adalah agar suami yang telah menceraikan isterinya itu
berpikir kembali dan menyadari tindakan itu tidak baik dan menyesal atas
tindakannya itu. Dengan adanya 'iddah dia dapat menjalin kembali hidup
perkawinan tanpa harus mengadakan akad baru.
[1]
Hammudah
Abd. Al'ati, The Family Structure In Islam, Terj. Anshari Thayib, "
Keluarga Muslim",
Surabaya: PT Bina Ilmu, 1984, hlm. 310.
[2] Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan
Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2000, hlm. 201.