Teori Pemisahan Kekuasaan dan Perkembangannya
Monday, 4 April 2016
SUDUT HUKUM | Pada
prinsipnya, konstitusi atau undang-undang dasar suatu negara antara lain
merupakan pencatatan (registrasi) pembagian kekuasaan didalam suatu negara.
Pembagian kekuasaan menurut fungsinya menujukkan perbedaan antara fungsi- fungsi
pemerintahan yang bersifat legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang lebih dikenal
sebagai Trias Politika.
Trias Politika
adalah anggapan bahwa kekuasaan negara terdiri atas tiga macam kekuasaan:
Pertama, kekuasaan legislatif atau kekuasaan membuat undang-undang (dalam
peristilahan baru sering disebut rule making function); kedua, kekuasaan
eksekutif atau kekuasaan melaksanakan undang-undang (rule application
function); ketiga kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili atas
pelanggaran undang-undang (rule adjudication function). Trias politika
adalah suatu prinsip normatif bahwa kekuasaan-kekuasaan (function) ini
sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan
kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Dengan demikian hak-hak asasi warga negara
lebih terjamin.[1]
Pertama kali
mengenai fungsi-fungsi kekuasaan negara dikenal di Perancis pada abad ke-XVI,
pada umumnya diakui lima yaitu: (i) fungsi diplomacie; (ii) fungsi defencie;
(iii) fungsi financie; (iv) fungsi justicie; dan (v) fungsi policie.[2] Oleh John Locke (1632-1704) dalam bukunya Two
Treatises on Civil Goverment (1690) kemudian konsepsi mengenai fungsi
kekuasaan negara itu dibaginya menjadi tiga, yaitu (i) fungsi legislatif; (ii)
eksekutif; (iii) fungsi federatif (hubungan luar negeri), yang masing-masing
terpisah satu sama lain. Bagi John Locke, fungsi peradilan tercakup dalam
fungsi eksekutif atau pemerintahan. John Locke memandang mengadili itu sebagai uittvoering,
yaitu termasuk pelaksanaan undang-undang.[3]
Pada tahun
1748, Montesquieu mengembangkan lebih lanjut pemikiran John Locke yang ditulis
dalam bukunya L’Esprit des Lois (The Spirit of the Law). Alasan
Montesquieu mengembangkan konsep Trias Politika didasarkan pada sifat despotis
raja-raja Bourbon, ia ingin menyusun suatu sistem pemerintahan dimana warga
negaranya merasa lebih terjamin haknya. Montesquieu membagi kekuasaan
pemerintahan dalam tiga cabang, yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan
eksekutif, dan kekuasaan yudikatif. Menurutnya ketiga jenis kekuasaan ini
haruslah terpisah satu sama lain, baik mengenai tugas (fungsi) maupun mengenai
alat perlengkapan (organ) yang menyelenggarakannya. Terutama adanya kebebasan
badan yudikatif yang ditekankan oleh Montesquieu yang mempunyai latar belakang
sebagai hakim, karena disinilah letaknya kemerdekaan individu dan hak asasi
manusia perlu dijamin dan dipertaruhkan. Kekuasaan legislatif menurutnya adalah
kekuasaan untuk membuat undang-undang, kekuasaan eksekutif meliputi
penyelenggaraan undang-undang (diutamakan tindakan politik luar negeri),
sedangkan kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan mengadili atas pelanggaran
undang-undang.[4]
Montesquieu
mengemukakan bahwa kemerdekaan hanya dapat dijamin jika ketiga fungsi kekuasaan
tidak dipegang oleh satu orang atau badan tetapi oleh ketiga orang atau badan
yang terpisah. Dikatakan olehnya “kalau kekuasaan legislatif dan kekuasaan
eksekutif disatukan dalam satu orang atau dalam satu badan penguasa, maka tak
akan ada kemerdekaan, akan menjadi malapetaka jika seandainya satu orang atau
satu badan, apakah terdiri dari kaum bangsawan ataukah dari rakyat jelata,
diserahi menyelenggarakan ketiga kekuasaan tersebut, yakni kekuasaan membuat
undang-undang, menyelenggarakan keputusan-keputusan umum, dan mengadili
persoalan-persoalan antara individu-individu”.[5]
Sementara itu,
C. Van Vollenhoven mengembangkan pandangan yang tersendiri mengenai soal ini.
Menurutnya, fungsi-fungsi kekuasaan negara itu terdiri atas empat cabang yang
kemudian di Indonesia biasa diistilahkan dengan catur praja, yaitu (i) fungsi regeling
(pengaturan); (ii) fungsi bestuur (penyelenggaraan pemerintahan);
(iii) fungsi rechtsspraak atau peradilan; dan (iv) fungsi politie yaitu
berkaitan dengan fungsi ketertiban dan keamanan. Sedangkan Goodnow
mengembangkan ajaran yang biasa diistilahkan dengan di praja, yaitu (i) policy
making function (fungsi pembuatan kebijakan); dan (ii) policy executing
function (fungsi pelaksanaan kebijakan). Namun, pandangan yang paling
berpengaruh di duni adalah seperti yang dikembangkan oleh Montesquieu, yaitu
adanya tiga cabang kekuasaan negara yang meliputi fungsi legislatif, eksekutif,
dan yudisial.[6]
Teori pemisahan
kekuasaan Montesquieu mengalami perkembangan dan mendapat kritikan. Pemisahan
kegiatan eksekutif, legislatif, dan yudikatif tidak dapat dipisahkan secara
tajam satu dengan yang lain. Menurut E. Utrecht, pemisahan mutlak yang
dikemukakan oleh Montesquieu mengakibatkan adanya badan negara yang tidak
ditempatkan dibawah pengawasan badan kenegaraan lainnya. Ketiadaan pengawasan
ini mengakibatkan terbukannya kemungkinan suatu badan kenegaraan melampaui
batas kekuasaannya. Jika dilihat dari fungsi negara pada negara hukum modern,
pembagian tiga fungsi kekuasaan negara tidak dapat diterima secara mutlak,
karena badan negara juga dapat diberi lebih dari satu fungsi.[7]
Mariam
Budiardjo menyatakan pada abad ke-20 dalam negara yang sedang berkembangan
dimana kehidupan ekonomi dan sosial telah menjadi demikian kompleksnya serta
badan eksekutif mengatur hampir semua aspek kehidupan kehidupan masyarakat,
Trias Politika dalam arti “pemisahan kekuasaan” tidak dapat dipertahankan lagi.[8] Selain
itu, dewasa ini hampir semua negara modern mempunyai tujuan untuk kesejahteraan
bagi seluruh rakyatnya (Welfare State). Untuk mencapai tujuan tersebut
negara dituntut menjalan fungsi secara tepat, cepat, dan komprehensip dari semua
lembaga negara yang ada. Dengan kata lain persoalan yang dihadapai oleh negara
semakin kompleks dan rumit sehingga penanganannya tidak dapat dimonopoli dan
diselesaikan secara otonom oleh negara tertentu saja, melainkan perlu adanya
kerjasama antar lembaga negara yang ada.[9]
Dalam
perkembangan sejarah, teori dan pemikiran tentang pengorganisasian kekuasaan
dan tentang organisasi negara berkembang sangat pesat. Menurut Jimly
Asshiddiqie, hal ini disebabkan tuntutan keadaan dan kebutuhan nyata, baik faktor-faktor
sosial, ekonomi, politik dan budaya di tengah dinamika gelombang pengaruh
globalisme versus lokalisme yang semakin kompleks menyebabkan variasi struktur
dan fungsi organisasi serta institusi kenegaraan berkembang dalam banyak ragam
dan bentuknya.[10] Negara melakukan
eksperimentasi kelembagaan (institutional experimentation) melalui
berbagai bentuk organ pemerintahan yang dinilai lebih efektif dan efisien
sehingga pelayanan umum (public services) dapat benar-benar terjamin.
Kelembagaan tersebut disebut dengan istilah dewan (council), komisi (commission),
komite (committee), badan (board), atau otorita (authority).[11]
Sebagai akibat
tuntutan perkembangan yang semakin kompleks dan rumit, organisasi-organisasi
kekuasaan yang birokratis, sentralistis, dan terkonsentrasi tidak dapat lagi
diandalkan. Oleh karena itu, muncul gelombang deregulasi, debirokratisasi,
privatisasi, desentralisasi, dan dekonsentrasi. Salah satu
akibatnya, fungsi-fungsi kekuasaan yang biasanya melekat dalam fungsi-fungsi
lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan bahkan yudikatif dialihkan menjadi
fungsi organ tersendiri yang bersifat independen. Sehingga dimungkinkan adanya
suatu lembaga negara baru yang menjalankan fungsi yang bersifat campuran, dan
masing-masing bersifat independen (independent bodies)[12] atau
quasi independent. Terdapat beberapa ahli yang mengelompokkan independent
agencies (lembaga independen) semacam ini dalam domain atau ranah kekuasaan
eksekutif. Ada pula sarjana yang mengelompokkannya secara tersendiri sebagai the
fourth branch of the government, seperti yang dikatakan oleh Yves Meny dan
Adrew Knapp.[13]
Menurut Crince
le Roy terdapat kekuasaan lain disamping tiga kekuasaan negara menurut
Montesquieu yaitu sering disebut kekuasaan ke-empat, tetapi para ahli sering
tidak memberikan tempat bagi kekuasaan yang ditemukan itu didalam pola
kekuasaan undang-undang dasar. Akibatnya terjadi ketegangan antar hukum
tertulis dengan disatu pihak dengan kenyataan dalam masyarakat dipihak yang
lainnya. Meneliti hukum tatanegara Belanda kekuasaan tersebut diberi istilah De
Vierde Macht. Kekuasaan lainnya yakni komisi-komisi independent, pers, aparat
kepegawaian, kekuasaan;kekuasaan pengawasan, komisi-komisi pelayanan
masyarakat, rakyat yang mempunyai hak pilih, kelompok-kelompok penekan dan
partai-partai politik.[14] Badan-badan
atau lembaga-lembaga independen yang menjalankan fungsi regulasi dan pemantauan
di Amerika serikat disebut juga the headless fourth branch of the government.[15]
Konsep Trias Politika yang disampaikan Montesquieu tidak relevan
lagi saat ini, mengingat tidak mungkin mempertahankan ketiga organisasi
tersebut hanya berurusan secara eksklusif dengan salah satu dari ketiga fungsi
kekuasaan tersebut. Kenyataan dewasa ini menunjukkan bahwa hubungan antar
cabang kekuasaan itu tidak mungkin tidak saling bersentuhan, dan bahkan
ketiganya bersifat sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain sesuai
dengan prinsip checks and balances.[16]
[1] Miriam Budiardjo,
DasarDasar Ilmu Politik. Edisi Revisi,Cetakan Pertama, Gramedia,
Jakarta, 2008, hlm. 281-282.
[2] Jimly
Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsulidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Sinar
Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 29.
[3] Miriam Budiardjo,
op.cit., hlm. 282.
[4] Miriam Budiardjo,
Ibid., hlm. 282-283
[5] Miriam Budiardjo,
Ibid., hlm. 283
[6] Jimly Asshiddiqie
op.cit., hlm. 29-30
[7] E.Utrech, PengantarHukum Administrasiu Negara Indonesia, Cet. 4, 1960, hlm. 17-24
[8] Miriam Budiardjo,
op.cit., hlm. 282.
[9] Juanda, Hukum
Pemerintahan Daerah (Pasang Surut Hubungan Kewenangan DPRD dan Kepala Daerah),
Alumni, Jakarta, 2006, hlm. 74
[10] Jimly Asshiddiqie
op.cit., hlm. 1
[11] Jimly Asshiddiqie
Ibid., hlm. 5
[12] Jimly Asshiddiqie
Ibid., hlm. 20
[13] Jimly Asshiddiqie
Ibid., hlm. 8
[14] Crince le Roy, Kekuasaaan
Ke-empat Pengenalan Ulang, diterjemahkan oleh Soehardjo, Semarang, 1981,
hlm. 21
[15] Jimly Asshiddiqie
op.cit., hlm. 9
[16] Jimly Asshiddiqie
ibid., hlm. 31