Hukum dari Hadis Sahih Pun Masih Perlu Istimbath
Sunday, 3 April 2016
SUDUT HUKUM | Banyak orang mengira bahwa apabila suatu hadits sudah dipastikan keshahihannnya, maka langsung bisa ditarik kesimpulan hukumnya sesuai dengan zahir teks yang dipahami pertama kali. Dan tidak sedikit orang yang keliru memahami para ulama mazhab yang berkata bahwa apabila suatu hadits itu shahih maka itu menjadi mazhabku.
Seolah-olah tidak dibutuhkan lagi ijtihad dan istimbath hukum, karena sudah ada dua kitab shahih, yaitu Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.
Seolah-olah kedua kitab shahih itu sudah menyelesaikan semua masalah dan tidak dibutuhkan lagi kajian yang mendalam tentang hukum-hukum syariah.
Padahal masalahnya tidak sesederhana itu. Masih ada banyak hal yang harus dipastikan terlebih dahulu, antara lain misalnya :
1. Tidak Ada Ta'arudh
Ta'arudh artinya bertentangan, maksudnya isi suatu hadits kadang bertentangan tegak lurus dengan isi hadits lainnya, padahal sama-sama shahihnya. Hal ini bukan tidak mungkin, bahkan justru seringkali terjadi.
Dan ternyata ta'arudh bainal adillah (pertentangan antara dalil) bukan hanya terjadi dengan sesama hadits, bahkan ayat Al-Quran yang satu dengan yang lain seringkali terasa bertentangan isinya.
Kalau kita perhatikan, ada beberapa ayat Al-Quran yang secara zahir saling bertentangan. Misalnya ayat berikut ini yang berbicara tentang hukum menjual khamar sebagai rezeki yang baik.
وَمِن ثَمَرَاتِ النَّخِيلِ وَالأَعْنَابِ تَتَّخِذُونَ مِنْهُ سَكَرًا وَرِزْقًا حَسَنًا
Dan dari buah korma dan anggur, kamu buat minimuman yang memabukkan dan rezki yang baik. (QS. An-Nahl : 67)
Sementara di ayat lain Allah SWT tegas mengharamkan khamar dan dikatakan perbuatan setan.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamar, berjudi, berhala, mengundi nasib dengan panah , adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.(QS. Al-Maidah : 90)
Oleh karena itu dibutuhkan proses panjang untuk menarik kesimpulan hukum, tidak cukup hanya baca satu hadits lantas kita bilang bahwa hukum suatu masalah adalah begitu dan begitu, semata-mata berdasarkan satu hadits saja.
2. Tidak Mansukh
Kalau pada ayat-ayat Al-Quran yang kebenaran riwayatnya sudah qath'i, kita masih mengenal istilah nasakh dan mansukh, sehingga ada ayat-ayat tertentu yang disepakati oleh para ulama sudah tidak lagi berlaku hukum-hukumnya, maka hal yang sama juga berlaku pada hadits-hadits nabawi.
Maka tidak mentang-mentang sebuah hadits itu shahih, lantas kita dengan seenaknya main pakai hadits itu untuk dijadikan dalil syariah.
Seorang ahli syariah dan mujtahid harus meneliti terlebih dahulu dengan seksama, adakah hadits yang shahih itu masih berlaku, ataukah sudah dihapus dengan datangnya hadits shahih yang lain.
Ada beberapa contoh kasus dimana hukum yang terdapat dalam hadits yang shahih kemudian dihapus dengan dalil yang lain yang datang kemudian. Di antara contohnya adalah dihapusnya hadits yang membolehkan nikah mut’ah, kewajiban mandi sehabis memandikan mayat dan perintah membunuh peminum khamar yang sudah tiga kali dicambuk.
a. Dihapuskannya Hadits Nikah Mut'ah
Di hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Bukhari dan Al-Imam Muslim ada hadits shahih membolehkan nikah mut’ah.
قَالَ عَبْدُ اللهِ كُنَّا نَغْزُو مَعَ رَسُولِ اللهِ r وَلَيْسَ لَناَ شَيْءٌ فَقُلْنَا:أَلاَ نَسْتَخْصِي ؟ فَنَهَانَا عَنْ ذَلِكَ ثُمَّ رَخَّصَ لَنَا أَنْ نَنْكِحَ المـَرْأَةَ بِالثَّوْبِ
Abdullah berkata,"Kami perang bersama Rasulullah SAW dan kami tidak mengajak istri, kami berkata,"Apakah sebaiknya kita mengebiri?". Rasulullah SAW melarang kami melakukannya namun beliau mengizinkan kami untuk menikahi wanita dengan selembar pakaian (HR. Bukhari Muslim)
Namun hadits di atas dihapus dan dinyatakan tidak lagi berlaku dengan hadits berikut ini :
أَنَّ رَسُولَ اللهِ r نَهَى عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ يَوْمَ خَيْبَر
Bahwa Rasulullah SAW mengharamkan menikahi wanita secara mut'ah pada saat Perang Khaibar
Hadis yang terakhir disebut adalah hadis yang disebut sebagai nasikh atau penghapus, sementara hadis yang pertama disebut mansukh atau yang dihapus. Hadis yang terakhir secara historis datang lebih akhir dibanding hadis yang sebelumnya.
b. Kewajiban Mandi Sehabis Memandikan Jenazah
Contoh lainnya adalah hadis tentang kewajiban mandi bagi seseorang yang mengantarkan dan membawa jenazah.
مَنْ غَسَّلَ مَيِّتًا فَلْيَغْتَسِلْ
Siapa yang memandikan jenazah maka dia wajib mandi (janabah). (HR. Ibnu Majah)
Sementara hadis yang menaskhnya adalah hadis:
لَيْسَ عَلَيْكُمْ فيِ غَسْلِ مَيِّتِكُمْ غُسْلٌ إِذَا غَسَلْتُمُوهُ فَإِنَّ مَيِّتَكُمْ لَيْسَ بِنَجِسٍ فَحَسْبُكُمْ أَنْ تَغْسِلُوا أَيْدِيْكُمْ
Tidak ada keharusan atas kalian untuk mandi karena memandikan jenazah. Apabila kalian memandikan jenazah, jenazah itu tidak najis, maka cukuplah kalian mencuci tangan kalian saja.
c. Membunuh Peminum Khamar
Contoh lain adalah perintah membunuh peminum khamar yang meminum khamar untuk keempat kalinya. Hadis itu berbunyi:
مَنْ شَرِبَ الخَمْرَ فاَجْلِدُوهُ فَإِنْ عَادَ فيِ الرَّابِعَةِ فاَقْتُلُوهُ
Orang yang minum khamar maka cambuklah, kalau masih minum juga untuk yang keempat kalinya, maka bunuhlah dia.
Kemudian ada hadis lain yang menurut sejumlah ulama dinilai sebagai penghapus (nasikh), yakni hadis:
ثُمَّ أُتِيَ النَّبِيُّ r بَعْدَ ذَلِكَ بِرَجُلٍ قَدْ شَرِبَ الْخَمْرَ فِي الرَّابِعَةِ فَضَرَبَهُ وَلَمْ يَقْتُلْهُ
Kemudian didatangkan kepada Nabi SAW orang yang minum khamar untuk yang keempatkalinya, maka beliau mencambuknya dan tidak membunuhnya.
d. Haramnya Ziarah Kubur
Berziarah ke kubur pada masa awal termasuk perbuatan yang haram dan terlarang, namun kemudian dihalalkan dan malah dianjurkan.
كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ القُبُورِ أَلاَ فَزُورُوهَا فَإِنَّهاَ تَرِقُّ القَلْبَ وَتَدْمَعُ العَيْنَ وَتُذَكِّرُ الآخِرَةَ وَلاَ تَقُولُوا هَجْرًا
Dulu aku pernah melarang kalian untuk berziarah-kubur. Namun sekarang ketahuilah, hendaknya kalian berziarah kubur. Karena ia dapat melembutkan hati, membuat air mata berlinang, dan mengingatkan kalian akan akhirat namun jangan kalian mengatakan perkataan yang tidak layak ketika berziarah” (HR. Al-Hakim)
e. Makanan Langsung Dibakar Api Membatalkan Wudhu'
Memakan makanan yang langsung dibakar dengan api di masa lalu termasuk perkara yang membatalkan wudhu'. Namun kemudian hukumnya dicabut dan tidak lagi berlaku, sehingga meski memakannya, tidak perlu memperbaharui wudhu'.
عَنْ جاَبِرِ بْنِ عَبْدِاللهِ : كَانَ أَخِرَ الأَمْرَيْنِ مِنْ رَسُولِ اللهِ r تَرْكُ الوُضُوءِ مِمَّا مَسَّتِ النَّارُ
Dari Jabir bin Abdullah bahwa di antara dua perkara terakhir dari Rasululllah SAW adalah meninggalkan wudhu oleh sebab memakan makanan yang langsung dibakar api.