3 Kriteria Mukallaf
Saturday, 28 May 2016
SUDUT HUKUM | Agar seseorang
dapat dibebani ketentuan-ketentuan hukum syara (mukallaf), harus
memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut:
Pertama, menurut
TM.Hasbi Ash Shiddieqy si mukallaf sanggup memahamkan perintah yang dihadapkan
kepadanya. Oleh karena itu, tidak dibebankan perintah kepada orang gila dan
yang belum mengerti arti suruhan, seperti kanak-kanak umpamanya. Ini berarti
orang tersebut harus dapat memahami dalil-dalil penetapan hukum baik dari AlQur'an maupun Hadits.
Jika orang itu
tidak dapat memahami dalil-dalil tersebut, maka tidak mungkin ia akan dapat
menunaikan ketentuan-ketentuan hukum yang ditetapkan oleh dalil-dalil itu.
Kemampuan untuk
memahami dalil-dalil taklif hanyalah dapat dibuktikan dengan akal dan
keberadaan nash yang ditaklifkan pada orangorang yang berakal pada jangkauan
akal mereka untuk memahaminya, sebab sesungguhnya akal adalah alat memahami dan
menangkap, dan dengan akal pulalah keinginan untuk mengikuti perintah dapat
diarahkan. Karena akal adalah suatu hal yang abstrak yang tidak dapat ditangkap
dengan penginderaan yang konkrit, maka Syari' mengkaitkan pentaklifan dengan
hal yang konkrit yang dapat ditangkap dengan penginderaan yang menjadi tempat dugaan
keberakalan, yaitu keadaan baligh. Jadi barang siapa yang telah mencapai
baligh, tanpa kelihatan adanya hal-hal baru yang merusak kemampuan akalnya,
maka pada dirinya telah terpenuhi kemampuan untuk dikenakan taklif.
(Baca juga: Pengertian Mukallaf)
Berdasarkan
persyaratan ini, maka orang yang gila tidak terkena taklif, demikian pula anak
kecil, karena ketiadaan akal yang menjadi sarana untuk memahami dalil taklif
Orang yang ghafil (lalai), orang yang tidur, dan orang yang mabuk juga
tidak terkena taklif, karena sesungguhnya mereka dalam keadaan lalai, tidur,
atau mabuk, yang tidak mampu untuk memahami.
Adapun kewajiban
zakat, nafkah, dan ganti rugi atas anak kecil dan orang yang gila, maka hal itu
bukanlah pentaklifan pada mereka. Hal tersebut adalah pentaklifan terhadap wali
atas mereka dengan menunaikan hak/kewajiban keharta-bendaan yang terkena pada
harta mereka, sebagaimana pajak tanah dan milik mereka.
Adapun firman
Allah SWT.:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَىٰ حَتَّىٰ تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّىٰ تَغْتَسِلُوا ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا
Artinya:"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, sedang kamu dalam keadaan junub , terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik ; sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun" (Q.S.4/An-Nisa':43).
Ayat tersebut
bukanlah suatu pentaklifan terhadap orang-orang yang mabuk ketika mereka sedang
mabuk untuk tidak mendekati shalat, akan tetapi ia adalah pentaklifan terhadap
kaum muslimin dalam keadaan sadar mereka untuk tidak meminum khamar apabila
sewaktu shalat telah dekat, sehingga mereka tidak mendekati shalat dalam
keadaan mabuk.
Adapun
penjatuhan talak orang yang mabuk menurut mazhab Hanafiyyah, maka hal tersebut
merupakan hukuman terhadapnya atas kemabukannya. Oleh karena inilah, maka
mereka mensyaratkan, bahwa ia durhaka dengan mabuknya, sebagaimana ia minum
sesuatu yang diharamkan atas kemauan sendiri.
Adapun
orang-orang yang tidak mengetahui bahasa Arab, dan tidak mampu memahami
dalil-dalil pentaklifan hukum syar'iyyah dari Al-Qur'an dan Sunnah sebagaimana
orang-orang Jepang, India, Jawa dan lainnya, maka mereka tidak sah dikenakan
taklif menurut syara' kecuali apabila mereka telah mempelajari bahasa Arab dan
mampu untuk memahami nash-nashnya, atau dalil-dalil syar'i diterjemahkan ke
dalam bahasa mereka, di mana mereka mampu untuk mendapatkan kitab keagamaan dalam
bahasa mereka yang menjelaskan kepada mereka apa yang ditaklifkan oleh Islam
padanya, atau sekelompok orang mempelajari bahasa ummat-ummat tersebut yang
tidak mengetahui bahasa Arab dan menyiarkan ajaran-ajaran Islam dan dalil-dalil
taklifinya di antara mereka dengan berbicara dalam bahasa mereka. Ini adalah cara yang
lurus ketiga, karena sesungguhnya Rasulullah saw. dalam pidatonya pada hajji Wada'
mempersaksikan kepada Allah, bahwa ia telah menyampaikan risalah-Nya, dan
memerintahkan kaum muslimin supaya yang hadir di antara mereka menyampaikan
kepada yang tidak hadir.
Yang hadir menjadi
saksi adalah seluruh orang yang mendapat petunjuk kepada Islam dan mengetahui
hukum-hukumnya. Sedangkan yang tidak hadir (ghaib) adalah semua orang yang
tidak mengetahui bahasa Al-Qur'an dan tidak mampu memahami ayat-ayatnya.
Adapun apabila
orang yang ghaib tersebut dibiarkan dalam keadaannya yang tidak mengetahui
bahasa Al-Qur'an dan tidak mampu memahami dalil-dalilnya, serta ayat-ayatnya
tidak diterjemahkan ke dalam bahasanya, tidak ada pula seorang yang mengetahui
bahasa Al-Qur'an mengajarkan apa yang ditaklifkan kepadanya dengan bahasa yang
dapat difahaminya, maka ia menurut syara' bukan mukallaf.
Karena sesungguhnya
Allah tidaklah membebani seseorang kecuali sekedar kemampuannya. Oleh karena
itulah Allah SWT. berfirman dalam surat Ibrahim:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا بِلِسَانِ قَوْمِهِ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ ۖ فَيُضِلُّ اللَّهُ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
Artinya:"Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya , supaya ia dapat member penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan member petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Dia-lah Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana" (Q.S. 14/Ibrahim: 4).
Kedua, orang tersebut
harus telah berakal sempurna. Menurut TM.Hasbi Ash Shiddieqy, hendaklah
orang-orang yang dibebani hokum itu berakal. Menentukan garis-garis telah
berakal amat sukar. Karena itu syara menjadikan “sampai umur,” tanda telah
berakal. Untuk mengetahui bahwa yang telah sampai umur itu berakal, maka dapat
dilihat dari perilakunya, dan pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan sehari-hari.
Keterangan
TM.Hasbi Ash Shiddieqy di atas menunjukkan, dengan kemampuan akal yang
sempurna, seseorang akan dapat memahami dalil-dalil penetapan hukum. Namun
karena sampai saat seseorang itu memiliki kemampuan akal dengan secara
sempurna, melalui suatu perkembangan dan karena tanda-tanda kemampuan akal
secara sempurna pada seseorang itu tidak nampak dengan jelas, maka bukan hal
yang mudah untuk menentukan saat seseorang itu mulai memiliki kemampuan akal
dengan sempurna.
Dalam hal ini
Syara' mengaitkan kemampuan akal dengan sempurna bagi seseorang dengan
kebalighannya. Jika seseorang telah memasuki periode baligh dan dari dirinya
tidak menampakkan tanda-tanda ketidaksempurnaan akalnya, maka orang tersebut
dianggap telah dapat memahami dalil-dalil penetapan hukum. Sebaliknya, meskipun
seseorang itu telah baligh, tetapi tidak berakal, seperti orang gila atau belum
berakal atau kurang sempurna kemampuan akalnya seperti anak kecil, atau sedang dalam
keadaan tidak sadar sehingga orang itu tidak dapat menggunakan kemampuan
akalnya, seperti orang yang sedang tidur, ia tidak dapat memahami dalil-dalil
penetapan hukum. Karena itulah orang-orang tersebut tidak dibebani dengan
ketentuan-ketentuan hukum Syara'.
Ketiga, orang tersebut
harus mempunyai ahliyah (kemampuan, kecakapan, kelayakan, kepatutan), untuk
melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum yang dibebankan kepadanya.
Rujukan:
- TM.Hasbi ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, Semarang PT.Pustaka Rizki Putra, 2001.
- Abd al Wahab Khalaf, Ilm usul al-Fiqh, Jakarta: Maktabah al-Dalam’wah al-Islamiyah Syabab al-Azhar, 1410 H/1990M.