Pengertian Mukallaf
Saturday, 28 May 2016
SUDUT HUKUM | Dalam kamus bahasa, ada kata (كلّف) (membebani), (مكلّف) (yang dibebani tanggung jawab). (كلّف بالأمر) (memberati dengan pekerjaan), (مكلّف) (yang diberati, yang bertanggung jawab), (متكلّف) (yang memasuki sesuatu yang bukan perkaranya). Pendukung hak adalah manusia yang
memiliki berbagai macam hak kodrati atas pemberian Tuhan.
Sehubungan
dengan itu dalam ilmu fiqih ada istilah mukallaf, dan istilah ini
dibahas misalnya dalam bab mahkum alaih yang oleh Abd al Wahab Khallaf
dirumuskan: mahkum alaih adalah mukallaf yang dengan perbuatannya
hukum syar’i berkaitan. Sejalan dengan itu, murid Abd al Wahab
Khallaf yaitu Abu Zahrah menyatakan pula bahwa hukum adalah tuntutan Allah yang
berkaitan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik berupa perintah,
larangan, memilih atau ketetapan. Dari definisi ini perlu diungkap tentang
pembentuk hukum syara (al-Hakim) serta perbuatan orangorang mukallaf sebagaimana
telah diuraikan.
Kini tinggal
masalah mukallaf yang melakukan perbuatan yang belum dibicarakan, dan
mereka itulah yang disebut sebagai al mahkum alaih (orang yang menjadi
obyek hukum, dalam istilah hukum disebut subyek hukum). Jadi mahkum alaih adalah
orang mukallaf, karena dialah orang yang perbuatannya dihukumi untuk
diterima atau ditolak, dan termasuk atau tidak dalam cakupan perintah atau
larangan.
Dari kedua
rumusan di atas dapat disimpulkan, mahkum alaih adalah mukallaf sebagai
pendukung hak dan kewajiban. Dalam al-Qur'an surat al- Baqarah ayat 286
ditegaskan;
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ ﴿البقرة:٢٨٦
Artinya: "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala yang diusahakannya dan ia mendapat siksa yang dikerjakannya. : "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma'aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir." (QS.2: 286).
Dalam perspektif
hukum Islam, perjalanan hidup manusia dibagi menjadi empat priode: priode kandungan,
priode thufulah, priode tamyiz, priode baligh
1. Periode Kandungan
Periode
kandungan ialah suatu periode di ketika manusia masih berada di dalam kandungan
ibunya. Dalam periode ini jika ditinjau bahwa kandungan itu sebagai satu suku
dari ibu, maka tetaplah dia dengan tetapnya ibu dan berpindahlah dia dengan
berpindahnya ibu, sehingga dengan demikian maka tidak dapat dia dipandang
berdiri sendiri, sehingga dia tidak dapat dipandang sebagai pribadi manusia
yang dapat menerima hak maupun menanggung kewajiban. Akan tetapi jika ditinjau
dari segi dia sebagai makhluk Allah yang berjiwa dan hidup, maka terdapatlah
kemungkinan dia menerima haknya.
Dalam hukum
warisan terdapat kemungkinan anak di dalam kandungan menerima haknya sebagai
pewaris, dengan syarat jika dia dilahirkan hidup. Jadi prakteknya kemungkinan
anak dalam kandungan dapat memangku hak warisan digantungkan jika dia sudah
dilahirkan dan ternyata hidup waktu dilahirkan. Kesimpulannya ialah bahwa anak
dalam kandungan dapat memangku hak dan menanggung kewajiban.
2. Periode Thufulah (kanak-kanak)
Periode ini
dimulai semenjak seseorang lahir ke dunia. Dengan lahirnya itu, maka telah
sempurnalah sifat kemanusiaannya, karena ia telah terpisah dari tubuh ibunya.
Namun demikian, kemampuan akalnya belum ada, kemudian berkembang sedikit demi
sedikit. Periode ini berlangsung sampai seseorang mencapai masa tamyiz.
3. Periode Tamyiz.
Dalam masa ini
seseorang mempunyai kemampuan berbuat tidak penuh. Perbuatannya ada kalanya
berhubungan dengan hak Allah atau dengan hak manusia. Yang berhubungan dengan hak
Allah, seperti shalat atau puasa, dipandang sah, tetapi kalau perbuatan
tersebut rusak, ia tidak wajib menyelesaikannya. Yang berhubungan dengan hak
manusia:
- Yang menguntungkan dapat dilakukan tanpa izin wali, seperti menerima pemberian.
- Yang merugikan tidak dapat dilakukan meskipun dengan izin wali, seperti memberikan sesuatu harta, Yang merugikan tetapi ada untungnya, boleh dijalankan sesudah diizinkan wali, seperti jual beli.
Periode tamyiz
dimulai dari seseorang mampu membedakan antara sesuatu yang baik dengan yang
buruk dan antara sesuatu yang bermanfaat dengan yang madlarat. Pada periode ini
kemampuan akal seseorang belum sempurna, karena periode ini adalah masa mulai
dan semakin bersinarnya cahaya kemampuan akal seseorang. Karena itu daya
fikirnya masih dangkal, yakni masih terbatas pada hal-hal yang nampak saja.
Sungguhpun pada periode ini ia sudah mampu membedakan antara yang baik dengan
yang buruk dan antara yang mengandung manfaat dengan yang mengandung madlarat, tetapi
hal itu masih terbatas pada kenyataan-kenyataan zhahiriyah saja.
Batas mulainya
periode tamyiz tidak dapat dipastikan dengan umur tertentu yang telah
dicapai oleh seseorang atau dengan adanya tanda-tanda tertentu yang terdapat
pada perkembangan jasmani, melainkan tergantung pada perkembangan akalnya. Oleh
karena itu mulainya masa tamyiz hanya dapat diketahui dengan melihat dari hasil
pertimbangan akal atau dari tingkah laku yang merupakan pengejawantahan dari
penggunaan kemampuan akalnya.
Sebagai telah
dikemukakan di depan, bahwa perkembangan kemampuan akal seseorang itu mulai
dari sedikit demi sedikit, demikian pula perkembangannya sampai ke taraf
tamyiz. Itulah sebabnya, demikian tandatanda telah tamyiznya seseorang tidak
nampak sekaligus dengan tegas, sehingga antara akhir periode thufulah dengan
awal periode tamyiz ini sangat samar-samar. Namun, setelah melalui masa
perkembangan tertentu, akhirnya juga akan nampak jelas beda antara kedua
periode tersebut.
Dalam pada itu,
Mushthafa Ahmad Az Zarqa dalam kitabnya "Al Fiqhul Islami fi tsaubihil
jadid" menyebutkan bahwa menurut para 'ulama, mulainya masa tamyiz
bagi seseorang yang normal biasanya apabila telah genap berumur 7 tahun.
Pada umur
tersebut, agar dibiasakan anak-anak untuk beribadah shalat kepada Allah SWT
setelah berumur tujuh tahun. Padahal ibadah dipandang sah apabila dilakukan
oleh seseorang yang minimal telah mencapai masa tamyiz. Jadi umur tujuh tahun
ini menunjukkan mulainya masa tamyiz. Sedangkan berakhirnya periode tamyiz,
yaitu apabila seseorang telah mencapai masa baligh.
4. Periode Baligh
Dalam masa ini
dimana seseorang telah mencapai kedewasaannya, ia mempunyai kemampuan berbuat
sepenuhnya, baik yang berhubungan dengan ibadat ataupun muamalat. Dalam masa
inilah, ia menjadi mukallaf yang sebenarnya. Sesudah anak baligh atau dewasa maka
dipandang sudah sempurnalah keahliannya artinya dia menanggung kewajibannya
dengan sepenuhnya dan memiliki haknya dengan sempurna.
Kepadanya diberatkan bebanan-bebanan
hukum Agama Islam sebagai seorang mukallaf dan kepadanya dituntut
pertanggung jawaban atas segala perbuatannya, selama padanya tidak ada
halangan-halangan yang mengurangkan atau menghilangkan, sifat keahliannya. Jadi
baligh menjadi syarat dipandangnya seorang manusia memiliki keahlian yang
sempurna asalkan tidak terjadi padanya halangan-halangan keahlian yang
mengurangkan atau melenyapkan keahliannya, misalnya gila. Gila melenyapkan
keahlian untuk menanggung bebanan hukum Agama Islam walaupun telah dewasa.
Periode baligh
adalah masa kedewasaan hidup seseorang. Dalam hukum Islam tanda- tanda mulai
kedewasaan, apabila telah mengeluarkan air mani bagi laki-laki dan apabila
telah mengeluarkan darah haid atau telah hamil bagi orang perempuan.
Apabila terjadi
kelainan atau keterlambatan pada perkembangan jasmani (biologis) nya, sehingga
pada usia yang biasanya seseorang telah mengeluarkan air mani bagi laki-laki
atau mengeluarkan darah haid bagi perempuan tapi orang tersebut belum juga atau
tidak mengeluarkan tandatanda kedewasaan itu, maka mulai periode balighnya
dianggap secara yuridis (hukmiy), berdasarkan usia yang lazim seseorang
mengeluarkan tanda-tanda balighnya itu.
Mulainya usia
baligh secara yuridis ini dapat berbeda-beda antara seorang dengan orang lain,
karena perbedaan lingkungan, geografis, dan sebagainya. Menurut Zakiah
Daradjat, batas awal usia mulainya baligh secara yuridis adalah jika seseorang
telah berusia 12 tahun bagi laki-laki dan berusia 9 tahun bagi perempuan. Sedangkan
menurut TM.Hasbi Ash Siddieqy, bahwa jumhur ulama berpendapat, salah satu ciri
orang dianggap telah baligh, adalah bila dia sudah bermimpi. Seseorang baru
bisa dibebani hukum, bila sudah berusia dewasa. Apabila seorang anak lelaki
telah berusia limabelas tahun, atau telah tumbuh kumis dan bulu kemaluan,
dipandang telah dewasa.
Menurut
Abu Hanifah, anak lelaki dianggap baligh pada saat dia berusia 18 tahun,
sedangkan anak perempuan pada saat dia memasuki 17 tahun.
Beberapa hadits
menyatakan bahwa di antara ciri seseorang telah cukup umur adalah: telah
bermimpi, tumbuh kumis, serta bulu kemaluan. Mengingat perkembangan masyarakat
saat ini, maka TM.Hasbi Ash Shiddieqy condong dengan pendapat Abu Hanifah yang
menetapkan usia dewasa seseorang lelaki jika dia telah memasuki usia 18 tahun
dan 17 tahun bagi anak perempuan.
Orang yang telah
mencapai baligh terkena taklif yaitu tuntutan pelaksanaan tugas yang
sudah ditentukan.18
Orangnya
disebut Mukallaf yaitu orang yang memikul tanggung jawab terhadap beban
tugas pelaksanaan hukum taklifi. Mukallaf disebut juga dengan istilah mahkum'alaih.
Dasar adanya taklif kepada mukallaf ialah karena adanya akal dan kemampuan
memahami padanya. Saifuddin al-Amidi sebagaimana dikutip Muhammad Abu Zahrah
menegaskan, bahwa telah sepakat para ulama tentang syarat mukallaf yaitu
haruslah berakal dan mampu memahami. Karena sumber taklif adalah khithab (firman,
sabda). Suatu firman yang dihadapkan kepada orang yang tidak berakal dan tidak
dapat memaminya akan sisa-sia belaka.
Barangsiapa yang
hanya mempunyai kemampuan memahami masih tingkat dasar, seperti baru dapat
memahami bacaannya yang sederhana saja, belum dapat memahami kandungannya yang
mengandung perintah atau larangan, yang berpahala atau berdosa, dan yang
memerintahkan itu adalah Allah yang wajib ditaati, maka orang yang seperti itu
orang gila dan anak-anak yang belum mampu membedakan sesuatu. Orang-orang yang
demikian tidak ada baginya taklif. Adapun anak-anak yang sudah mumayyiz (mampu membedakan)
meskipun ia sudah mempunyai kemampuan memahami namun masih jauh dari sempurna
tentang wujud Allah dengan sifat-sifat-Nya yang sempurna; tentang adanya Rasul
yang bersifat benar dan menyampaikan ajaran Allah dan sebagainya yang
berhubungan dengan pemahaman taklif.
Sangat sulit
mengetahui kematangan orang berpikir sebagai orang mukallaf. Mencapai
kematangan itu adalah secara berangsur-angsur, dan tidak ada suatu pertanda
yang tepat untuk itu kecuali baligh, Menurut keterangan al-Amidi itu sebagai
berikut:
- Yang menjadi dasar taklif itu ialah akal karena taklif itu bersumber pada firman yang harus dipahami oleh akal.
- Akal tumbuh dan berkembang secara berangsur-angsur semenjak usia muda, dan dipandang belum sampai ke batas taklif melainkan jika akal sudah mencapai kesempurnaan dalam pertumbuhannya.
- Pertumbuhan akal secara berangsur-angsur ini terjadi dari masa ke masa secara tersembunyi sehingga baru jelas permulaan kesempurnaannya (kematangannya) jika sudah mencapai masa baligh. Sebagai batas pemisah antara masa masih kurang sempurna akal dengan mulai mencapai kesempurnaannya ialah balig. Di kala seseorang sudah baligh termasuklah ia dalam kategori mukallaf. Dan setiap mukallaf harus bertanggung jawab terhadap hukum taklifi.
Peranan akal
merupakan faktor utama dan syari'at Islam untuk menentukan seseorang sebagai mukallaf.
Karena itu meskipun seseorang sudah mencapai usia baligh tetapi akalnya tidak
sehat maka hukum taklifi tidak dibebankan kepadanya.
Rujukan:
Ahmad Warson
Al-Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Yogyakarta: Pustaka
Progressif, 1997.
Mahmud Yunus, Kamus
Arab Indonesia, Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir
Al-Qur’an, 1973.
Ahmad Azhar
Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam), Yogyakarta: UII
Press, 2004.
Abd al Wahab
Khalaf, Ilm usul al-Fiqh, Jakarta: Maktabah al-Dalam’wah al-Islamiyah Syabab al-Azhar,
1410 H/1990M.
Abu Zahrah, Usul
al-Fiqh, Mesir: Dar al-Fikr al-Araby, 1971.
Ismail Muhamamad
Syah dkk, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1992.
Muhammad Abu
Zahrah, Usul al-Fiqh, Mesir: Dar al-Fikr al-Araby, 1971.
Yayasan
Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depag RI, 1986.
Zakiah Daradjat,
Ilmu Fiqh, Jilid 2, Yogyakarta: PT Dhana Bhakti Wakaf, 1995.
Zahri Hamid, Peribadatan
Dalam Agama Islam, Bandung: PT al-Ma'arif, 1980.
Hanafie, Ushul
Fiqh, Jakarta: Bina Grafika, 2001.
Teungku Muhammad
Hasbi Ash Shiddieqy, Koleksi Hadits-Hadi ts Hukum I, Cet . 5, Edisi
kedua, Jakarta: PT. Magenta Bhakti Guna, 1994.