-->

Kedudukan Ilmu Hukum Normatif

SUDUT HUKUM | Ilmu hukum menyandang gelar dan terbukti sebagai ilmu tertua didunia dan kehadiran ilmu tersebut telah mengabdi bagi umat manusia dan ikut memberikan andil menjaga eksistensi peradaban manusia di muka bumi, namun sampai dewasa ini orang masih salah dalam menempatkan ilmu hukum sebagai ilmu normatif.

Penelitian hukum yang dilakukan oleh Bernard Arief Sidharta memetakan kedudukan ilmu hukum sebagai ilmu normative yang menyandang sifat khas memberikan solusi terhadap problematika kemasyarakatan yang mendesak. Objek telaahnya berkenaan dengan tuntutan berperilaku dengan cara tertentu, kepatuhan dalam perilaku tersebut tidak sepenuhnya tergantung kepada kehendak bebas yang bersangkutan, melainkan dapat dipaksakan oleh kekuasaan publik. Norma perilaku pada dasarnya adalah aturan yang menentukan apakah perilaku manusia tertentu patut atau tidak. Berdasarkan hal itu orang dapat mengetahui apa yang dapat diharapkan dari orang lain dan aturan demikian mutlak diperlukan dalam suatu kehidupan bersama.

Kedudukan Ilmu Hukum NormatifBerdasarkan ulasan tersebut dapat dipetakan kedudukan ilmu hukum sebagai ilmu normatif dalam konteks dan keterkaitannya dengan ilmu-ilmu yang lain. Meskipun setiap ilmu memiliki otonomi yang dibangun dalam tataran sistem tertutup, namun dalam konteks keilmuan semua kelompok ilmu tersebut pada dasarnya membuka diri dalam satu sistem yang terbuka sehingga saling memberikan masukan.

Penelitian Bernard Arief Sidharta menegaskan kedudukan ilmu hukum dalam kelompok ilmu praktis yang bertujuan mengubah keadaan atau menawarkan penyelesaian terhadap masalah konkret. Ilmu praktis adalah ilmu yang mempelajari aktivitas penerapan sebagai objeknya. Lebih khusus lagi, ilmu hukum adalah ilmu praktis normologis – ilmu normatif dengan rumus logika sebagai berikut: “Jika A (ada atau terjadi) maka seyogyanya B (terjadi)”. When A is, B ‘ought’ to be even though B perhaps actually is not”. Posisi ilmu hukum di sini dipahami bukan sebagai ilmu empiris, juga bukan termasuk dalam ilmu-ilmu manusia yang adalah bagian dari ilmu empiris tersebut.

(Baca juga: Metode mempelajari ilmu Hukum)

Pada pihak lain, ilmu-ilmu sosial mengarahkan perhatiannya pada fakta sosial dengan sikap bebas nilai (value free), yaitu tidak mengandung interpretasi subjektif dari penelitinya. Max weber sebagai seorang ilmuwan yang dianggap sebagai bapak ilmu sosiologi menegaskan kedudukan ilmu sosial sebagai ilmu empiris. “The social sciences, which are strictly empirical sciences…”. Dengan menguantifikasikan data dan mencapai perumusan deduktif-nomologis, ilmu-ilmu sosial bertujuan meramalkan dan mengendalikan proses-proses sosial dengan semboyan savoir pour prevoir (mengetahui untuk meramalkan dan mengendalikan) dengan temuan tersebut ilmu-ilmu sosial dapat membantu terciptanya susunan masyarakat yang rasional.

Ilmu hukum dalam kedudukannya sebagai ilmu praktis merupakan medan berbagai ilmu bertemu dan berinteraksi (berkonverfensi), yang produk akhirnya berupa penyelesaian masalah secara ilmiah dan rasional dapat dipertanggungjawabkan. Karenanya, ilmu-ilmu hukum menyandang sifat khas yang berbeda dengan ilmu-ilmu yang lain (sui generis). Dengan objek telaahnya berkenaan dengan tuntutan berperilaku dengan cara tertentu yang kepatuhannya tidak sepenuhnya tergantung kepada kehendak bebas yang bersangkutan, melainkan dapat dipaksakan oleh kekuasaan publik. Karena dinamika dalam masyarakat sehingga objek telaahnya bukan hanya hukum sebagai yang dipahami secara tradisional, maka tugasnya lebih banyak terarah pada penciptaan hukum baru yang dilakukan untuk mengakomodasi timbulnya berbagai hubungan kemasyarakatan yang baru. Karena itu, ilmu hukum harus terbuka dan mampu mengolah produk berbagai ilmu lain tanpa berubah menjadi ilmu lain tersebut, dengan kehilangan karakter khasnya sebagai ilmu normatif.

Van Peursen menggolongkan ilmu hukum dalam kelompok ilmu praktis, yaitu ilmu yang mempelajari aktivitas penerapan itu sendiri sebagai objeknya dan posisinya berada dalam riam ketiga model reservoir setelah ilmu-ilmu formal dan ilmu-ilmu empiris. Model reservoir yang digambarkan Van Peursen menunjukkan bahwa pada satu pihak, ilmu berkaitan dengan perapatan yang menempatkan dalam suatu sistem yang tertutup karena otonomi ilmiah yang dimiliki karena kekuatan ilmu adalah pada pembatasan diri, namun pada pihak lain eksistensi ilmu tersebut juga sangat bergantung pada masukan ilmu-ilmu lain, yang mengharuskan untuk membuka diri dalam posisi untuk saling menyapa.

Kelompok ilmu praktis bertujuan untuk mengubah keadaan atau menawarkan penyelesaian terhadap masalah konkret. Sebagai ilmu, kelompok ilmu praktis tidak menyajikan kaidah moral sama seperti kelompok ilmu teoritis, namun bagi ilmu praktis dan penerapannya berlaku kaidah moral yang disebut moral keahlian atau etika profesi.

Kelompok ilmu praktis dapat dibagi dalam dua jenis, yakni kelompok ilmu praktis nomologis dan ilmu praktis normologis. Ilmu praktis normologis disebut juga ilmu normative yang berusaha menemukan hubungan antara dua hal atau lebih berdasarkan imputasi (mempertautkan tanggung jawab/kewajiban) untuk menetapkan apa yang seharusnya menjadi kewajiban subjek tertentu dalam situasi konkret tertentu, sehubungan dengan terjadinya perbuatan atau peristiwa atau keadaan tertentu, namun dalam kenyataannya apa yang seharusnya terjadi atau niscaya dengan sendirinya terjadi. Menurut Hans Kelsen seperti yang dibahas sebelumnya, rumus logikanya ialah “jika A, maka seyogyanya B”. Dengan demikian, ilmu hukum termasuk ilmu praktis yang merupakan medan tempat berbagai ilmu bertemu dan berinteraksi yang produk akhirnya berupa penyelesaian masalah secara ilmiah (rasional) dapat dipertanggungjawabkan. Seperti yang telah dijelaskan bahwa ilmu praktis terdiri dari atas ilmu praktis normologis dan ilmu praktis nomologis, sedangkan ilmu hukum termasuk ilmu praktis normologis.

Kesalahan paling mencolok yang banyak dilakukan oleh ilmuwan hukum dewasa ini adalah besarnya  keinginan untuk menarik hukum masuk ke dalam genus ilmu sosial dengan melupakan karakter hukum sebagai ilmu normative. Padahal, ilmu normative merupakan ilmu tentang kaidah yang telah muncul jauh sebelum kelahiran ilmu-ilmu sosial.

Dalam posisi tersebut, metode penelitian yang digunakan dalam ilmu hukum adalah metode normative, yakni metode doctrinal dengan optic preskriptif untuk menemukan kaidah hukum secara hermeneutis. Seorang peneliti yang memilih kajian hukum yang dibuatnya adalah tipe kajian hukum normative, tentu tidak ragu lagi melangkah untuk mencapai tujuan penelitiannya, karena format penelitian normative telah dipahaminya dengan baik dan tidak dikaburkan dengan penelitian hukum empiris yang menggunakan paradigm ilmu-ilmu sosial.
Sumber: Penelitian Hukum Normatif  "Johnny Ibrahim"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel