Akibat Hukum Nusyuz
Tuesday, 7 June 2016
SUDUT HUKUM | Sebagai akibat hukum dari
perbuatan nusyuz menurut jumhur ulama, mereka sepakat bahwa isteri yang tidak
taat kepada suaminya (tidak ada tamkin sempurna dari isteri) tanpa adanya suatu
alasan yang dapat dibenarkan secara syar’i atau secara ‘aqli maka isteri
dianggap nusyud dan tidak berhak mendapatkan nafkah.
Dalam hal suami beristeri lebih
dari satu (poligami) maka terhadap isteri yang nusyuz selain tidak wajib
memberikan nafkah, suami juga tidak wajib memberikan giliranya. Tetapi ia masih
wajib memberikan tempat tinggal. Sedangkan untuk nusyuz suami, maka istri boleh
melaporkannya kepada hakim pengadilan untuk memberikan nasehat kepada suami
tersebut apabila si suami belum bisa di ajak damai dengan cara musyawarah.
Demikian menurut pendapat Imam Malik.

Namun demikian ketika istri telah
berhenti dari nusyuz maka suami kembali diharuskan memenuhi
kewajibannya. Dalam hal nafkah, ia harus kembali memberikan nafkah kepada
istrinya sebagaimana saat sebelum sang istri nusyuz. Atau dalam hal
penggiliran istri-istri
dalam rumah tangga poligini, suami harus kembali bersikap
adil.[2]
فإن رجعت ولايعلم بالرجوع فأقام على ما حللته منه ثم علم أن قد رجعت
إستأنف العدل من يوم علم ولابأس عليه فيما مضى.
"Jika istri tidak lagi nusyuz namun suaminya tidak mengetahui hal itu dan suami masih bersikap sebagaimana ketika istri nusyud, kemudian ia mengetahui bahwasannya istri telah berhenti nusyud, maka suami harus kembali bersikap adil saat ia mengetahui hal tersebut dan sikapnya yang keliru itu dimaafkan.”
Seandainya sang suami tidak
mengetahui bahwa istrinya telah berhenti dari nusyuz maka pada saat ia
mengetahui hal tersebut ia harus kembali memenuhi kewajiban-kewajibannya.
Adapun kewajiban-kewajiban yang ia alpakan ketika ia tidak menyadari bahwa
istrinya telah berhenti dari nusyud tidak menjadi persoalan.
[1] Muhammad bin Idris as-Syafi’i, al-Umm
Juz II, Beirut: Dar al-Fikr, tth., h. 208
[2]
ibid