Tujuan Puasa
Monday, 6 June 2016
SUDUT HUKUM | Puasa
dalam pandangan Islam adalah ibadah vertikal, langsung kepada
Illahi Rabbi dilakukan oleh seseorang (remaja) hamba secara sendiri-sendiri
(individual). Pesan untuk berpuasa bagi segenap umat Islam
disandarkan pada etika yang terdapat dalam Al-Qur’an yang menjadi
pedoman mutlak bagi kebebaran maupun keabsahannya dalam kehidupan.[1]
Secara
jelas Al-Qur’an menyatakan bahwa tujuan puasa yang hendaknya
diperjuangkan adalah untuk mencapai ketakwaan atau realisasi
ketakwaan yakni menjalankan perintah Allah SWT. dan menjauhkan
diri dari segala sesuatu yang dilarang-Nya52 dan la’allakum tattatquun.
(Baca juga: Pengertian Puasa)
Ini berarti bahwa
menahan diri dari lapar dan dahaga bukan tujuan
utama dari puasa. Puasa merupakan satu ibadah yang unik. Segi keunikannya
misalnya, bahwa puasa merupakam rahasia antara Allah dan
pelakunya. Bukankah manusia yang berpuasa dapat bersembunyi untuk
minum dan makan? Bukankah sebagai insan, siapapun yang berpuasa,
memiliki keinginan untuk makan atau minum pada saat-saat tertentu
dari siang hari puasa?

Berpuasa
bagi orang Islam (remaja) bukan saja berbakti kepada Allah,
tetapi disiplin jiwa dan moril, suatu kesadaran hidup yang tinggi bukankah
tidak ada daya nafsu yang lebih besar dari pada melepaskan lapar,
sedang makan dan minuman dibawah dipelupuk mata, meskipun demikian,
daya nafsu ini dikalahkan oleh orang yang berpuasa.[3]
(Baca juga: Puasa dan Kepedulian Sosial)
Puasa
telah lama dikenal oleh umat manusia, namun mereka bukan
berarti telah usang atau ketinggalan zaman. Karena generasi abad sekarang
inilah masih melakukannya. Puasa dalam arti “mengendalikan dan
menahan diri untuk tidak makan dan minum dalam waktu–waktu tertentu”
dilakukan antara lain dengan tujuan memelihara kesehatan atau
merampingkan tubuh, atau dalam bentuk mogok makan sebagai pertanda
protes atas perlakuan pihak lain, atau dilakukan sebagai tanda solidaritas
atas malapetaka yang menimpa teman atau saudara, seperti yang
terdapat disentara suku-suku di India dan lainnya yang hingga kini masih
berlaku. Puasa dengan makna ragam tujuan dan bentuk tersebut dihimpun
oleh satu esensi, yaitu “pengendalian diri”. Puasa yang dilakukan
umat Islam digaris bawahi oleh Al-Qur’an sebagai “bertujuan untuk
memperoleh takwa”.
Tujuan
tersebut tercapai dengan menghayati arti puasa itu sendiri.
Memahami dan menghayati arti puasa memerlukan pemahaman terhadap
dua hal pokok yang menyangkut hakikat manusia dan kewajibannya
dibumi ini.
Pertama, manusia diciptakan oleh
Tuhan dari tanah, kemudian dihembuskan
kepadanya Ruh ciptaan-Nya, dan diberikan potensi untuk mengembangkan
dirinya hingga mencapai satu tingkat yang menjadikannya
wajar untuk menjadi Khalifah (pengganti)
Tuhan dalam memakmurkan
bumi ini.
(Baca juga: Sejarah Puasa)
Kedua, dalam
perjalanan manusia menuju ke bumi,
ia (Adam) melewati (”transit” di) surga, agar pengalaman yang diperolehnya
disana dapat dijadikan bekal dalam menyukseskan tugas pokok
di bumi ini. Pengalaman tersebut antara lain adalah persentuhannya
dengan keadaan di surga itu sendiri.
Ibadah
puasa bukan hanya sekedar rutinitas tahunan (bulan Ramadhan)
dengan mengerjakan amal ibadah seperti membaca Al-Qur’an,
shalat tarawih dan berbagai aktivitas rutin lainnya, akan tetapi lebih
dari itu, ibadah puasa hendaknya dapat mendidik seseorang (remaja)
mengantarkan pribadi-pribadi yang tangguh, memiliki komitmen
moral yang tinggi serta membentuk kepribadian muslim yang paripurna.
Secara
jelas Al-Qur’an menyatakan bahwa tujuan puasa yang hendaknya
diperjuangkan adalah untuk mencapai ketakwaan atau la’allakum tattaqun.
Dalam
rangka memahami tujuan tersebut agaknya perlu digaris bawahi,
banyak diantara orang yang berpuasa tidak memperoleh sesuatu dari
Puasanya, kecuali rasa lapar dan dahaga. Banyak orang berpuasa tidak
ada nilai baginya kecuali lapar dan dahaga.
Dan
banyak orang bangun malam tidak ada nilai baginya selain terjaga
(tidak tidur) dan kepayahan. Itu adalah hasil yang diperoleh oleh
orang (remaja) yang berpuasa ketika tidak tahu apa yang menjadi tujuan
pokoknya.
Ada
pengartian arti takwa itu sendiri; yang diartikan menurut masing-masing
huruf hijaiyyah pembentuk
kata ’taqwa’ (dalam
bahasa Arab),
memberikan ciri-ciri orang yang bertakwaa sebagai berikut.
Pertama, Tawadu’, maksudnya,
sopan santun, tidak sombong, tidak berbuat
sewenang-wenang. Orang yang bertakwa meyadari bahwa dirinya
bukan apa-apa. Apa yang ada paada dirinya: pangkat, kedudukan,
jabatan atau kekayaan, hanyalah barang titipan yang pada saatnya
nanti akan diambil oleh Allah, karena Allah lah pemiliknya yang
hakiki, maka dari itu sungguh tidak pantas ketika puasa seseorang (remaja)
menyombongkan diri dengan modal barang titipan.
Kedua, Amanah, maksudnya,
bersikap sederhana, bila seseorang
(remaja) telah mampu menyadari siapa dirinya dan mampu menekan
egonya yang tidak baik, maka ia tidak akan bersikap aneh (yang
menyalahi aturan agama). Tidak ambisius untuk mencapai sesuatu
dengan jalan yang tidak benar.
Ketiga, wara’; menjaga
diri dari semua perbuatan dan makanan yang
tidak halal, orang yang bertakwa tidaak akan melakukan penyelewengan,
tidak akan korup dan tidak akan melakukan perbuatan yang
tidak benar.
Puasa
merupakan suatu rangka pokok dari rangka-rangka pembinaan
Iman, dalam Nash Al-Qur’an dan Al-Hadits, serta ijma’ yang
muktabar menyatakan
bahwa puasa benar-benar suatu rangka dari kerangka
pembinaan iman puasa.
Suatu
rukun dari rukun dari rukun-rukun Islam, dan suatu ibadah ruhiyah yang positif yang
difardlukan secara tetap dan teguh.
Puasa
merupakan salah satu ibadah besar dalam agama Islam. Ia termasuk
dalam amal badani,
amal nafsi (amal
yang berkaitan dengan jiwa)
dan amal Ijabi (amal
yang positif) karena itu puasa melibatkan jasmani
dan rohani sekaligus, hal ini berbeda dengan ibadah lain, yang lain
hanya melibatkan jasmani atau rohani saja, disamping itu pula puasa
Ramadhan dilakukan dalam jangka waktu yang cukup lama sehingga
hal ini terasa berat.
Dikatakan
amal badani karena
puasa menuntut adanya kemampuan
dari segi fisik. Yang diwajibkan puasa adalah orang-orang yang
mampu untuk melaksanakannya. Diluar itu tidak ada kewajiban baginya,
karena ia merupakan salah satu syarat wajib berpuasa. Oleh sebab
itu orang-orang yang tidak mampu seperti orang sakit, orang dalam
perjalanan, orang yang sudah tua renta hamil atau menyusui tidak diwajibkan
berpuasa akan tetapi bagi mereka adalah mengganti pada hari-hari
yang lain atau membayar fidyah.
“Maka barang siapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berkata), maka (wajib baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak puasa) membayar fidyah (yaitu): memberi makan seorang miskin”. (Q.S.2:184).
“Dari Abi Hurairah r.a Sesungguhnya Rasulullah telah bersabda : “Puasa itu benteng, janganlah ia berkata keji, dan mencaci maki ! seandainya ada orang yang mengajaknya berkelahi atau mencaci makinya hendaklah ia dikatannya: “Saya ini berpuasa” dua kali. Demi Tuhan yang nyawa Muhammad berada ditangan-Nya, bau mulut orang yang berpuasa, lebih harum disisi Allah dari pada bau kasturi, firman-Nya : “Ditinggalkannya makan minum Dan Syahwat karena aku. Puasa itu adalah untuk-Ku dan Aku yang akan memberikannya ganjaran, sedang setiap kebajikan itu akan memberinya ganjaran sepuluh kali lipat”.[4]
Menurut
Quraish Shihab puasa yang dilakukan umat Islam digaris
bawahi Al-Qur’an sebagai :”bertujuan untuk memperoleh takwa”.
Tujuan tersebut tercapai dengan menghayati arti puasa itu sendiri.
Memahami dan menghayati arti puasa memerlukan pemahaman
terhadap dua hal pokok menyangkut hakekat manusia dan kewajibannya
di bumi ini.
Pertama, manusia diciptakan oleh
Allah dari tanah kemudian dihembuskan
kepadanya ruh ciptaan-Nya dan diberikan potensi untuk mengembangkan
dirinya hingga mencapai satu tingkat yang menjadikannya
wajar untuk menjadi Khalifah (pengganti) Tuhan dalam
memakmurkan bumi ini Tuhan menciptakan manusia diberi potensi
untuk memiliki sifat-sifat Tuhan sesuai dengan kemampuan sebagai
makhluk.
Kedua, dalam perjalanan manusia menuju ke bumi
Adam melewati
surga, agar pengalamannya disana dapat dijadikan bekal dalam
menyukseskan tugas pokoknya dibumi. Hal ini mendorongnya untuk
menciptakan bayangan surga di bumi, sebagaimana pengalamannya
dengan setan mendorongnya untuk berhati-hati agar tidak
terpedaya lagi sehingga mengalami kepahitan yang dirasakan ketika terusir dari
surga.
Rujukan:
Syahrin Harahap et. al., Nasehat Para Ulama’ Hikmah Puasa, Berpuasalah Agar Hidup dibimbing Menuju-Nya, (Jakarta: Raja Grafindo Jaya, 2001), hlm. 137.
[2] Muhammad Quraish Shihab , Membumikan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1992), hlm. 530-531.
[3] R.H. Su’dan, Alqur’an Dan Panduan Kesehartan Masyarakat, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1997), hlm. 223.
[4] Syeih Al-Bajuri ‘Ala Ibnu Qasim Al-Ghuzi, loc.cit., hlm. 226.