Sejarah Puasa
Sunday, 5 June 2016
SUDUT HUKUM | Awal munculnya puasa berawal dari sejarah turunnya ayat;
Proses pelaksanaan puasa itu nampak ketika ada larangan yang diberikan
kepada Nabi Adam dan Dewi Hawa ketika berada di surge tidak boleh makan buah
pohon huldi (nama pohon ini tidak dapat dipastikan karena tidak ada keterangan
dari Al-Qur’an maupun Hadits),[1]
yang berimbas keduanya diturunkan di dunia.
“Maka makan, minum, dan bersenang hatilah kamu, jika kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah: Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seseorang manusiapun pada hari ini”. (Q.S. Maryam ; 26).
Sejarah munculnya puasa memang sejak dulu pra agama Islam, puasa
merupakan ibadah yang telah lama berkembang dalam masyarakat umat manusia
sebelum Islam. Hal ini dapat diketahui dari ayat 183 : S.2, Al-Baqarah; kama kutiba ‘alalladzina minqablikum = sebagaimana telah
ditetapkan atas orang-orang yang sebelum kamu”.
Istilah puasa pada era sekarang bukanlah hal yang asing, ataupun
baru, orang-orang mesir kuno telah mengenal puasa 5000 tahun sebelum agama
samawi diturunkan orang Yunani dan Romawi juga telah mengenal sebelum lahirnya
agama Nasrani.
(Baca juga: Pengertian Puasa)

Praktek puasa mulai nampak sejak dulu, sebagai bukti diantaranya;
Nabi Musa as. dan Nabi Isa as. Bersama umatnya, diperintahkan oleh Allah
melakukan Puasa Ramadhan pada masa itu.
Walaupaun berkelanjutan dengan adanya perubahan model yang dilakukan
pendeta-pendetanya, yaitu dengan menambah sepuluh hari, yang aslinya tiga puluh
hari jadi empat puluh hari, adanya dalih nazar ketika ada kaumnya yang sakit
parah (pendeta), apabila pendeta itu sembuh maka mereka akan menambahnya
menjadi empat puluh hari, jadilah puasanya kaum nasrani menjadi empat puluh
hari[2].
Nabi Muhammadpun melihat dari golongan orang yahudi yang melakukan
puasa hari Assyura pada waktu golongan itu belum tersentuh dengan ajaran Islam,
sehingga Nabi Muhammad menyuruh kepada umat Islam untuk melakukan hal yang
sama.
(Baca juga: Puasa dan Kepedulian Sosial)
Memang dalam pelaksanaan puasa sudah dilakukan sejak dulu[3],
sebelum Islam datang, praktek puasa pada masa itu istilahnya juga difardlukan
oleh Allah, sama difardlukannya ibadah puasa Ramadhan kepada umat Islam.
Fakta sejarah yang ditemui pada umat-umat dan bangsa-bangsa yang
terdahulu menunjukkan bahwa mereka melakukan puasa sebagai sebuah naluri fitrah
tanpa standar dan ukuran yang jelas serta tegas.
Tindakan para pendeta Yahudi dan Nasrani, misalnya, kewajiban
puasa selama tiga puluh hari di bulan Ramadhan yang bertepatan dengan musim
panas, mereka merubah waktunya kemusim semi karena dirasa memberatkan. Puasa
yang semula sehari mereka merubah menjadi sehari semalam, yaitu mulai matahari
terbenam hingga matahari terbenam keesokannya.[4]
Ini membuktikan betapa terjadi distorsi pada ia badah puasa oleh umat dan
bangsa terdahulu.
Hal ini terbukti pada Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 35, Allah melarang
Nabi Adam dan Dewi Hawa memakan buah pohon tertentu, sementara ada yang
menamainya dengan nama nuah huldi, buah kekekalan, sebagaimana tersebut dalam
dalam Al-Qur’an surah Thaha ayat 120, tetapi nama itu adalah nama yang
diberikan setan. Inilah barang kali puasa dalam arti menahan diri dari hal-hal
yang dilarang12
[1]
Ahmad Syarifuddin, Puasa
Menuju Sehat Fisik dan psikis, (Jakarta:
Gema Insani, 2003), h. 44.
[2]
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqy, Pedoman Puasa, (Semarang,
Pustaka Rizki Pustaka, 2000) cet. 4, hlm 2
[3]
ibid
[4] Ahmad
Syarifuddin, Puasa Menuju..., hlm. 50-51.