Dasar Hukum Zakat Fitrah
Friday, 17 June 2016
SUDUT HUKUM | Zakat fitrah
mulai diperintahkan pada tahun kedua hijriyah[1] yaitu tahun
dimana mulai diwajibkannya puasa pada bulan Ramadhan kepada kaum Muslimin,
tepatnya perintah itu disampaikan oleh Rasulullah SAW pada dua hari menjelang
hari raya ‘Idul fitri pada tahun itu.
Zakat fitrah
yang biasanya dibayarkan oleh orang Islam menjelang hari Raya ‘Idul fitri ini,
dalam masalah hukumnya terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ulama’.
Jumhur ulama’ mengatakan bahwa hukum zakat fitrah adalah wajib[2] yang harus dilaksanakan
oleh setiap orang Islam.

(Baca juga: Pengertian Zakat Fitrah)
Adapun yang
menjadi dasar pelaksanaan zakat fitrah adalah hadis Rasulullah SAW dari Ibnu
Umar:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ أنّ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَ اللهُ عَليْهِ وَسَلمَ فرَضَ زَكاةَالفِطرِ مِنْ رَمَضَانَ عَلىَ النَاس
سْلِمِيْنَ صَاعًا مِن تمْرٍ أوْ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ عَلىَ كلِ حُرأوْ عَبْدٍ ذكَرٍ أوْ أنْثىَ مِنَ الم
)روه البخارى و مسلم(
Diriwayatkan dari Ibn Umar sesungguhnya Rasulullah SAW telah mewajiban zakat fitrah dari ramadhan sebanyak satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum kepada hamba dan orang merdeka, laki-laki dan wanita, anak kecil dan orang dewasa dari kalangan kaum Muslimin”. (HR. Bukhari dan Muslim)[4]
Jumhur ulama'
Salaf dan Khalaf menyatakan bahwa makna faradha pada hadits itu adalah alzama
dan aujaba, sehingga zakat fitrah adalah suatu kewajiban yang
bersifat pasti.[5] Alasan yang
memperkuat faradha dan alzama ialah disertainya kata-kata faradha dengan kata ‘ala yang biasanya menunjukkan
kepada hal yang wajib. Abu Aliah, Imam 'Atha, dan Ibnu Sirin menjelaskan bahwa
zakat fitrah itu adalah wajib. Sebagaimana pula dikemukakan dalam Bukhari.
Keterangan di atas adalah madzhab Maliki, Syafi'i dan Ahmad.[6]
Hanafi
menyatakan bahwa zakat itu wajib bukan fardhu. Fardhu menurut mereka segala
sesuatu yang di tetapkan oleh dalil qath'i, sedangkan wajib adalah segala
sesuatu yang di tetapkan oleh dalil zanni. Hal ini berbeda dengan imam
yang tiga. Menurut mereka fardhu mencakup dua bagian: fardhu yang di tetapkan
berdasarkan dalil qath'i dan fardhu yang ditetapkan berdasar dalil zanni.
Berdasarkan
uraian di atas diketahui bahwa Hanafi tidak berbeda dengan mazhab yang tiga
dari segi hukum, tetapi hanyalah perbedaan dalam peristilahan saja dan ini
tidak ada perbedaan secara subtansial.
Adapun hadist
riwayat Ahmad Nasa’i Qayis bin Sa’ad bin Ubaidah yang digunakan sebagai dasar
oleh para ulama yang mengatakan bahwa zakat fitrah telah terhapus dengan adanya
zakat maal.
Artinya: “Dari Qais bin Said berkata: ‘Rasulullah SAW telah memerintahkan kita zak fitrah sebelum diturunkannya kewajiban zakat, Rasul tidak menyuruh dan tidak juga melarang akan tetapi kami melakukannya.”(HR. Ibnu Majah)
Hadist tersebut
seakan mengisyaratkan bahwa setelah adanya kewajiban zakat mal, zakat fitrah
tidak diwajibkan lagi. Menurut ulama hadist itu tidak cukup kuat untuk
menghapus status hukum zakat fitrah yang dinyatakan wajib karena dengan
datangnya suatu kewajiban bukan berarti harus menggugurkan kewajiban yang lain.
Dengan berbagai
alasan-alasan yang dipakai ulama-ulama tersebut, penulis cenderung sependapat
dengan jumhur ulama bahwa hukum zakat fitrah itu adalah wajib.
[1] Syaih Muhammad
Amin Kurdi, Tanwirul Qulub, Beirut, Libanon: Darul Kutub, h.257
[2] Ibnu Rusyid, Bidayatul
Mujtahid, Semarang: Toha Putra, h. 272
[3] Ibid, h.
576
[4] Imam Muslim, Shahih
Muslim, Beirut : Ihya’ At-Turotsu Al-Arabi, h. 677
[5]
Yusuf
Qardawi, Hukum Zakat (terjemahan Salman Harun dkk), Jakarta : PT.
Pustaka Litera Antar Nusa, 2006, h. 921
[6] Ibid , h. 922