-->

Kadar Nafkah Isteri

SUDUT HUKUMKadar Nafkah Isteri

Pengertian Nafkaf

Kata “nafaqah” terambil dari kata الانفاق yang artinya “mengeluarkan”. Dalam Ensiklopedi Hukum Islam nafkah adalah mengeluarkan yang biasanya dipergunakan oleh seseorang untuk sesuatu yang baik atau dibelanjakan untuk orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya. Nafkah dapat berarti “belanja”. Maksudnya ialah sesuatu yang diberikan oleh seseorang kepada istri, kerabat dan miliknya sebagai keperluan pokok bagi mereka. Keperluan pokok seperti makanan, pakaian dan tempat tinggal.


Kadar Wajib Nafkah


Allah SWT berfirman :

Baca Juga

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (QS. An-Nisa : 3).
Al-Qur'an dan hadits tidak ada yang menyebutkan dengan tegas kadar atau jumlah nafkah baik minimal atau maksimal yang wajib diberikan suami kepada istrinya. Hanya dalam ayat 6 dan 7 surat Ath-Thalaq di atas diberikan gambaran umum, yaitu nafkah itu diberikan kepada istri menurut yang patut dengan arti cukup untuk keperluan istri dan sesuai pula dengan penghasilan suami.

Kadar Nafkah IsteriPara ulama madzhab sepakat bahwa nafkah untuk istri itu wajib, yang meliputi tiga hal : pangan, sandang dan papan. Mereka juga sepakat besar kecilnya nafkah tergantung pada keadaan kedua belah pihak. Kalau suami-istri orang berada, maka nafkah yang wajib diberikan adalah nafkah orang berada, kalau mereka tidak mampu maka nafkahnya disesuaikan pula dengan itu. Yang dimaksud dengan kadar berada dan tidak beradanya istri adalah kadar berada dan tidak beradanya keluarganya, yakni kadar kehidupan keluarganya. 

Mereka berbeda pendapat tentang apabila salah seorang di antara suami-istri itu kaya, sedangkan yang satu lagi miskin. Dalam keadaan seperti itu, apakah nafkah tersebut diukur berdasar kondisi suami saja, misalnya bila dia kaya, maka nafkahnya juga besar, sekalipun istrinya miskin, dan kecil manakala suami dalam keadaan ekonomi yang sulit. Sekalipun istinya kaya, ataukah diperhitungkan berdasarkan kondisi mereka berdua, yang demikian nafkah tersebut ditetapkan dengan ukuran sedang (antara mampu dan tidak mampu).


Malik berpendapat bahwa besarnya nafkah itu tidak ditentukan berdasarkan ketentuan syarak, tetapi berdasarkan keadaan masing-masing suami-istri, dan ini akan berbeda-beda berdasarkan perbedaan tempat, waktu dan keadaan.

Madzhab Hanafi berpendapat bahwa yang termasuk dalam kebutuhan-kebutuhan pokok itu: pangan, sandang dan tempat tinggal. Madzhab Syafi’i berpendapt bahwa kebutuhan pokok itu hanyalah pangan saja. Mengingat banyaknya kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan oleh keluarga dan anggota-anggota keluarga, maka dari kedua pendapat tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa yang merupakan kebutuhan pokok yang minimum itu, ialah pangan. Sedangkan kebutuhan-kebutuhan yang lain disesuaikan dengan kemampuan dari orang-orang yang berkewajiban memenuhinya.


Hal ini juga dijelaskan dalam kitab Fathul Mu’in tentang istri yang tamkin yaitu: “Diwajibkan kepada suami memberikan nafkah kepada istrinya karena tamkin”

قا لوأقلُّ ما يلزم المقتر من نفقةِ امرأتهِ المعروف ببلدِهماقالفإ ن كا ن
المعروف أنَّ الأغلب من نظرائِها لا تكو ن إلا مخدومًة عالها وخادمًا لها
واحدًا، لا يزيد عليهِ، وأقلُّ ما يعولها بهِ وخادمها ما لا يقوم بدن أحدٍ
على أقلِّ منه، وذلك مد بمد النبي لها في كلِّ يومٍ من طعامِ البلدِ الذي
يقتاتون حنطة كان او شعيرا أوذرة أوأرزا أوسلتا ولخادمها مثله ومكيلة
من أدم بلادها زينا كان أوسمنا بقدر ما يكفى ما وصفت من ثلاثين مدا
فى الشهر ولخادمها شبيه به ويفرض لها فلى دهن ومشط أقل ما يكفيها.

“Syafii berkata: Nafkah minimal yang harus bagi orang yang miskin untuk istrinya ialah ketentuan yang layak di negeri mereka. Ia berkata: Jika wanita-wanita di sana pada umumnya dinafkahi kebutuhan keluarganya dan seorang pelayannya, dan nafkah minimal yang diberikan kepada mereka ialah kebutuhan pokoknya, yaitu satu mudd makanan pokok di negeri tersebut dengan ukuran mudd Nabi Saw untuk setiap harinya dari makanan negeri yang mereka mengambilnya menjadi makanan (qut)nya. Gandumkah atau sya'ir atau jagung atau beras atau salt (bentuknya seperti gandum yang tidak berkulit). Dan bagi pelayan istrinya seperti itu juga. Dan yang disukai dari lauk (penyedap makanan) negerinya. Minyak zaitkah atau minyak samin dengan kadar yang memadai akan apa yang saya terangkan, dari 30 mud dalam sebulan dan bagi pelayan istri itu yang serupa dengan yang demikian. Difardukan untuk istri tentang minyak dan sisir, sekurang-kurangnya yang memadai.”

Dengan demikian Syafi’i menetapkan bahwa setiap hari, suami yang mampu, wajib membayar nafkah sebanyak 2 mudd (1.350 gram gandum/beras), suami yang kondisinya menengah 1,5 mudd dan suami yang tidak mampu wajib membayarkan sebanyak 1 mudd (1,5 kg gram).

Pendapat Imam Syafi'i di atas dan pengikutnya bahwa yang dijadikan standar dalam ukuran nafkah istri adalah status sosial dan kemampuan ekonomi suami. Berlandaskan firman Allah dalam surat at-Thalaq (65) ayat 7:

Artinya: Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan. (QS. At-talaq: 7)


Golongan Hanafi berpendapat bahwa agama tidak menentukan jumlah nafkah. Suami memberikan nafkah kepada istrinya secukupnya yang meliputi makanan, daging, sayur mayur, buah-buahan, minyak zaitun dan samin serta segala kebutuhan yang diperlukan sehari-hari sesuai dengan keadaan yang umum. Standar ini berbeda menurut keadaan dan situasi setempat.

Hambali dan Maliki mengatakan : apabila keadaan suami-istri berbeda, yang satu kaya dan lainnya miskin, maka besar nafkah yang ditentukan adalah tengah-tengah antara dua hal itu.

Sementara itu, mayoritas ulama madzhab Imamiyah mengeluarkan pendapat bahwa, nafkah itu diukur berdasar kebutuhan istri yang mencakup pangan, lauk-pauk, pakaian, tempat tinggal, pelayan, alat rumah tangga, sesuai dengan tingkat kehidupan orang-orang sepertiga dia di daerahnya.


Rujukan: 

Depag RI, Ilmu Fiqih Jilid II, (Jakarta: Direktorat Penyelenggaraan Ibadah Haji., 1984)
Muhammad Jawad Mughinyah, Fiqih Lima Madzhab, Terjmah. Masykur A.B., dkk, (Jakarta: Lentera Basritama, 2000).
Sayyid Sabid, Fiqih Sunnah Jilid 7, (Bandung: Al-Ma’arif, 1981)
Muhammad Jawad Mughinyah, Fiqih Lima Madzhab, Terjmah. Masykur A.B., dkk, (Jakarta: Lentera Basritama, 2000)
Aliy As’ad, Terjemah Fathul Mu’in Jilid III, (Jakarta: Menara Kudus, 1979).
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001).
Depag RI, Ilmu Fiqih Jilid II, (Jakarta: Direktorat Penyelenggaraan Ibadah Haji., 1984).
Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974).
Aly As’ad, Terjemah Fathul Mu’in, (Kudus: Menara Kudus, tt)
Al-Imam Abi Abdullah Muhammad bin Idris al-Syafi’i, Al-Umm, juz 5, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tt)

Related Posts

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel