Kadar Nafkah Isteri
Wednesday, 1 June 2016
SUDUT HUKUM | Kadar Nafkah Isteri
Pengertian Nafkaf
Kata “nafaqah” terambil dari kata الانفاق yang artinya “mengeluarkan”. Dalam Ensiklopedi Hukum Islam nafkah adalah mengeluarkan yang biasanya
dipergunakan oleh seseorang untuk sesuatu yang baik atau dibelanjakan untuk
orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya. Nafkah
dapat berarti “belanja”. Maksudnya ialah sesuatu yang diberikan oleh seseorang
kepada istri, kerabat dan miliknya sebagai keperluan pokok bagi mereka.
Keperluan pokok seperti makanan, pakaian dan tempat tinggal.
(Baca disini: Lebih lengkap tentang pengertian nafkah)
Kadar Wajib Nafkah
Allah SWT berfirman :
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (QS. An-Nisa : 3).
Al-Qur'an dan hadits tidak ada yang menyebutkan dengan tegas
kadar atau jumlah nafkah baik minimal atau maksimal yang wajib diberikan suami
kepada istrinya. Hanya dalam ayat 6 dan 7 surat Ath-Thalaq di atas diberikan
gambaran umum, yaitu nafkah itu diberikan kepada istri menurut yang patut
dengan arti cukup untuk keperluan istri dan sesuai pula dengan penghasilan
suami.

Mereka berbeda
pendapat tentang apabila salah seorang di antara suami-istri itu kaya,
sedangkan yang satu lagi miskin. Dalam keadaan seperti itu, apakah nafkah
tersebut diukur berdasar kondisi suami saja, misalnya bila dia kaya, maka
nafkahnya juga besar, sekalipun istrinya miskin, dan kecil manakala suami dalam
keadaan ekonomi yang sulit. Sekalipun istinya kaya, ataukah diperhitungkan berdasarkan
kondisi mereka berdua, yang demikian nafkah tersebut ditetapkan dengan ukuran
sedang (antara mampu dan tidak mampu).
Malik berpendapat bahwa besarnya nafkah itu tidak ditentukan
berdasarkan ketentuan syarak, tetapi berdasarkan keadaan masing-masing
suami-istri, dan ini akan berbeda-beda berdasarkan perbedaan tempat, waktu dan
keadaan.
Madzhab Hanafi berpendapat bahwa yang termasuk dalam kebutuhan-kebutuhan pokok itu: pangan, sandang dan tempat tinggal. Madzhab Syafi’i berpendapt bahwa kebutuhan pokok itu hanyalah pangan saja. Mengingat banyaknya kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan oleh keluarga dan anggota-anggota keluarga, maka dari kedua pendapat tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa yang merupakan kebutuhan pokok yang minimum itu, ialah pangan. Sedangkan kebutuhan-kebutuhan yang lain disesuaikan dengan kemampuan dari orang-orang yang berkewajiban memenuhinya.
(Baca juga: Hak dan Kewajiban Suami Isteri menurut Hukum Islam)
Hal ini juga dijelaskan dalam kitab Fathul Mu’in tentang istri yang tamkin yaitu: “Diwajibkan kepada suami memberikan nafkah kepada istrinya karena tamkin”
قا ل: وأقلُّ ما يلزم المقتر من نفقةِ امرأتهِ المعروف ببلدِهما. قال: فإ ن كا ن
المعروف أنَّ الأغلب من نظرائِها لا تكو ن إلا مخدومًة عالها وخادمًا لها
واحدًا، لا يزيد عليهِ، وأقلُّ ما يعولها بهِ وخادمها ما لا يقوم بدن أحدٍ
على أقلِّ منه، وذلك مد بمد النبي لها في كلِّ يومٍ من طعامِ البلدِ الذي
يقتاتون حنطة كان او شعيرا أوذرة أوأرزا أوسلتا ولخادمها مثله ومكيلة
من أدم بلادها زينا كان أوسمنا بقدر ما يكفى ما وصفت من ثلاثين مدا
فى الشهر ولخادمها شبيه به ويفرض لها فلى دهن ومشط أقل ما يكفيها.
“Syafii berkata: Nafkah minimal yang harus bagi orang yang miskin untuk istrinya ialah ketentuan yang layak di negeri mereka. Ia berkata: Jika wanita-wanita di sana pada umumnya dinafkahi kebutuhan keluarganya dan seorang pelayannya, dan nafkah minimal yang diberikan kepada mereka ialah kebutuhan pokoknya, yaitu satu mudd makanan pokok di negeri tersebut dengan ukuran mudd Nabi Saw untuk setiap harinya dari makanan negeri yang mereka mengambilnya menjadi makanan (qut)nya. Gandumkah atau sya'ir atau jagung atau beras atau salt (bentuknya seperti gandum yang tidak berkulit). Dan bagi pelayan istrinya seperti itu juga. Dan yang disukai dari lauk (penyedap makanan) negerinya. Minyak zaitkah atau minyak samin dengan kadar yang memadai akan apa yang saya terangkan, dari 30 mud dalam sebulan dan bagi pelayan istri itu yang serupa dengan yang demikian. Difardukan untuk istri tentang minyak dan sisir, sekurang-kurangnya yang memadai.”
Dengan demikian Syafi’i menetapkan bahwa setiap hari, suami yang mampu, wajib membayar nafkah sebanyak 2 mudd (1.350 gram gandum/beras), suami yang kondisinya menengah 1,5 mudd dan suami yang tidak mampu wajib membayarkan sebanyak 1 mudd (1,5 kg gram).
Pendapat Imam Syafi'i di atas dan pengikutnya bahwa yang dijadikan standar dalam ukuran nafkah istri adalah status sosial dan kemampuan ekonomi suami. Berlandaskan firman Allah dalam surat at-Thalaq (65) ayat 7:„
Artinya: Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan. (QS. At-talaq: 7)
Golongan Hanafi berpendapat bahwa agama tidak menentukan
jumlah nafkah. Suami memberikan nafkah kepada istrinya secukupnya yang meliputi
makanan, daging, sayur mayur, buah-buahan, minyak zaitun dan samin serta segala
kebutuhan yang diperlukan sehari-hari sesuai dengan keadaan yang umum. Standar
ini berbeda menurut keadaan dan situasi setempat.
Hambali dan Maliki mengatakan : apabila keadaan suami-istri
berbeda, yang satu kaya dan lainnya miskin, maka besar nafkah yang ditentukan
adalah tengah-tengah antara dua hal itu.
Sementara itu, mayoritas ulama madzhab Imamiyah mengeluarkan
pendapat bahwa, nafkah itu diukur berdasar kebutuhan istri yang mencakup
pangan, lauk-pauk, pakaian, tempat tinggal, pelayan, alat rumah tangga, sesuai
dengan tingkat kehidupan orang-orang sepertiga dia di daerahnya.
Rujukan:
Depag RI, Ilmu Fiqih Jilid II, (Jakarta: Direktorat Penyelenggaraan Ibadah
Haji., 1984)
Muhammad Jawad Mughinyah, Fiqih Lima Madzhab, Terjmah. Masykur A.B., dkk, (Jakarta: Lentera Basritama, 2000).
Sayyid Sabid, Fiqih Sunnah Jilid 7, (Bandung: Al-Ma’arif, 1981)
Muhammad Jawad Mughinyah, Fiqih Lima Madzhab, Terjmah. Masykur A.B., dkk, (Jakarta: Lentera Basritama, 2000)
Aliy As’ad, Terjemah Fathul Mu’in Jilid III, (Jakarta: Menara Kudus, 1979).
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001).
Depag RI, Ilmu Fiqih Jilid II, (Jakarta: Direktorat Penyelenggaraan Ibadah Haji., 1984).
Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974).
Muhammad Jawad Mughinyah, Fiqih Lima Madzhab, Terjmah. Masykur A.B., dkk, (Jakarta: Lentera Basritama, 2000).
Sayyid Sabid, Fiqih Sunnah Jilid 7, (Bandung: Al-Ma’arif, 1981)
Muhammad Jawad Mughinyah, Fiqih Lima Madzhab, Terjmah. Masykur A.B., dkk, (Jakarta: Lentera Basritama, 2000)
Aliy As’ad, Terjemah Fathul Mu’in Jilid III, (Jakarta: Menara Kudus, 1979).
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001).
Depag RI, Ilmu Fiqih Jilid II, (Jakarta: Direktorat Penyelenggaraan Ibadah Haji., 1984).
Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974).
Aly As’ad, Terjemah Fathul Mu’in, (Kudus: Menara Kudus, tt)
Al-Imam Abi Abdullah Muhammad bin Idris al-Syafi’i, Al-Umm, juz 5, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tt)