Kelahiran dan silsilah keluarga Imam Syafi’i
Saturday, 4 June 2016
SUDUT HUKUM | Imam Syafi’i adalah imam ketiga menurut urutan dan susunan tarikh kelahiran.
Beliau adalah pendukung terhadap ilmu hadits dan pembaharu dalam agama (Mujadid ) dalam abad kedua hijriah.
Dia dilahirkan di daerah Guzzah pada tahun ketika guru fiqih
terkemuka dan imam ahli qiyas di Iraq, Hanafi meninggal dunia. Menurut berbagai
riwayat, antara lain yang dikemukakan oleh Al-Khayyaal kelahiran Syafi’i
dimaksudkan oleh Tuhan sebagai upaya agar wajah bumi tidak sempat sepi dari
ahli fiqih, artinya kehendak Tuhan melahirkan Syafi’i ke dunia fana ini memang
sematamata untuk menggantikan kedudukan Hanafi yang telah mangkat tadi.[1]

Abdur Rahman bin Abi Halim Al-Rafi yang meninggal tahun 327 H (938
M ) adalah peneliti biografi Syafi’i paling awal dan terperinci yang berkata bahwa
Syafi’i dilahirkan di Ghazza, sebuah kota kecil di Laut tengah, sedangkan penulis
lain berkata bahwa dia dilahirkan di Asqalan, tak jauh dari Ghazza pada tahun
150 H / 767 M.[2]
Nama Imam Syafi’i dari kecil adalah Abdillah bin Idris bin Abbas bin
Utsman bin Syafi’i bin Al-Saib bin Ubaid bin Abdul Yazid bin Abdul Muthalib
bin Abdi Manaf,[3] dengan ini jelas bahwa
silsilah dari ayahnya adalah dari keturunan bangsa Quraisy dan keturunan beliau
bersatu dengan keturunan nabi pada Abdi Manaf (datuk nabi yang ketiga ) dan
Hasyim yang tersebut dalam silsilah beliau itu Adapun silsilah dari arah ibunya
adalah binti Fatimah binti Abdullah bin Al-Hasan bin Ali bin abi Thalib (paman
nabi) . Dari silsilah ini diketahui bahwa Syafi’i bertalian rapat dengan
silsilah yang diturunkan nabi.
Imam Syafi’i lahir pada zaman dinasti Abasiyah, tepatnya pada kekuasaan
Abu Ja'far Al-Manshur (137-159 H / 754 – 774 M ), Imam Syafi’i berusia 9 tahun
ketika Al- Manshur diganti oleh Al-Mahdi dan berusia 19 tahun Al-Mahdi diganti
oleh Musa Al-Mahdi,ia berkuasa hanya 1 tahun dan diganti oleh Harun Al-Rasyid
yang saat itu Syafi’i berusia 20 tahun, kemudian diganti oleh Al-Amien dan
akhirnya oleh Al-Ma'mun.[4]
Keluarganya adalah dari keluarga Palestina yang miskin dan dihalau
dari negaranya, mereka hidup dalam perkampungan orang Yaman tetapi kemuliaan
keturunan beliau menjadi jaminan dan tebusan bagi kemiskinan. Kemiskinaan dan
nasab yang tinggi ini mendorongnya untuk menjadi orang yang bercita-cita luhur,
dua hal itu pula yang membuatnya dekat dengan keluarga miskin.[5]
[1]
Syafiq Hasyim, Hal-hal yang tidak
terpikirkan, tentang isu-isu keperempuanan dalam islam, Bandung: Mizan, 2001, hlm. 116
[2]
KHE. Abdul Rahman, Perbandingan
Madzhab-Madzhab, Bandung ; Sinar Baru, 1986, hlm.159
[3]
DR. Jahih Mubarok, Sejarah
dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung ; PT. RemajaRosdakarya,
cet ke-2, 2000, hlm. 101
[4] Ibid.
[5] Syafiq Hasyim, Hal-hal yang tidak
terpikirkan…