Syari’at Islam di Masa Kerajaan di Aceh
Wednesday, 22 June 2016
SUDUT HUKUM | Berbicara
masalah syari’at Islam di Aceh sudah menjadi catatan sejarah bahwa Aceh mulai
menerapkan syari’at Islam mulai masa kerajaan-kerajaan Islam sampai dengan
pendudukan Jepang. Bahkan dalam catatan sejarah Aceh telah dipaparkan bahwa
pada masa kerajaan-kerajaan Islam di Aceh sudah pernah diberlakukan hukum Islamterutama hukum h̖udu̅d. Seperti pada masa Sultan Alidin Ri’ayat Syah II
al-Qahhar telah memberlakukan hukum qis̖a̅s̖ terhadap seorang putranya
abangnya yang tertangkap basah membunuh dan melawan hukum Islam.
Demikian pula halnya Sultan Iskandar
Muda Meukuta Alam pernah memberlakukan hukum Islam atas putranya bernama Meurah
Pupok yang telah melanggar Syari’at Islam. Melakukan perbuatan yang dilarang
agama, melakukan zina dengan seorang perempuan yang telah bersuami. Suami dari
perempuan yang telah dizinai oleh putra Sultan itu melapor kepada Sultan.
Sultan dengan segera memerintahkan Sri Raja Wazir Mizan untuk meneliti dan
menyelidiki kebenaran berita tersebut. Hasil penyelidikan membuktikan bahwa
Meurah Pupok adalah benar telah melakukan penzinaan dengan isteri seorang
perwira. Maka dengan tegas Sultan memberi perintah kepada bidang yang berwenang
untuk menghukum putranya tersebut sesuai dengan hukum Islam yang berlaku saat
itu.[1]
Di samping dari itu terdapat kitab Tazkirat Al-Rakidin,
karangan Ulama Aceh yang bernama Syeikh Muhammad Ibnu Abbas atau lebih dikenal
gelar Tgk. Chiek Kuta Karang yang secara langsung menulis tentang sistem
syari’at Islam yang berlaku saat itu, antara lain yang membicarakan tentang
Syari’at Islam:
- Dalam alam ini terdapat tiga macam, raja, yaitu raja yang memegang jabatan lahir saja, yakni yang memerintah rakyat menurut Hukum adat kebiasaan dunia, raja yang, memerintah jalan agama yaitu ulama ahlu syar’iyah dan rasul serta anbiya.
- Kita wajib mengikuti perintah raja yang memerintah menurut hukum adat jika perintahnya sesuai dengan hukum Syara’.
- Kita wajib mengikuti suruhan ahlu syar’iyah, jika tidak maka kita akan ditimpa malapetaka.
- Hukum adat dan hukum agama adalah sama kembar; tatkala mufakat hukum adat dengan hukum syara’ negeri tenang tiada huru hara. Agama Allah dan raja-raja sama kembar keduanya, ibarat tali berputar sama dua, yakni tiada berkata salah satu dari pada keduanaya jauh daripada yang lain.[2]
Dari kutipan kitab tersebut itu memberi gambaran bahwa pada
masa Tgk Chiek Kuta Karang yang berkisar tahun 1307 H atau 1889 M kondisi
kerajaan Aceh masih dalam bingkai dan nilai-nilai syari’at Islam. Sehingga
tulisannya melukiskan keterpaduan antara syari’at Islam dan hukum adat yang
kuat. Terlihat pula dalam bait penjelasannya bahwa syari’at Islam sebagai
aturan hidup yang harus dijalankan oleh semua lapisan masyarakat termasuk
Sultan sendiri.
Dalam sarakata Sultan Shams al-Alam yang di terbitkan kira-kira
pada tahun 1726, Qadhi Malikul Adil, Orang Kaya Sri Paduka Tuan, Orang Kaya
Raja Bandahara dan semua ahli fiqh diintruksikan untuk menerapkan hukum Islamdi beberapa wilayah tertentu, bukan hukum adat. Dari
itu dapat dipahami bahwa Aceh telah menerapkan syari’at Islam dalam masa-masa
pemerintahan kerajaan-kerajaan Islam.
Dalam masa-masa kerajaan Islam di Aceh hukum Islam telah
ditegakkan di Aceh di samping juga hukum adatpun dijadikan rujukan. Seperti
pada abad ke 17 menurut Thomas Bowrey sebagaimana dikutip Amirul Hadi, bahwa
hukum yang diterapkan di Aceh sangat keras dalam banyak hal terutama bagi
pencuri dan lebih keras kepada pembunuh yang mendapat hukuman mati. Hukuman
bagi pencuri dilakukan secara bertahap tetapi sangat keras.
[1] Misri
A Mukhsin, “Penerapan Syari’at Islam Dalam Perspektif Historis”, dalam Syari’at
Islam di Nanggroe Aceh Darussalam, (Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam NAD,
2007), h. 59.
[2] Syamsul
Rijal, dkk, Merajut Damai Berbekal Syari’at Islam..., h. 47.