Akibat Hukum Perceraian
Friday, 29 July 2016
SUDUT HUKUM | Akibat Hukum
Perceraian
Terhadap Hubungan Suami Istri
Dalam suatu perkawinan tidak
tertutup kemungkinan akan timbulnya satu perselisihan atau pertengkaran
yang berkaitan terjadinya perceraian antara suami istri. Perceraian antara suami
istri dan mereka memiliki anak, maka dalam surat Ath-Thalaq dijelaskan mengenai
akibat hukum perceraian dimana suami berkewajiban memberikan upahnya,
si istri berkewajiban menjaga, memelihara anak tersebut jika ia yang berhak
merawat dan membesarkan anak tersebut.
Apabila dalam perceraian yang
bersalah adalah si istri maka terhadapnya tidak ada biaya yang menjadi
tanggungan suaminya. Seorang istri yang telah ditalak oleh suaminya maka ia
mempunyai masa iddah tiga quru (tiga kali suci), seperti yang dijelaskan dalam
Al-Quran surat Al-Baqarah: 228.

Terhadap Pemeliharaan Anak (Hadhanah)
Fakta kehidupan menunjukkan bahwa
tidak sedikit perkawinan yang dibangun dengan susah payah pada
akhirnya bubar karena kemelut rumah tangga yang menghantamnya. Akibat dari
bubarnya perkawinan itu, tidak sedikit pula anak yang dilahirkan dari
perkawinan itu menanggung derita yang berkepanjangan. Terhadap adanya
perbedaan keinginan dari kedua orang tua anak tersebut, timbul berbagai masalah
hukum dalam penguasaan anak jika telah bercerai (Abdul Manan, 2005:
423).
Dalam hukum Islam pemeliharaan
anak disebut dengan “Al-Hadhinah” yang merupakan masdar dari kata “Al-Hadhanah”
yang
berarti mengasuh atau memelihara bayi (Hadhanah as
shabiyya). Para ahli Hukum Islam sepakat bahwa ibu adalah orang yang berhak
melakukan hadhanah. Namun mereka berpendapat dalam hal-hal yang lain terutama
lamanya masa asuhan seorang ibu, siapa yang paling berhak setelah ibu dan
juga syarat-syarat yang menjadi ibu pengasuh.
Selama tidak ada hal yang
menghalangi untuk memelihara anak-anak, maka ibulah yang harus melaksanakan hadhanah,
maka hak hadhanah berpindah ke tangan orang lain dalam kerabat
ibu garis lurus ke atas. Apabila kerabat ibu dalam garis lurus ke atas berhalangan,
maka yang lebih berhak adalah kerabat dari ayah dari anak tersebut, terutama
kerabat dalam garis lurus keatas. Manakala anak yang masih kecil itu sama sekali tidak
punya kerabat di antara muhrim-muhrimnya itu atau mempunyai kerabat tetapi
tidak cakap bertindak untuk melaksanakan hadhanah, maka
Pengadilan Agama dapat menetapkan siapa wanita yang pantas menjadi ibu pengasuh dari
anak-anak tersebut.
Kewajiban orang tua terhadap anak
secara tegas diatur dalam Pasal 45 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
yang menyebutkan bahwa:
- Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaikbaiknya.
- Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.
Dalam pasal 41 Undang-undang
Nomor 1 tahun 1974 juga diatur mengenai putusnya perkawinan karena
perceraian yaitu:
- Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anakanaknya. Semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai putusan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya.
- Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut. Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
- Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.
Pasal tersebut bahwa kedua orang
tua harus bertanggung jawab terhadap anak-anaknya meskipun perkawinan
telah putus. Bapak dan Ibu tetap berkewajiban mengurus masa depan
anak-anaknya yang dalam pelaksanaannya tentu saja dilakukan oleh salah
satu pihak. Kewajiban orang tua itu tetap berlaku meskipun kekuasaan orang tua
dicabut. Kewajiban orang tua ini berlangsung sampai anak itu kawin atau dapat
berdiri sendiri.
Akan tetapi bapak yang bertanggung jawab atas semua
biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu. Bilamana
bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut pengadilan
dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
Menurut Kompilasi Hukum Islam
(KHI) secara jelas diatur tentang akibat putusnya hubungan perkawinan.
Pasal 149 KHI menyebutkan bahwa salah satu akibat dari putusnya hubungan
perkawinan karena talak adalah bekas suami wajib memberikan biaya hadhanah
(pemeliharaan, termasuk didalamnya biaya pendidikan) untuk anak yang belum
mencapai umur 21 tahun.
Mengenai akibat putusnya hubungan
perkawinan karena (gugat cerai) diatur dalam pasal 156 KHI. Dalam pasal
tersebut dijelaskan bahwa anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan
hadhanah dari ibunya, kecuali ibunya telah meninggal dunia. Bagi anak yang
telah mumayyiz berhak memilih ayah atau ibu.
Semua biaya nafkah anak menjadi
tanggungan ayah sesuai kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak
tersebut dapat mengurus diri sendiri (21 tahun).
Terhadap Pembagian Harta Bersama
Perceraian yang timbul antara
suami dan isteri melahirkan akibat, diantaranya adalah pembagian
harta bersama. Harta bersama adalah harta yang didapat atau diperoleh selama
perkawinan. Harta tersebut akan menjadi harta bersama, jika tidak ada
perjanjian mengenai status harta tersebut sebelum ada pada saat dilangsungkan
pernikahan, kecuali harta yang dapat itu diperoleh dari hadiah atau warisan atau bawaan
masing-masing suami istri yang dimiliki sebelum dilangsungkan pernikahan,
seperti tercantum pada pasal 35 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
(Wasman, Wardah Nuroniyah, 2011: 219).
Menurut undang-undang perkawinan,
apabila putus perkawinan karena perceraian harta bersama harus
diselesaikan menurut hukumnya masing-masing yaitu:
Pasal 35
1. Harta benda yang diperoleh
selama perkawinan menjadi harta bersama.
2. Harta bawaan dari
masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai
hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing
sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Pasal 36
1. Mengenai harta bersama suami
atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
2. Mengenai harta bawaan
masing-masing, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan
hukum mengenai harta bendanya.
Pasal 37
Bila perkawinan putus karena
perceraian, harta bersama diatur dalam hukumnya masing-masing.
Menurut Kompilasi Hukum Islam:
Pasal 85: Adanya harta bersama
dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik
masing-masing suami atau istri
Pasal 86 (1) : Pada dasarnya
tidak ada percampuran antara harta suami dan harta istri dalam perkawinan.
Pasal 86 (2) : Harta istri tetap
dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan
dikuasai penuh olehnya.
Dalam ayat-ayat tersebut
Kompilasi Hukum Islam bertentangan bunyinya, karena hukum Islam pada
prinsipnya tidak dikenal harta campur kecuali dengan syirkah (perkongsian), namun
apabila dalam kehidupan sehari-hari antara suami istri mencampurkan hartanya maka
otomatis terjadi percampuran harta.
Pasal 96 (1) : apabila terjadi
cerai mati, maka separoh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup terlama.
Pasal (97) : Janda atau duda
hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak
ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Berdasarkan ayat-ayat tersebut
maka harta yang diperoleh suami istri karena usahanya, adalah harta bersama,
baik mereka bekerja bersama-sama atau hanya suami saja yang bekerja sedangkan
istri hanya mengurus rumah tangga beserta anak-anak di rumah.