Asas Perdamaian di Pengadilan Agama
Saturday, 30 July 2016
SUDUT HUKUM | Asas Perdamaian di Pengadilan Agama
Pengertian
Dalam kamus umum bahasa Indonesia, asas diartikan sebagai alas
atau pondasi, suatu kebenaran yang menjadi pokok dasar atau tumpuan berpikir (berpendapat),
cita-cita yang menjadi dasar. Sedangkan perdamaian diartikan sebagai penghentian permusuhan
(perang), permufakatan menghentikan permusuhan (perang).
Perdamaian adalah kesepakatan menyelesaikan suatu perselisihan
dengan cara damai (hal ini tidak berarti tidak terjadi penyelesaian di
pengadilan). Perdamaian
adalah suatu perjanjian dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan,
menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang
bergantung atau mencegah timbulnya suatu perkara. Perjanjian ini tidaklah sah
melainkan jika dibuat secara tertulis.
Dasar Hukum
Perdamaian merupakan salah satu asas dari hukum acara yang berlaku
di Peradilan Agama. Sedangkan hukum acara yang berlaku menurut ketentuan pasal
54 UU nomor 7 tahun 1989, yang berbunyi: "Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan di lingkungan
Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku Pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam
Undang-undang ini."
Dari sini dapat diklasifikasikan bahwa sumber-sumber hukum acara
di Pengadilan Agama adalah sebagai berikut:
- HIR (Herzien Indonesis Reglement) / R.Bg. (Rechstglemen Buitengewesten)
- UU nomor 7 tahun 1989
- UU nomor 14 tahun 1970
- UU nomor 14 tahun 1985
- UU nomor 1 tahun 1974 jo. PP. No. 9 tahun 1975
- UU nomor 20 tahun 1947
- Inpres nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
- Peraturan Mahkamah Agung RI.
- Surat Edaran Mahkamah Agung RI.
- Peraturan Menteri Agama
- Keputusan Menteri Agama
- Kitab-kitab Fiqih Islam dan sumber hukum yang tidak tertulis lainnya
- Yurisprudensi Mahkamah Agung
Menurut ketentuan pasal 130 ayat (1) HIR, "Hakim sebelum
memeriksa perkara perdata harus berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak,
bahkan usaha perdamaian itu dapat dilakukan sepanjang proses berjalan, juga
dalam taraf banding oleh Pengadilan Tinggi."
Secara khusus tugas untuk mendamaikan para pihak ini diatur dalam
pasal 65 UU nomor 7 tahun 1989 yang berbunyi : "Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan
setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak ."
Pasal ini juga sejalan dengan pasal 39 ayat (1) Undang-undang
Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yang berbunyi: "Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan
setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak."
Dan ditindaklanjuti dalam keterangan pasal 31 PP nomor 9 tahun
1975 tentang pelaksanaan UU nomor 1 tahun 1974, yang berbunyi:
(1) Hakim yang memeriksa gugatan perceraian berusaha mendamaikan kedua
belah pihak
(2) Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat
dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan
Dan juga pada pasal 82 UU nomor 7 tahun 1989, yang berbunyi:
(1) Pada sidang pemeriksaan gugatan perceraian, Hakim berusaha mendamaikan
kedua belah pihak
(2) Untuk sidang perdamaian tersebut, suami istri harus datang
secara pribadi, kecuali apabila salah satu pihak bertempat kediaman di luar negeri,
dan tidak dapat datang menghadap secara pribadi dapat diwakili oleh kuasanya
yang secara khusus dikuasakan untuk itu
(3) Apabila kedua pihak bertempat kediaman di luar negeri maka
penggugat pada sidang perdamaian tersebut harus menghadap secara pribadi
(4) Selama perkara belum diputuskan, usahamendamaikan dapat
dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan
Pasal 83, yang berbunyi :
"Apabila tercapai perdamaian, maka tidak dapat diajukan
gugatan perceraian baru berdasarkan alasan yang ada dan telah diketahui oleh
penggugat sebelum perdamaian tercapai."
Rujukan:
- W.J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, cet ke- 5, 1976,
- Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, cet ke-4, 1994,
- Sudarsono, Kamus Hukum, Jakarta: Rineka cipta, 1992,
- R. Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung: Citra Aditya Bakti, cet ke-10, 1995,
- Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Jogjakarta: Pustaka Pelajar, Cet. Ke-3, 2000.