Hukum Tanah Di Indonesia Setelah Berlakunya UUPA
Saturday, 2 July 2016
SUDUT HUKUM | Masa sebelum
berlakunya UUPA, hukum tanah masih terkandung corak dualisme, di mana
peraturan-peraturan agraria terdiri dari peraturan-peraturan yang bersumber
pada hukum adat dan hukum barat. Sehingga sebagian berlaku hukum yang tidak tertulis
dan sebagian berlaku hukum yang tertulis.
Pada tanggal 24
September 1960, berlaku Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria atau lebih dikenal dengan nama Undang-Undang Pokok
Agraria (UUPA). Sesuai dengan namanya yaitu “Undang-Undang Pokok”, UUPA hanya
memuat asas-asas pokok peraturan yang mengatur tentang bumi, air, ruang angkasa
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya (SDA), sehingga undang-undang itu
berfungsi sebagai “payung” (umbrella provision) bagi penyusunan
peraturan perundang-undangan tentang SDA lainnya agar bersifat operasional.

Berdasarkan
ketentuan pasal 18 UUPA menyebutkan:”Untuk kepentingan umum, termasuk
kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak
atas tanah dapat dicabut dengan member ganti kerugian yang layak dan menurut
cara yang diatur oleh Undang-undang”. Pencabutan hak atas tanah itu dimungkinkan
selagi memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan yaitu: harus ada ganti rugi
yang layak atau menggantikan dengan tanah yang sesuai ditinjau dari aspek
nilai,manfaat, dan kempuan tanah pengganti,[2]
UUPA mempunyai
dua substansi dari segi berlakunya, yaitu pertama, tidak memberlakukan lagi
atau mencabut Hukum Agraria Kolonial, dan kedua membangun Hukum Agraria
Nasional. Menurut Boedi Harsono, dengan berlakunya UUPA, maka terjadilah
perubahan yang fundamental pada Hukum Agraria di Indonesia, terutama hukum di
bidang pertanahan. Perubahan yang fundamental ini mengenai struktur perangkat
hukum, konsepsi yang mendasari maupun isinya.
Dengan
berlakunya UUPA, bangsa Indonesia telah mempunyai Hukum Tanah yang bersifat
nasional. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa berlakunya UUPA dapat
menghilangkan sifat dualisme, didasarkan pada hukum adat, menempatkan negara
bukan sebagai pemilik sumber daya agraria melainkan negara sebagai organisasi
kekuasaan seluruh rakyat Indonesia hanya berwenang menguasai sumber daya
agraria, konsepsi tanah mempunyai fungsi sosial, serta berupaya memberikan
kepastian hukum terhadap hak-hak atas tanah.
[1]
Achmad
Rubaie. Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Malang, Bayumedia Publishing,2007,
hlm 39
[2]
Muhadar,Ratnaningsih,
Viktimasi Kejahatan dibidang Pertanahan, Yogjakarta, Laksbang PRESSindo,2006,
hlm 61