Kedudukan Ulama dalam Masa Pendudukan Kolonial
Saturday, 2 July 2016
SUDUT HUKUM | Ulama tidak membantu pemerintahan Belanda karena perbedaan aqidah dan keyakinan. Dilarang mengangkat orang kafir itu sebagai pemimpin dan dilarang pula menjadikan orang kafir itu sebagai wali. Maka ulama sangat berpegang dengan teks agama tersebut, sehingga apapun yang datang dari Belanda semua ditolak oleh ulama. Mulai saat itu Belanda pun mulai mencurigai kegiatan ulama dengan demikian Belanda mempersempit gerak ulama. Banyak dayah atau harus tutup karena tidak diziinkan oleh Belanda dan banyak pula dayah yang diintervensi oleh Belanda.
Ulama dipandang sebagai religious leader yang dapat memobilisasi umat Islam untuk melakukan sesuatu bahkan untuk menyusun pergerakan melawan kaum penjajah. Untuk menarik simpati masyarakat, Belanda juga memainkan peranannya dengan pendekatan persuasif, padahal dibalik itu mereka mencari celah dan kesempatan untuk melakukan adu-domba (politik adu domba).

Dalam masa-masa pemerintahan Belanda posisi ulama memang tidak menguntungkan, sementara para uleebalang dijadikan sebagai ujung tombak kekuasaannya oleh Belanda memanfaatkan kekuatan politik yang ada pada uleebalang. Sebagaimana yang ditulis Sri Suyanta, bahwa kebijakan pemerintah Belanda atas uleebalang di Aceh cukup memberi legitimasi akan kekuasaannya atas rakyat Aceh. Belanda memanfaatkan uleebalang sebagai mata rantai penegakan hegemoninya di Aceh.
Berbeda dengan masa pemerintahan Belanda, pemerintahan Jepang menyerahkan mandat kepada ulama untuk hal-hal keagamaan, seperti persoalan perkawinan, perceraian, pewarisan, zakat fitrah, perwalian dan status yatim piatu. Pemerintahan Jepang memberikan kewenangan kepada ulama, terutama dari ulama PUSA. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, posisi ulama semakin diperlukan (diuntungkan) dari masa sebelumnya. Pihak Jepang menaruh perhatian kepada gerakan dan perkembangan umat Islam.
Fakta sejarah mengungkapkan bahwa, semasa Jepang masuk ke Aceh, ulama PUSA memiliki peran penting, maka setelah eksis mengambil alih kekuasaan dari Belanda, Jepang mengadakan kesepakatan kerjasama dengan ulama melalui Teungku Muhammad Daud Beureueh sebagai ketua PUSA waktu itu, dan berhasil disepakati pembentukan Sudan Yoku Majelis Agama Islam Buat Kebaktian Asia Timur Raya (MAIBKATRA) pada bulan Maret 1943. Namun demikian banyak juga ulama yang tidak mau bekerjasama dengan Jepang terutama dari ulama PERTI, seperti Teungku Muhammad Hasan Krueng Kalee dan Teungku Abdul Jalil Bayu, pimpinan Dayah Cot Plieng.
Mereka ini tidak setuju dengan sikap ulama PUSA. Maka banyak tempat di Aceh terjadi perang dengan tentera Jepang. Sebagian para ulama ikut memimpin perang mengusir penjajahan Jepang. Perbedaan pandangan para ulama tersebut telah ada, tetapi tidak tajam meluas ke dalam masyarakat hanya berkisar persoalan kecil dalam politik menghadapi penjajahan.
Ulama dipandang sebagai religious leader yang dapat memobilisasi umat Islam untuk melakukan sesuatu bahkan untuk menyusun pergerakan melawan kaum penjajah. Untuk menarik simpati masyarakat, Belanda juga memainkan peranannya dengan pendekatan persuasif, padahal dibalik itu mereka mencari celah dan kesempatan untuk melakukan adu-domba (politik adu domba).

Dalam masa-masa pemerintahan Belanda posisi ulama memang tidak menguntungkan, sementara para uleebalang dijadikan sebagai ujung tombak kekuasaannya oleh Belanda memanfaatkan kekuatan politik yang ada pada uleebalang. Sebagaimana yang ditulis Sri Suyanta, bahwa kebijakan pemerintah Belanda atas uleebalang di Aceh cukup memberi legitimasi akan kekuasaannya atas rakyat Aceh. Belanda memanfaatkan uleebalang sebagai mata rantai penegakan hegemoninya di Aceh.
Baca Juga
Berbeda dengan masa pemerintahan Belanda, pemerintahan Jepang menyerahkan mandat kepada ulama untuk hal-hal keagamaan, seperti persoalan perkawinan, perceraian, pewarisan, zakat fitrah, perwalian dan status yatim piatu. Pemerintahan Jepang memberikan kewenangan kepada ulama, terutama dari ulama PUSA. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, posisi ulama semakin diperlukan (diuntungkan) dari masa sebelumnya. Pihak Jepang menaruh perhatian kepada gerakan dan perkembangan umat Islam.
Fakta sejarah mengungkapkan bahwa, semasa Jepang masuk ke Aceh, ulama PUSA memiliki peran penting, maka setelah eksis mengambil alih kekuasaan dari Belanda, Jepang mengadakan kesepakatan kerjasama dengan ulama melalui Teungku Muhammad Daud Beureueh sebagai ketua PUSA waktu itu, dan berhasil disepakati pembentukan Sudan Yoku Majelis Agama Islam Buat Kebaktian Asia Timur Raya (MAIBKATRA) pada bulan Maret 1943. Namun demikian banyak juga ulama yang tidak mau bekerjasama dengan Jepang terutama dari ulama PERTI, seperti Teungku Muhammad Hasan Krueng Kalee dan Teungku Abdul Jalil Bayu, pimpinan Dayah Cot Plieng.
Mereka ini tidak setuju dengan sikap ulama PUSA. Maka banyak tempat di Aceh terjadi perang dengan tentera Jepang. Sebagian para ulama ikut memimpin perang mengusir penjajahan Jepang. Perbedaan pandangan para ulama tersebut telah ada, tetapi tidak tajam meluas ke dalam masyarakat hanya berkisar persoalan kecil dalam politik menghadapi penjajahan.
Rujukan:
- L.F Brakel, “Negara dan Kenegarawanan Aceh di Abad XVII” Dalam Dari Sini Ia Bersemi,
- Eric Morris, Aceh: Regional Dynamics of the Indonesia Revolt, ed. Audrey R.Kahin, terjemahan Revolusi Sosial dan Pandangan Islam Dalam Pergolakan Daerah pada Awal Kemerdekaan, (Jakarta: Pustaka Kita Grafiti, 1989),