Ijma’ Menurut Imam Syafi'i
Monday, 4 July 2016
SUDUT HUKUM | Dalam masalah yang tidak diatur secara tegas dalam nash, sehingga hukumnya
harus dicari melalui ijtihad, jelas terbuka peluang untuk berbeda pendapat.
Berkenaan dengan ini, para mujtahid diberi kebebasan, bahkan keharusan untuk
bertindak atau berfatwa sesuai dengan hasil ijtihadnya.[1]
(Baca juga: Pengertian Ijma')
Kelihatannya Syafi’i tidak merumuskan pengertian ijma’ dalam bentuk
definisi. Namun dari berbagai uraiannya dapat disimpulkan bahwa ijma’
menurutnya adalah kesepakatan para ulama tentang suatu hukum syara’. Ahlu ilmi
yang dimaksudkan adalah para ulama yang dianggap sebagai faqih dan fatwa serta
keputusannya diterima oleh penduduk suatu negara.[2] Syafi’I dalam risalahnya hanya menggunakan kata
“ jama’ah muslimin".

Secara hati-hati ia menegaskan bahwa ijma’ yang tidak didukung oleh
hadits, tidak boleh dianggap sebagai periwayatan hadits. Jadi dalam hal ini,
kesepakatan mereka itulah yang diikuti. Kalau saja tentang masalah itu terdapat
hadits tentu ada diantara mereka yang mengetahuinya dan tidak mungkin mereka
semua sepakat atas sesuatu yang bertentangan dengan sunnah Rasul atau sepakat
atas sesuatu yang salah.[4]
Syafi membatasi ijma’ yang mempunyai kekuatan hujjah pada ijma’ umat
Islam dengan alasan:
- Kita mengambil keputusan yang diambil oleh umat karena kita harus mematuhi kekuasaannya, tidak mungkin sepakat yang menyalahi sunnah.
- Orang yang berpendapat menurut pendapat umat secara jama’ah berarti telah mengikuti masyarakat muslim.
Dari penjelasan tersebut mengenai bentuk dan persyaratan ijma’ menurut
Syafi’i dapat dipahami bahwa pengunaan ijma’ sebagai dalil syara’ yang
mempunyai daya hujjah begitu terbatas.
[1]
Imam Syafi'I, Al-Umm,juz VII, hlm. 299
[2] Ibid, hlm.293
[3] Ibid,
[4]
Imam Syafi'I, Al-Risalah, hlm.472