Syarat dan Rukun Shalat Ied
Sunday, 3 July 2016
SUDUT HUKUM | Di dalam menjalankan ibadah shalat ied, ada beberapa syarat yang harus
dipenuhi–sebagaimana menjalankan ibadah shalat lainnya. Secara garis besar para
ulama berbeda pendapat. Imam Abu Hanifah dan Ahmad bin Hanbal memandang bahwa
syarat-syarat shalat ied adalah sama persis seperti syarat shalat Jum’at, yakni
harus mencapai bilangan tertentu, dilakukan oleh penduduk yang menetap dan ada
ijin dari pemerintah.[1]
Menurut Imam Malik dan Syafi’i bahwa shalat ied (hari raya) tidak memerlukan
syarat-syarat khusus. Semua orang, laki-laki atau perempuan boleh mengerjakan
shalat ied dengan berjama’ah atau sendiri-sendiri. Ini mengikuti pernyataan
Rasul, bahwa hari raya adalah hari makan-makan (pesta) dan bersenang-senang
dengan keluarga. Bila Rasul sendiri memberikan keringanan seperti itu, maka
kehadiran untuk mengikuti jama’ah shalat ied berarti hanya anjuran bukan wajib.[2]
Namun demikian, syarat-syarat shalat ied secara terperinci adalah sebagai
berikut; pertama, shalat
ied (baik Idul Fitri maupun Idul Adha) dilaksanakan setelah terbit matahari.
Syarat ini adalah ittifaq (kesepakatan
ulama). Hal ini diterangkan dalam atsar sahabat bahwa Nafi’ berkata perihal Ibnu
Umar:
Bahwa dia (Ibnu Umar) berangkat menuju mushala pada hari raya Fitri apabila matahari telah terbit, kemudian ia bertakbir hingga tiba di mushala, lalu ia melanjutkan takbirnya hingga imam duduk (di atas mimbar). Jika imam telah duduk ia hentikan takbirnya”.[3]
Kedua, didirikan di tempat terbuka atau tanah lapang
bila tidak ada halangan, semisal hujan dan lainnya menurut ittifaq mazhab empat. Namun menurut
mazhab Syafi’i shalat ied lebih baik dilaksanakan di masjid, jika masjidnya
besar dan dapat menampung jama’ah. Hadits Nabi;
Dari Abi Sa’id al-Khudri berkata bahwa Rasulullah SAW keluar pada hari Raya Fitri dan Adha ke Mushalla. (HR. Bukhari).[4]
Ketiga,dilaksanakan secara berjamaah. Menurut ulama
Hanafiyah dan Hanabilah bahwa berjama’ah adalah syarat sahnya shalat ied–sebagaimana
shalat Jum’at. Sedangkan ulama Syafi’iyah dan Malikiyah berpendapat bahwa shalat
ied secara berjama’ah adalah sunnah.[5]
Keempat, diakhiri dengan
khutbah. Khutbah menurut pendapat Imam Syafi’i dan Maliki hukumnya adalah
sunnah. Sedangkan Imam Hanafi dan Hambali menjadikan khutbah sebagai syarat
sahnya shalat ied. Hadits Nabi;
Dari Abas r.a. berkata: “Saya menyaksikan fitri bersama Rasulullah saw., Abu Bakar, Umar dan Usman r.a. Mereka menjalankan shalat sebelum khutbah, kemudian baru berkhutbah sesudahnya ”. (HR. an- Nasa’i).
Adapun rukun dalam shalat ied sama dengan rukun dalam shalat wajib
lainnya, yaitu meliputi;
- Niat
- Berdiri bagi yang kuasa ketika shalat
- Takbiratul Ihram[6]
- Membaca surat Al-Fatihah
- Ruku’ dengan tuma’ninah
- I’tidal dengan tuma’ninah
- Sujud dengan tuma’ninah
- Duduk diantara sujud dengan tuma’ninah
- Duduk pada tahiyat akhir
- Membaca tahiyat
- Membaca shalawat
- Membaca salam pertama
- Tartib (berurutan)[7]
[1]
Ach. Khudlori Soleh, Fiqh
Kontekstual Perspektif Sufi Falsafi, Jakarta:
PT. Pertja, 1998, hlm. 159.
[2] Ibid,
hlm. 159.
[3]
Syekh Muhammad Abid as-Sindi, Musnad
asy-Syafi’i, terj. Bahrun Abu Bakar, “Musnad Syafi’i”, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2000, hlm. 352
[4] Abi
Abdillah Muhammad ibnu Isma’il Al-Bukhari, Op. cit., hlm.
289.
[5] Ach.
Khudlori Soleh, Op. cit., hlm. 317.
[6]
Menurut ulama Syafi’iyah, setelah takbiratul ihram ada yang
disebut takbir tambahan pada
raka’at pertama sebanyak tujuh kali. Sedangkan pada rakaat kedua sebanyak lima
kali. Lain halnya
dengan ulama Malikiyah dan Hanabilah yang menyatakan bahwa pada rakaat pertama disunahkan
takbir sebanyak enm kali dan rakaat kedua lima kali. Ulama Hanafiyah sebanyak
lima kali.
Wahbah Az-Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islam Al-Adillatuh, Juz II, Beirut, Dar Al-Fiqr, 1989, hlm. 370.
[7] Ahmad
Ibnu Husein Abi Suja’, Op. cit., hlm. 13-14.