-->

Roscoe Pound dan Pemikiran Aliran Sosiological Jurisprudence

SUDUT HUKUM | Aliran Sosiological Jurisprudence memiliki beberapa tokoh yang banyak menyumbangkan pemikira tentang ilmu hukum sosiologis, akan tetapi yang akan dibahas dalam penelitian ini hanya tiga tokoh. Pembatasan ini dilakukan agar penelitian ini tidak terlalu luas dan menurut penulis ketiga tokoh tersebut mampu merepresentasikan inti pemikiran dari aliran sosiological jurisprudence. Ketiga tokoh tersebut adalah Eugen Ehrlich, Roscoe Pound, dan Benjamin N. Cordozo.

Roscoe Pound dilahirkan pada 1870 di Lincoln, Nebraska. Putra dari Stephen Bosworth Pound dan Laura Pound, dikenal sebagai tokoh pendidik terkenal dan penulis. Pound awalnya belajar botani di Universitas Nebraska. Ia meraih gelar M.A pada 1888. Setelah menyelesaikan studinya, ia pergi ke Harvard untuk belajar hukum selama setahun.

Roscoe Pound dan Pemikiran Aliran Sosiological Jurisprudence

Baca Juga

Berkat penelitian yang dilakukan oleh Pound, sosiologi hukum amerika serikat menemukan ketelitian yang sangat terperinci dan luas. Pound adalah pakar tiada tandingan dari mazhab sosiological jurisprudence. Pemikiran pound dibentuk dari hasil pertentangan secara terus menerus dari masalah-masalah sosiologis (masalah pengawasan sosial dan kepentingan sosial), masalah-masalah filsafat (pragmatisme serta teori eksperimental tentang nilai-nilai), masalah-masalah sejarah hukum (berbagai sifat kemantapan dan keluwesan dalam tipe-tipe sistem hukum), dan akhirnya masalah-masalah sifat pekerjaan pengadilan di Amerika Serikat (unsur kebijaksanaan administratif dalam proses pengadilan). Banyak titik perhatian dan titik tolak yang membantu Pound untuk memperluas dan memperjelas perspektif-perspektif dari sosiologi hukum.

The Scope an Purpose of Sosiological Jurisprudence, bahwa tugas sosiologi hukum adalah:


  1. Menelaah akibat-akibat sosial yang aktual dari lembaga-lembaga hukum dan doktrin-doktrin hukum, oleh karena itu lebih memandang kepada kerjanya hukum dari pada isinya yang abstrak. 
  2. Mengajukan studi sosiologis berkenaan dengannya studi hukum untuk mempersiapkan perundang-undangan, dan karena itu menganggap hukum sebagai lembaga sosial yang dapat diperbaiki oleh usaha-usaha yang bijaksana guna menemukan cara-cara terbaik untuk melanjutkan dan membimbing usaha-usaha sedemikian itu. 
  3. Mempelajari cara membuat peraturan perundang-undangan yang efektif dan menitik beratkan kepada tujuan sosial yang hendak dicapai oleh hukum bukan kepada sanksi. 
  4. Menelaah sejarah hukum sosiologis yakni tentang akkibat sosial yang ditimbulkan oleh doktrin hukum dan bagaimana cara menghasilkannya.
  5. Membela apa yang dinamakan pelaksanaan hukum secara adil dan mendesak agar ajaran-ajaran hukum harus dianggap sebagai petunjuk ke arah hasil yang adil bagi masyarakat dan bukannya sebagai bentuk yang tidak dapat berubah.
  6. Meningkatkan efektifitas pencapaian tujuan yang tersebut di atas agar usaha untuk mencapai maksud serta tujuan hukum lebih efektif. 

Dari enam program di atas, ada dua pasal yang berhubungan dengan penilaian-penilaian teoritis mengenai kenyataan sosial hukum (tentang akibat sosial hukum), dan telaah sosiologis tentang sejarah hukum. pasal yang lain adalah penggunaan hasil sosiologi hukum untuk pekerjaan seorang hakim atau pembuat undang-undang.

Beberapa karya Pound yang menyusul karyanya yang pertama yaitu A Theory of Social Interest dan The Administration of Justice social engineering dengan sosiologi dapat diwujudkan sebaik-baiknya oleh tujuan-tujuan sosial yang dianut oleh para ahli hukum.

Penandasan Pound kepada kepentingan-kepentingan sosial, yang terkadang dianggap salah sebagai kecenderungan kepada keserbamanfaatan sosial suatu pandangan yang selalu ditentangnya secara tegas, yang terbukti dengan pertikaiannya dengan Ihering, baginya pada hakikatnya hanyalah merupakan suatu metode untuk mengajak pengadilan-pengadilan agar memperhatikan kenyataan kelompok-kelompok sosial yang khusus dan tata tertibnya masing-masing. Pertikaian antara kelompok-kelompok hanya dapat diselesaikan dengan prosedur-prosedur hukum yang menggabungkan kebijaksanaan administratif, hukum tentang pedoman-pedoman yang luwes, dan pemakaian peraturan-peraturan hukum adat yang lebih kaku.

Di dalam karya-karya Pound yang lain ia menegaskan kenisbian sosiologis dari teknik-teknik hukum, kategori-kategori hukum, dan konsep-konsep hukum. ia melukiskan kenisbian dini dengan menunjuk kepada tipe-tipe masyarakat yang menyeluruh dan kepada kekhususan tradisi-tradisi kebudayaannya. Demikianlah ia memberi suatu analisis sosiologis mengenai tipe-tipe hukum adat inggris dan Amerika yang sekarang menjadi klasik. Ia mengemukakan perubahan-perubahan dalam konsep-konsep hukum sendiri, sebagai fungsi tipe-tipe masyarakat dan sistem-sistem hukum yang bersesuaian. Ia melukiskan berbagai teori mengenai hubungan hukum dan moral sebagai fungsi tipe-tipe sosial.

Mengenai kenisbian konsep-konsep hukum Pound mengemukakan tidak kurang dari dua belas gagasan mengenai apa yang yang dimaksud dengan hukum. dengan memahami kedua belas gagasan hukum itu dapat dipahami perkembangan makna hukum dalam hidup bermasayarakat, gagasan-gagasan tersbut ialah:


  • Hukum dipandang sebagai aturan atau perangkat aturan tentang tingkah laku manusia yang ditetapkan oleh kekuasaan yang bersifat ilahi. Sebagai contoh adalah Kode Hamurabi yang dipercaya sebagai diwahyukan oleh dewa Manu dan hukum Nabi Musa yang diwahyukan Allah di gunung Sinai. Di sini hukum dimaknai sebagai wujud campur tangan langsung kekuasaan yang bersifat ilahi terhadap kehidupan bermasyarakat. Adanya pemaknaan demikian menunjukkan bahwa status naturalis yang menggambarkan keadaan atimistis manusia yang digambarkan baik oleh Thomas Hobbes maupun John Lock tidak pernah ada. 
  • Hukum dimaknai sebagai tradisi masa lalu yang terbukti berkenan bagi para dewa sehingga menuntun manusia untuk mengarungi kehidupan dengan selamat. Bagi masyarakat primitif yang dikelilingi oleh kekuatan yang menyeramkan dan dapat mengamuk sewaktu-waktu, manusia selalu dibayangi ketakutan yang terus menerus sehingga tidak berani melanggar kekuatan itu. Secara individual maupun kelompok, orang-orang ini berusaha meredakan jangan sampai kekuatan dahsyat itu murka. Caranya adalah menetapkan apa saja yang boleh dilakukan oleh mereka dengan mengacu kepada  kebiasaan masa lalu mengenai segala sesuatu yang tidak diperkenankan oleh para dewa. Hukum dengan demikian dipandang sebagai seperangkat aturan moral (Precept) atau disebut juga maxim yang dicatat dan dipelihara. Bilamanapun dijumpai seperangkat hukum primitif yang dikuasai oleh sekelompok orang yang menunjukkan bahwa kelompok itu mempunyai kelas dalam oligarki politik, hukum itu dipandang layaknya firman Allah dalam tradisi imamat orang Yahudi, tetapi bukan dipandang sebagai wahyu Ilahi seperti pada gagasan sebelumnya. Namun demikian pandangan transendental tetap menguasai masyarakat primitif dalam memaknai hukum, karena hukum dikaitkan dengan kedahsyatan alam semesta yang menakutkan yang dianggap sebagai perbuatan para dewa. 
  • Hukum dimaknai sebagai catatan kearifan orang tua yang telah banyak makan garam atau pedoman tingkah laku manusia yang telah ditetapkan secara ilahi. Kearifan dan pedoman tingkah laku itu lalu dituangkan ke dalam kitab undang-undang primitif. Dalam hal inipun hubungan yang bersifat trnasendental masih terasa sehingga dapat dipikirkan bahwa kearifan para orang tua tersebut juga merupakan suatu yang didapat dari suatu kuasa yang mereka anggap ilahi.
  • Hukum dipandang sebagai sistem prinsip-prinsip yang ditemukan secara filsufis dan prinsip-prinsip itu mengungkapkan hakikat hal-hal yang merupakan pedoman bagi tingkah laku manusia. dalam gagasan ini pandangan yang bersifat transendental mulai dilepaskan digantikan oleh pandangan yang bersifat metafisis. Akan tetapi sebenarnya menurut Pound, gagasan keempat ini merupakan penggabungan gagasan kedua dan ketiga yang dilakukan oleh para Juriskonsul Romawi. Karya para Juriskonsul adalah pendapat hukum yang ditujukan kepada para hakim Kekaisaran Romawi Barat. Pada masa itu, yaitu abad kedua sampai abad keempat, nasihat-nasihat hukum tersebut dikompilasi dalam buku-buku teks. Oleh karena itulah dapat dikemukakan bahwa buku-buku teks tersebut merupakan sesuatu seperti kompilasi adjudikasi yang dikembangkan berdasarkan penalaran.
  • Gagasan ini merupakan kelanjutan dari gagasan keempat. Ditangan para filsuf, prinsip-prinsip itu ditelaah secara cermat, diintepretasi, dan kemudian digunakan. Oleh karena itulah dalam gagasan kelima ini hukum diartikan sebagai seperangkat aturan dan pernyataan kode moral yang abadi dan tidak dapat berubah.
  • Hukum dipandang sebagai seperangkat perjanjian yang dibuat oleh orang-orang dalam suatu masyarakat yang diorganisasi secara politis. Perlu dikemukakan disini bahwa pandangan ini bukan merujuk pada teori-teori spekulatif yang dikemukakan oleh Thomas Hobbes dan John Locke, melainkan merujuk kepada karya plato yang berjudul Minos. Pandangan ini menurut Pound merupakan suatu pandangan yang bersifat demokratis. Dalam hal ini hukum diidentifikasi sebagai undang-undang dan dekrit yang diundangkan dalam negara kota yang ada pada zaman Yunani Kuno. Demosthenes menyarankan pandangan demikian kepada jury Athena. Dalam teori semacam ini, sangat mungkin gagasan yang bersifat filsufis mendukung gagasan politis dan menjadikan dasar kewajiban moral yang melekat di dalamnya mengenai alasan mengapa perjanjian yang dibuat di dalam dewan rakyat harus ditaati.
  • Hukum dipandang sebagai suatu refleksi pikiran ilahi yang menguasai alam semesta. Pandangan ini dikemukakan oleh Thomas Aquinas. Sejak saat itu pandangan ini telah sangat berpengaruh. Bahkan kemudian terjadi berbagai variasi atas pandangan hukum alam ini. 
  • Hukum dipandang sebagai serangkaian perintah penguasa dalam suatu masyarakat yang diorganisasi secara politis. Berdasarkan perintah itulah manusia bertingkah laku tanpa perlu mempertanyakan atas dasar apakah perintah itu diberikan. Pandangan demikian dikemukakan oleh yuris Romawi dan masa klasik. Tidak dapat disangkal bahwa pandangan itu hanya mengakui hukum positif, yaitu hukum yang dibuat oleh penguasa sebagai hukum. sebagaimana hukum Romawi yang telah menjadi acuan hukum barat sebenarnya bersumber pada Corpus Iuris Civilis hasil kodifikasi Kaisar Yustianus. Sebagai seorang kaisar, ia dapat menuangkan kehendaknya menjadi berkekuatan hukum. Akan tetapi yang dilakukan Yustianus sebenarnya adalah melakukan kompilasi karya para Juriskonsul pada masa Kekaisaran Romawi Barat masih jaya. Ternyata pandangan hukum merupakan perintah penguasa sesuai dengan pandangan hukum para ahli hukum yang aktif mendukung kekuasaan raja di Kerajaan Perancis yang tersentralisasi pada abad keenambelas dan ketujuhbelas. Para ahli dhukum ini lalu mengundangkannya menjadi undang-undang. Hal itu ternyata sesuai dengan dengan pandangan supremasi parlemen di Inggris setelah tahun 1688 dan kemudian menjadi teori yuristik Inggris ortodoks. Bahkan pandangan dini juga sesuai dengan teori supremasi parlemen pada Revolusi Amerika atau pengganti teori kedaulatan raja pada Revolusi Perancis.
  • Hukum dipandang sebagai sistem pedoman yang ditemukan berdasarkan pengalaman manusia secara individual akan merealisasikan kebebasannya sebanyak mungkin seiring dengan kebebasan yang sama yang dimiliki orang lain. Gagasan semacam ini dengan berbagai bentuknya dikemukakan oleh mazhab historis. Menurut pandangan F.C. von Savigny, hukum bukanlah dibuat secara sengaja, melainkan ditemukan melalui pengalaman manusia. dengan demikian pertumbuhannya benar-benar merupakan suatu proses organis dan tidak disadari. Proses itu ditentukan oleh gagasan mengenai hak dan keadilan atau gagasan mengenai kebebasan yang terwujud dalam pengelolaan keadilan oleh manusia atau dalam bekerjanya hukum-hukum biologis dan psikologis atau dalam karakter ras yang mau tidak mau menghasilkan sistem hukum yang berlaku pada suatu waktu tertentu bagi masyarakat yang bersangkutan.
  • Hukum dipandang sebagai sistem prinsip yang ditemukan secara filsufis dan dikembangkan secara rinci melalui tulisan yuristik dan putusan pengadilan. Sistem prinsip tersebut digunakan untuk mengukur kehidupan lahiriah manusia melalui nalar atau dalam suatu fase lain digunakan untuk menyelaraskan kehendak manusia sesamanya. Cara berpikir semacam ini muncul pada abad kesembilan belas setelah teori hukum alam ditinggalkan dan dikedepankan guna memberikan suatu kriteria yang sistematis bagi pengembangan hukum secara mendetail.
  • Hukum dipandang sebagai seperangkat atau suatu sistem aturan yang dipaksakan kepada manusia dalam masyarakat oleh sekelompok kelas yang berkuasa baik secara sengaja atau tidak untuk meneguhkan kepentingan kelas yang berkuasa tersebut. Pandangan ini merupakan suatu pandangan dari segi ekonomi. Pandangan ini kemudian mengemuka dalam bentuk positivis-analitis yang menempatkan hukum sebagai perintah penguasa. Dasar perintah tersebut pada hakikatnya adalah kepentingan ekonomi dari kelas yang berkuasa.
  • Hukum dipandang sebagai suatu gagasan yang ditimbulkan dari prinsip-prinsip ekonomi dan sosial tentang tingkah laku manusia dalam masyarakat, ditemukan berdasarkan observasi, dinyatakan dalam bentuk petunjuk-petunjuk yang bekerja melalui pengalaman manusia mengenai apa yang dapat dilakukan dan tidak dapat dilakukan dalam pelaksanaan keadilan. Pandangan ini merupakan suatu pandangan akhir abad kesembilan belas ketika mulai dikemukakannya pandangan empiris yang didasarkan pada observasi sebagai ganti pandangan yang bersifat metafisis.

.
Perubahan-perubahan dalam konsep hukum menegaskan bahwa hukum selalu berkembang mengikuti perkembangan masyarakat. Hal ini juga membuktikan perkataan Eugen Ehrlich bahwa hukum hidup dan berkembang sesuaai dengan perkembangan masyarakat.

Pound sering menggunakan istilah engineering. Tujuan sosial engineering adalah untuk membangun suatu struktur masyarakat sedemikian rupa, sehingga secara maksimum dicapai kepuasan akan kebutuhan-kebutuhan, dengan seminimum mungkin benturan dan pemborosan. Untuk menggarap lebih lanjut pendapatnya itu, pound mengembangkan suatu daftar kepentingan-kepentingan yang dilindungi oleh hukum. kepentingan itu dibagi menjadi tiga bagian, yaitu kepentingan-kepentingan umum, kepentingan-kepentingan sosial dan kepentingan-kepentingan pribadi.

Kepentingan-kepentingan umum meliputi kepentingan terhadap negara sebagai suatu badan yuridis, kepentingan terhadap negara sebagai penjaga dari kepentingan sosial. Sedangkan kepentingan-kepentingan perseorangan terdiri dari kepentingan pribadi (fisik, kebebasan kemauan, kehormatan, privasi, kepercayaan dan pendapat), kepentingan hubungan domestik (orang tua, anak, suami, istri), kepentingan substansi (milik, kontrak, usaha, keuntungan, pekerjaan, hubungasn dengan orang). Kepentingan sosial meliputi keamanan umum, kemanan dari instirusi-institusi sosial, moral umum, pengamanan sumber-sumber daya sosial, kemajuan sosial, kehidupan individu (pernyataan diri, kesempatan, dan kondisi kehidupan).

Dari klasifikasi tersebut, dapat ditarik dua hal. Pertama, Pound mengikuti garis pemikiran yang berasal dari Von Jhering dan Bentham, yaitu berupa pendekatan terhadap hukum sebagai jalan ke arah tujuan sosial dan sebagai alat dalam perkembangan sosial. Penggolongan kepentingan tersebut sebenarnya dapat pula digolongkan sebagai penganut Utilitarianisme sebagai penerus Jhering dan Bentham.

Kedua, klasifikasi tersebut membantu menjelaskan premis-premis hukum, sehingga membuat pembentuk undang-undang, hakim, pengacara dan pengajar hukum menyadari akan prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang terkait dalam tiap-tiap persoalan khusus. Dengan perkataan lain klasifikasi itu membantu menghubungkan antara prinsip hukum dan praktiknya.

Pound juga mencoba untuk menyusun nilai-nilai hukum yang utama dalam suatu masyarakat yang beradab, yang bersifat relatif, yaitu beradab dalam kurun waktu dan tempat tertentu. Pound menyebutkan postulat-postulat hukum bagi suatu masyarakat beradab sebagai berikut:


  1. Dalam masyarakat beradab orng harus mampu untuk membuat asumsi, bahwa orang lain tidak akan melakukan serangan yang disengaja kepadanya. 
  2. Dalam masyarakat beradab orang harus bisa mengasumsikan, bahwa mereka bisa menguasai apa yang mereka dapat untuk tujuan-tujuan yang menguntungkan dan menggunakannya untuk pemanfaatan mereka sendiri, apa yang mereka capai melalui kerja sendiri dan dalam rangka tatanan sosial serta ekonomi yang ada.
  3. Dalam masyarakat beradab orang harus dapat mengasumsikan bahwa orang-orang yang mengadakan hubungan dengan kita dalam lalu lintas sosial akan bertindak dengan I’tikad baik.
  4. Dalam masyarakat beradab orang harus dapat mengasumsikan bahwa orang ain yang berhubungan dengan kita akan bertingkah laku penuh kehati-hatian sehingga tidak menimbulkan kerugian yang tidak perlu. 

Rujukan:

  • Alvin S. Johnson, Sosiologi Hukum (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994)
  • George Gurvitch, Sosiologi Hukum (Jakarta: Bhratara, 1996).
  • Roscoe pound, Pengantar Filsafat Hukum, terj. Mohamad Radjab (Jakarta: PT. Bhratara Niaga Media, 1996).

Related Posts

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel