Eugen Ehrlich dan Pemikiran Aliran Sosiological Jurisprudence
Saturday, 23 July 2016
SUDUT HUKUM | Aliran Sosiological
Jurisprudence memiliki beberapa tokoh yang banyak menyumbangkan pemikira
tentang ilmu hukum sosiologis, akan tetapi yang akan dibahas dalam penelitian
ini hanya tiga tokoh. Pembatasan ini dilakukan agar penelitian ini tidak
terlalu luas dan menurut penulis ketiga tokoh tersebut mampu merepresentasikan
inti pemikiran dari aliran sosiological jurisprudence. Ketiga tokoh
tersebut adalah Eugen Ehrlich, Roscoe Pound, dan Benjamin N. Cordozo.
Eugen Ehrlich adalah seorang
ahli hukum yang lahir di Czernowitz sekarang dikenal dengan Chernivtsi Ukraina
pada 1862. Daerah Czernowitz dahulu dikenal sebagai bagian dari provinsi
Bukovina, kerajaan
Austo-Hungarian. Oleh sebab itu dia dapat dikatakan sebagai seorang
berkebangsaan Austria.
Masa kecilnya
turut memberikan pengalaman yang khas dalam pemikiran hukumnya. Budaya hukum
Bukovina diwarnai oleh hukum Austria dan kebiasaan setempat, telah meninggalkan
sebuah gugatan pemikiran terhadap Hans Kelsen yang mengenalkan adanya hirarki
norma hukum pada 1922.

Ehrlich mulai
dengan satu pertanyaan apakah supermasi hukum dari kekuasaan atau adat
kebiasaan. Dalam soal ini ia sangat sepaham dengan Savigny. Tetapi konsep
mistis mengenai Volksgeist yang ditafsirkan oleh aliran historis dalam
pengertian masa lampau, ia memasukkan gagasan yang realistis dan khas tentang
fakta-fakta hukum (Rechtstatsachen) dan hukum yang hidup di dalam
masyarakat. Ia juga memberi sumbangan yang penting terhadap metode hukum secara
sosiologis.
Ehrlich
bertolak dari ide masyarakat. Menurut pendapatnya masyarakat adalah ide umum
yang dapat digunakan untuk membedakan semua hubungan sosial, yakni keluarga,
desa, lembaga sosial, negara, bangsa, sistem ekonomi dunia dan sebagainya.
Dalam konteks ini hubungan sosial berarti, bahwa orang dikumpulkan dalam suatu
kesatuan yang lebih tinggi, yang berwibawa atas mereka. Ia juga memandang semua
hukum sebagai hukum sosial, dalam arti semua hubungan hukum ditandai oleh
faktor sosial-ekonomi. Sistem ekonomi yang digunakan dalam produksi, distribusi
dan konsumsi bersifat menentukan bagi pembentukan hukum.
Dari pandangan
tersbut tampak bahwa Ehrlich adalah pengikut naturalisme, yang memandang bahwa
semua gejala alam dilihat dari seperti benda-benda alam, dan hubungan antara
gejala-gejala itu dianggap bersifat alamiah.
Oleh karena itu Ehrlich menyangkal
sifat normatif hukum. hukum merupakan kenyataan saja, sama seperti gejala benda
dunia. Jadi norma-norma hukum berasal dari kenyataan, dan tidak melebihi
kenyataan itu. Kenyataan yang melahirkan hukum menyangkut hidup bermasyarakat,
hidup sosial.
Titik pokok
dalam pendekatan Ehrlich adalah bahwa ia meremehkan perbedaan-perbedaan antara
hukum dan norma-norma sesial lainnya yang bersifat memaksa. Menurutnya
perbedaan itu adalah nisbi dan lebih kecil dari apa yang biasanya dinyatakan,
karena sifat memaksa yang pokok di dalam hukum tidak berbeda dengan norma-norma
sosial lainnya, adalah paksaan sosial bukan kekuasaan negara. Kepatuhan suku
dan keluarga pada agama memberikan alasan-alasan untuk mentaati norma-norma
sosial, termasuk sebagian besar norma-norma hukum.
Banyak
norma-norma hukum yang tidak pernah diungkapkan dalam ketentuan-ketentuan
hukum, bahkan juga dalam sistem-sistem yang berkembang. Denga kata lain hukum
jauh lebih luas daripada peraturan-peraturan hukum. Negara hanya satu dari
banyak asosiasi-asosiasi hukum, asosiasi lain seperti keluarga, gereja, atau
badan korporasi dengan atau tanpa kepribadian hukum.
Dilain pihak
ada norma-norma hukum tertentu yang khas, yang bersifat memaksa seperti hukuman
atau pelaksanaan keputusan-keputusan perdata. Cara-cara paksaan yang khas ini
dikembangkan oleh negara pertama untuk menjamin tujuan-tujuan pokok sejak
semula, untuk menyusun organisasi militer, perpajakan dan administrasi
kepolisian.
Negara sebagai sumber hukum yang pokok, bagi Ehrlich secara
historis adalah perkembangan jauh kebelakang, dan negara bagi dia selamanya
adalah alat masyarakat.
Pada dasarnya
norma hukum selalu diambil dari fakta-fakta sosial yang ada dalam keyakinan
asosiasi rakyat. Perlindungan oleh negara dengan alat-alat paksaan yang khusus
adalah tidak perlu, juga kalau perlindungan itu diberikan. Badan yang
sebenarnya dari ketentuan – ketentuan hukum selalu didasarkan atas “fakta-fakta
hukum” sosial (Tatsachen des Rechts).
Fakta-fakta
hukum yang mendasari semua hukum adalah kebiasaan, dominasi, pemilikian, dan
pernyataan kemauan. Keempat faktor dari masing-masing melaksanakan
hubungan-hubungan hukum, atau melakukan pengawasan, menghalanginya atau tidak
memberlakukannya, atau melekat pada akibat-akibat hukum baginya daripada yang
langsung mengikutinya. Dalam seluruh badan norma-norma hukum, hanya suatu
kelompok tertentu yang disebut norma-norma keputusan (Entscheindungsnormen),
yang dibuat dan tergantung pada negara.
Norma-norma
keputusan ini merupakan bagian yang penting dari hukum resmi. Tetapi apakah
norma-norma itu berkembang menjadi norma hukum fundamental (Rechtssatz)
tergantung dari luasnya yang dibentuk oleh yurisprudensi pengadilan,
administrasi, legislatif atau ilmiah, dan berhasil menjadikannya sebagai bagian
hukum yang hidup.
Sedangkan para realis Amerika menempatkan keputusan
pengadilan pada pusat hukum seperti fungsinya dalam kehidupan, Ehrlich
menguranginya menjadi menjadi fungsi dengan bnyak batasan-batasan dalam
hubungannya dengan keseluruhan hukum yang hidup dalam masyarakat. Karena proses
pengadilan menunjukkan bahwa hukum adalah sebagai keadaan perang, bukan keadaan
damai, dan hanya sebagian kecil dari hukum menemukan jalannya ke pengadilan.
Ehrlich melihat bahwa sukar untuk menarik garis batas yang tegas antara
norma-norma hukum yang berbeda. Peraturan untuk menafsirkan merupakan hak para
ahli hukum, hak-hak istimewa yang dioberikan oleh undang-undang adalah suatu
hukum resmi. Tiap hukum dapat, tetapi tidak perlu menjadi hukum yang hidup.
Selain itu
Ehrlich juga ingin menunjukkan bahwa jurisprudensi yang diselenggarakan oleh
para ahli hukum adalah semata-mata suatu teknik yang bersifat relatif untuk
mencapai tujuan praktis. Sementara itu jurisprudensi tidak mampu memahami
apa-apa kecuali kulit yang paling luar dari kenyataan hukum yang efektif.
Kenyataan
bahwa jurisprudensi dogmatis-normatif bukanlah suatu ilmu, melainkan suatu
teknik yang dipakai untuk mencapai tujuan pengadilan yang bersifat sementara
waktu. Seperti telah diketahui bahwa asas-asas yang bersumber pada logika hukum
yang tidak berubah sesungguhnya hanyalah penyesuaian sejarah.
Ada tiga
postulat logika hukum yang bersifat dogmatis-normatif yang ingin dibantah oleh
Ehrlich : Pertama, keterikatan hakim pada dalil hukum abstrak yang
ditetapkan terlebih dahulu merupakan hasil absorbsi yang sengaja dari hukum
Romawi oleh sekelompok negara Eropa Daratan. Maka postulat ini tidak berlaku di
negara Anglo Saxon.
Di bawah lembaga yang sama sekali baru dan dalam berbagai
perkara yang harus di hadapi oleh hakim, postulat ini telah ditinggalkan. Kedua,
postulat semua hukum tergantung pada negara hanya diterima mengingat kebutuhan
negara monarki absolut, dan kemudian beralih ke dalam rezim republik. Ketiga,
kesatuan monistik dari hukum merupakan suatu teknik yang menguntungkan
sentralisasi yang berlebihan dari negara, suatu prosedur yang secara sadar
bersifat khayal dan berdasarkan rasionalisme dedutif. Postulat ini bertentangan
dengan kenyataan hukum yang hidup.
Ehrlich ingin
keluar dari logika hukum semacam ini kemudian beralih pada sosiologi hukum yang
bertugas untuk menyingkap simbolisme yang kasar dan untuk melukiskan peranannya
yang sah dengan memperlihatkan asalnya.
Pada dasarnya
hukum hukum bisa berupa hukum abstrak (rechtssatze) yang diselenggarakan
oleh negara, di bawah peraturan konkret yang digunakan untuk menyelesaikan
sengketa diantara individu dan kelompok, yang pada umumnya diselenggarakan oleh
hakim dan penasehat hukum. Ada pula hukum yang menguasai masyarakat sebagai
suatu tata tertib perdamaian ke dalam. Hukum ini yang digunakan sebagai dasar
untuk segala peraturan hukum dan karena jauh lebih obyektif daripada peraturan
manapun, dan merupakan tata tertib hukum langsung dari masyarakat.
Telaah tata tertib
ini merupakan tugas yang khas dari sosiologi hukum. dengan demikian tata tertib
ini dibedakan dengan tegas dari jurisprudensi, bukan saja karena metodenya yang
benar-benar obyektif berdasarkan pengamatan semata, tetapi juga karena sifat
dan wujud persoalannya. Para ahli hukum lebih pada kajian dan sistematisasi
lapisan pertama dari kenyataan hukum, yang merupakan permukaannya, sedangkan
ahli sosiologi hukum pertolah dari lapisan yang paling bawahdari kenyataan
hukum yaitu tata tertidb yang langsung dari masyarakat itu sendiri.
Dengan
demikian sosiologi hukum dengan jelas menciptakan tesis bahwa pusat
perkembangan hukum dalam zaman kita ini, sebagaimana halnya zaman yang lain,
tidak harus dicari dalam undang-undang, jurisprudensi atau, dalam doktrin,
lebih umum lagi dalam sistem peraturan manapun, melainkan dalam masyarakat itu
sendiri.
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa Ehrlich membedakan antara
hukum yang digunakan untuk menentukan keputusan-keputusan dan hukum sebagai
peraturan tingkah lakuyang dipakai oleh anggota masyarakat dalam hubungannya
satu sama lain. Dalam hubungan ini Ehrlich mengajukan konsep hukum yang hidup
yang masih sering dipakai sampai sekarang. Hukum yang demikian itu tidak dapat
ditemukan di dalam bahan-bahan hukum formal, melainkan diluarnya, di dalam
masyarakat sendiri.
Untuk melihat
hukum yang hidup, yang dipakai untuk menyelenggarakan proses-proses dalam
masyarakat, orang tidak dapat hanya memandang kepada bahan-bahan dan
dokumen-dokumen formal saja, melaikan perlu terjun sendiri ke dalam bidang
kehidupan yang senyatannya. Untuk mempelajari hukum perkawinan, orang perlu
terjun dalam kenyataan kehidupan perkawinan dan melihat bagaimana hukum
perkawinan formal diterima di situ, dalam arti seberapa jauh diikuti, dibentuk,
kembali, diabaikan dan ditambah-tambah.
Kekuatan
pengaruh Ehrlich terletak pada kemampuannya untuk mendorong para ahli hukum
mengabaikan cengkraman pemahaman hukum secara betul-betul abstrak, dan menarik
perhatian mereka kepada problem-problem kehidupan sosial yang nyata.
Rujukan:
- Antonius Cahyadi dan E. Fernando M. Manulang, Pengantar ke Filsafat hukum (Jakarta: Kencana, 2008),
- W. Friedmann, Teori dan Filsafat hukum; Idealisme Filosofis dan Problema keadilan, jilid II (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994),
- Theo Huijibers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah (Yogyakarta: Kanisius, 2001)
- Georges Gurvitch, Sosiologi Hukum (Jakarta: PT Bhatara Niaga Media, 1996),
- Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT Aditya Bhakti, 2006).