Pengertian dan Latar Belakang Munculnya Aliran Sosiological Jurisprudence
Saturday, 23 July 2016
SUDUT HUKUM | Sosiological Jurisprudence merupakan salah satu dari aliran filsafat hukum yang
mencoba memahami hakikat terdalam dari hukum. Tumbuhnya berbagai aliran
filsafat hukum tersebut merupakan hasil dari dialektika pemikiran hukum yang
tidak henti-hentinya dalam lapangan ilmu hukum. Apabila masa lalu, filsafat
hukum merupakan produk sampingan dari para filsuf, dewasa ini kedudukannya
tidak lagi demikian karena masalah-masalah filsafat hukum telah menjadi bahan
kajian tersendiri bagi para ahli hukum.
Aliran sosiological
jurisprudence dapat dikatakan sebagai salah satu aliran dari berbagai
pendekatan. Aliran ini tumbuh dan berkembang di amerika, dan dipelopori oleh
Roscoe Pound dengan karya-karyanya yang terkenal seperti Scope and Purpose
of sosiological jurisprudence (1912), Outline of Lectures on Jurisprudence
(1903), The Spirit of Common Law (1921), An Introduction to the
Philosophy of Law (1922), The Task of Law (1944), Interpretation
of Legal History (1923), dan lain-lain. Tokoh lainnya antara lain Benjamin
Cordozo dan Kantorowics.
Ajaran sosiological
jurisprudence dapat digolongkan aliran-aliran sosiologis di bidang hukum
yang dibenua eropa dipelopori oleh seorang ahli hukum bangsa Austria bernama
Eugen Ehrlich (1826-1922), yang pertama menulis tentang hukum dipandang dari
sudut sosiologis dengan judul Grundlegung der Soziologie des Recht, yang
diterjemahkan kedalam bahasa inggris oleh Walter L Moll : Fundamenstal
Prinsiples of the Sosiology of Law pada tahun 1936.
Sosiological
jurisprudence dalam
istilah lain disebut juga Functional anthropological (metode
fungsional). Penyebutan ini dilakukan untuk menghindari kerancuan antara sosiological
jurisprudence dan sosiologi hukum (the Sosiology of Law). Walaupun keduanya sama-sama membahas kajian tentang hukum,
akan tetapi memiliki perbedaan. sosiological jurisprudence merupakan
cabang dari filsafat hukum sedangkan sosiology of Law adalah cabang dari
sosiologi.
Selain itu
walaupun obyek kajian keduanya adalah hubungan timbal balik antara hukum dan
masyarakat, akan tetapi pendekatan yang digunakan berbeda. sosiological
jurisprudence menggunakan pendekatan hukum ke masyarakat, sedangkan sosiology
of Law menggunakan pendekatan dari masyarakat ke hukum.
Perbedaan yang
mencolok antara kedua hal tersebut adalah, bahwa sosiologi of law berusaha
menciptakan suatu ilmu mengenai kehidupan sosial sebagai suatu keseluruhan dan
pembahasannya meliputi bagian terbesar dari sosiologi secara umum dan ilmu
politik. Titik berat penyelidikannya terletak pada masyarakat dan hukum sebagai
suatu manifestasi semata, sedangkan sosiological jurisprudence menitikberatkan
pada hukum dan memandang masyarakat dalam hubungannya dengan hukum.
Sebagai salah
satu alira dari filsafat hukum, pemikiran sosiological jurisprudence tentang
hukum tidak muncul dari ruang hampa. Pemikiran aliran ini merupakan dialektika
dengan pemikiran-pemikiran sebelumnya yang mencoba menjawab hakikat hukum,
diantaranya adalah aliran hukum alam, positivisme hukum, utilitarianisme dan
mazhab sejarah. Untuk itu perlu dijelaskan inti pemikiran dari aliran-aliran
tersebut, agar dapat memberikan penjelasan tentang latar belakang pemikiran
aliran sosiological jurisprudence.
Ajaran hukum
alam atau disebut juga dengan hukum kodrat memberikan pengertian bahwa hukum
adalah hukum yang berlaku universal dan abadi, cita-cita dari hukum alam adalah
menemukan keadilan yang mutlak (absolute justice). Hukum alam ada yang
bersumber dari Tuhan (irasional), dan ada yang bersumber dari akal
manusia. Pemikiran hukum alam yang berasal dari Tuhan dikembangkan oleh para
pemikir skolastik pada abad pertengahan seperti Thomas aquino, Gratianus, John
Salisbury, Dante, Piere Dubois dan lain-lain. Sedangkan para pendasar dari
ajaran hukum alam yang bersumber dari akal manusia adalah Hugo De Groot,
Grotius, Christian Thomasius, Immanuel Kant, Fichte, Hegel, dan Rudolf Stammler.
Hukum alam
juga dapat dilihat sebagai metode atau sebagai substansi. Hukum alam sebagai
metode adalah yang tertua yang dapat dikenali sejak zaman yang kuno sekali,
sampai kepada permulaan abad pertengahan. Ia memusatkan dirinya pada usaha
untuk menciptakan peraturan-peraturan yang mampu untuk menghadapi keadaan yang
berbeda-beda. Dengan demikian ia tidak mengandung norma-norma sendiri,
melainkan hanya memberitahu tentang bagaimana membuat peraturan yang baik.
Hukum alam
sebagai substansi (isi) berisikan norma-norma. Peraturan-peraturan dapat
diciptakan dari asas-asas yang mutlak yang lazim dikenal sebagai peraturan
hak-hak asasi manusia. ciri hukum alam seperti ini merupakan ciri dari abad
ke-17 dan ke-18, untuk kemudian pada abad berikutnya digantikan oleh ajaran
positivisme hukum.
Berbeda dengan
hukum alam yang memandang penting hubungan antara hukum dan moral, aliran hukum
positif justru menganggap bahwa keduanya merupakan dua hal yang harus
dipisahkan. Di dalam aliran ini ada dua sub aliran yang terkenal yaitu aliran
hukum positif analitis yang dipopulerkan oleh John austin, dan aliran hukum
murni yang dipelopori oleh Hans Kelsen.
Menurut aliran
hukum positif analitis, hukum adalah a command of law givers11 (perintah dari pembentuk undang-undang atau penguasa),
yaitu suatu perintah dari mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang
memegang kedaulatan. Hukum dianggap sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan
bersifat tertutup (closed logical system). Hukum secara tegas dipisahkan
dari moral, dari hal yang berkaitan dengan keadilan, dan tidak didasarkan pada
pertimbangan atau penilaian baik dan buruk.
Menurut John
Austin ada empat unsur penting untuk dinamakan sebagai sebuah hukum, yaitu :
perintah, sanksi, kewajiban dan kedaulatan. Ketentuan-ketentuan
yang tidak mengandung keempat unsur tersebut bukanlah merupakan hukum positif
melainkan hanyalah sebagai moral positif. Keempat unsur itu kaitannya antara
satu denga lainnya dapat dijelaskan sebagai berikut: unsur perintah berarti
bahwa satu pihak menghendaki orang lain melakukan kehendaknya, pihak yang
diperintah akan mengalami penderiataan jika perintah itu tidak dijalankan atau
ditaati. Perintah itu merupakan pembedaan kewajiban terhadap yang diperintah,
dan yang terakhir ini dapat terlaksana jika yang memerintah itu adalah pihak
yang berdaulat.
Sedangkan
konsep hukum murni yang digagas oleh hans kelsen adalah sebagai berikut:
- Tujuan teori tentang hukum, sama seperti ilmu adalah untuk mengurangi kekalutan dan meningkatkan kesatuan (unity)
- Teori hukum adalah ilmu, bukan kehendak, keinginan. Ia adalah pengetahuan tentang hukum yang ada, bukan tentang hukum yang seharusnya ada.
- Ilmu hukum adalah normatif, bukan ilmu alam.
- Sabagai suatu teori tentang norma-norma, teori hukum tidak berurusan dengan persoalan efektifitas norma-norma hukum.
- Suatu teori tentang hukum adalah formal, suatu teori tentang cara pengaturan dari isi yang berubah-ubah menurut jalan atau pola kyang spesifik.
- Hubungan antara teori hukum dengan suatu sistem hukum positif tertentu adalah seperti hukum yang mungkin dan hukum yang ada.
Dari
dasar-dasar yang terinci tersebut di atas yang dikatakan sebagai hukum murni
adalah karena hukum harus dibersihkan dari anasir-anasir yang tidak yuridis,
yaitu anasir etis, sosiologis, politis, dan historis. Hukum itu adalah
sebagaimana adanya, yaitu terdapat dalam berbagai peraturan ada. Oleh karena
itu yang dipersoalkan bukanlah bagaimana hukum itu seharusnya melainkan apa
hukumnya.
Dari dasar di
atas dikatakan pula bahwa ilmu hukum adalah normatif. Ini berarti bahwa menurut
pandangan kelsen, hukum itu berada dalam dunia sollen, dan bukan dalam dunia
sein. Sifatnya adalah hipotesis, lahir karena kemauan dan akal manusia.
Aliran
berikutnya adalah Utilitarianisme, yaitu aliran yang meletakkan kemanfaatan
sebagai tujuan utama hukum. Kemanfaatan disini diartikan sebagai kebahagiaan (happiness).
Jadi baik buruk atau adil tidaknya suatu hukum, bergantung kepada apakah hukum
itu memberikan kebahagiaan kepada manusia atau tidak. Aliran ini sesungguhnya
dapat pula dimasukkan ke dalam positivisme hukum, mengingat faham ini pada
akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa tujuan hukum adalah menciptakan
ketertiban masyarakat, disamping untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya
kepada jumlah orang yang terbanyak. Ini berarti hukum merupakan pencerminan
perintah penguasa juga, bukan pencerminan dari rasio semata. Pendukung
utilitarianisme yang paling penting adalah Jeremy Betham, John Stuart Mill, dan
Rudolf von Jhering.
Aliran yang
menjadi penentang dari positivisme hukum adalah mazhab sejarah. Aliran ini
muncul karena reaksi terhadap tiga hal yaitu:
- Rasionalisme abad ke-18 yang didasarkan atas hukum alam, kekuatan akal, dan prinsip-prinsip dasar yang semuanya berperan pada filsafat hukum, dengan mengandalkan cara berpikir deduktif tanpa memperhatikan fakta sejarah, kekhususan, dan kondisi nasional.
- Semangat revolusi Perancis yang menentang wewenang tradisi dengan misi kosmopolitannya yaitu kepercayaan kepada rasio dan daya kekuatan tekad manusia untuk mengatasi lingkungannya, yaitu seruan ke segala penjuru dunia.
- Larangan terhadap hakim dalam menafsirkan undang-undang. Karena undang-undang dianggap dapat memecahkan semua masalah hukum. Code civil dinyatakan sebagai kehendak legislatif dan harus dianggap sebagai suatu sistem hukum yang harus disimpan dengan baik sebagai sesuatu yang suci karena berasal dari alasan-alasan yang murni.
Selain ketiga
alasan di atas mazhab sejarah juga timbul karena adanya kodifikasi hukum di
jerman yang diusulkan oleh Thibaut. Menurutnya hukum yang berdasarkan sejaran
itu sukar untuk diselidiki, sedangkan jumlah sumbernya bertambah banyak
sepanjang masa, sehingga hilanglah keseluruhan gambaran darinya. Karena itulah
harus diadakan perubahan yang tegas dengan jalan penyusunan undang-undang dalam
kitab.
Von Savigny
menganalogikan timbulnya hukum seperti timbulnya bahasa suatu bangsa.
Masing-masing bangsa memiliki ciri khusus dalam berbahasa. Hukumpun demikian,
karena tidak ada bahasa yang universal, tidak ada pula hukum yang universal.
Pandangan ini menolak pemikiran hukum alam yang menganggap hukum bersifat
universal.
Menurut
Savigny hukum timbul bukan karena perintah penguasa atau karean kebiasaan,
tetapi karena perasaan keadilan yang terletak di dalam jiwa bangsa (instinktif).
Jiwa bangsa (Volksgeist) itulah yang menjadi sumber hukum seperti yang
diungkapkannya, “Law is an expression of the common consciousness or spirit
of people”. Hukum tidak dibuat tetapi ia tumbuh dan berkembang bersama
masyarakat (Das recht wird nicht gemacht, es ist und wird dem volke).
Pendapat ini bertolak belakang dengan pandangan positivisme hukum.
Keberadaan
aliran-aliran di atas menjadi sebab timbulnya aliran sosiological
jurisprudence. Menurut aliran ini hukum yang baik adalah hukum yang sesuai
dengan hukum yang hidup dimasyarakat. Aliran ini memisahkan secara tegas antara hukum positif dan hukum yang hidup (the living law).
Aliran ini timbul dari proses dialektika antara thesis positivisme hukum, dan
antitesis mazhab sejarah. Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa
positivisme hukum memandang bahwa hukum adalah perintah yang diberikan oleh
penguasa (law is a command of lawgiver), sebaliknya mazhab sejarah
menyatakan hukum timbul dan berkembang bersama masyarakat. Aliran pertama
mementingkan akal sedangkan aliran yang kedua lebih mementingkan pengalaman,
sedangkan aliran sosiological jurisprudence menganggap keduanya sama
pentingnya.
Rujukan:
- Sukarno Aburarea, Filsafat Hukum Teori dan Praktik (Jakarta: Kencana, 2014).
- Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung: PT CITRA ADITYA BAKTI, 2006).
- Abdul Ghafur Anshori, Filsafat Hukum (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2009).
- Darji Darmodiharjo, Pokok-Pokok filsafat Hukum; Apa Dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia (Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 1996).
- Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum (Bandung: Mandar Maju, 2002).
- Lili Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum; Apakah Hukum itu? (Bandung: Remadja Karya, 1988).