Geneologi Pemikiran Sejarah Hasan Hanafi
Thursday, 4 August 2016
SUDUT HUKUM | Geneologi pemikiran sejarah Hasan Hanafi dapat kita lacak tatkala
ia berpendapat bahwa manusia menurut Socrates adalah ruh yang abadi tanpa
sejarah. Sedangkan menurut Plato sejarah adalah sejarah ‘astury” dan menurut Aristoteles
sejarah adalah alamiyah. Menurut Augustine sejarah adalah sejarah para malaikat
di langit dan sejarah nabi-nabi.
Sejarah baru menjadi “sebuah kesadaran” ketika
berada di Barat setelah masyarakat barat menghidupkan khazanah klasik pada abad
ke-14 serta setelah terjadi reformasi agama pada abad ke-15. Setelah itu
manusia menjadi pusat dari alam raya, hal ini ditandai dengan munculnya “humanisme”.
Pada abad ke-18 inilah muncul filsafat sejarah yang menyatakan bahwa manusia
pada asasnya telah sampai pada sebuah fase kematangan dan kesempurnaan, Manusia
tidak membutuhkan intervensi di luar dia seperti Tuhan, Nabi dan sihir. Setelah
itu filsafat sejarah mewujud dalam revolusi Perancis yang menjadi titik tolak
dari lahirnya filsafat pencerahan Barat.
Giambattista Vico (1667-1744) adalah tokoh sejarah yang sangat berpengaruh
dalam pemikiran sejarah Hasan Hanafi. Ia adalah pendiri filsafat sejarah sebelum filsafat sejarah
ditemukan oleh Montesque, Rousseou, Kant dan Marx. Pemikiran sejarah Vico
tertuang dalam karyanya tentang ilmu baru (New Science). Pemikirannya tersebut
tertuang dalam bukunya yang berjudul “Principle
of New Science of Giambattista Vico Concerning The Common Nature of The Nations”.
Ilmu baru yang menjadi icon intelektual Vico mempunyai sebuah pemahaman bahwa ilmu ini berusaha
menyingkap hukum-hukum alam terhadap perkembangan suatu bangsa dengan
mempelajari “thabi’ah”
atau karakter yang menyertai masyarakat tersebut yang terdapat dalam
aturan-aturan sosial, institusi agama dan institusi sekuler dalam sebuah
masyarakat dan bahwa “hukum” yang umum adalah bersifat universal dan serba
meliputi sehingga semua masyarakat terakomodir di dalamnya. Dalam hal ini Vico,-menurut Hasan Hanafi-
hendak membangun sebuah ilmu kemasayarakatan dan ilmu humaniora (‘ilman li al thabi’ah al insaniyah wa lil ‘alam al insany).
Dalam konteks hukum, Vico berpendapat bahwa ada dua hukum yang
harus dibedakan, yaitu hukum sipil (al qanun
al madany) dan hukum kemasyarakatan (al qanun li al sya’by). Hukum
sipil adalah berbeda di setiap tempat, daerah dan bangsa sesuai sistem politik
yang ada dalam suatu. masyarakat adapun hokum kemasyarakatan adalah hukum yang
umum dan universal yang merupakan ungkapan dari seluruh masyarakat. Hukum sipil ini biasa disebut sebagai
hukum adat dan hukum yang kedua merupakan kehendak si pembuat hukum. Prinsip hukum dalam perspektif sejarah ini
dipengaruhi oleh pendapatnya tentang evolusi perkembangan masyarakat. Menurut
Vico,sejarah manusia merupakan evolusi dari sejarah Tuhan, sejarah para Nabi
dan sejarah manusia itu sendiri.
Menurut Hasan Hanafi, tujuan dari studi historis bukan hanya untuk
mengetahui kejadian-kejadian masa lalu sebagaimana terjadi dalam historisisme
dan reduksionisme historis, juga bukan hanya dalam rangka mengungkap
kejadiankejadian dalam lintasan sejarah. Namun sejarah bermakna sebuah
tujuan,sebuah kesadaran kolektif yang berawal dari sebuah kesadaran individual.
Dengan demikian sejarah menghendaki sebuah kesadaran beserta asas-asasnya.
Bukan hanya sebuah penggambaran terhadap masa lalu, namun sebuah spirit dan ruh
sejarah. Tujuan dari studi sejarah adalah dalam rangka “menumbuhkan kesadaran
terhadap sejarah”.
Dalam rangka ini, tambahnya ada dua metode memahami sejarah
sebagai studi. Pertama adalah
membaca masa sekarang dengan masa lalu. Hal ini berarti menjadikan sebuah “proses
yang hidup” sebagai prinsip untuk memahami nash-nash yang historis.Kedua, membaca masa lalu dari masa sekarang.
Artinya menyingkap pembuktian -pembuktian historis pada masa sekarang.
Menurut Hasan Hanafi, sekarang ini umat Islam kehilangan sebuah “kesadaran
terhadap sejarah”. Yang berujung pada tiga pertanyaan. Pertama, apakah kesadaran kesejarahan telah hilang
dalam emosi kita ?, sedangkan kita adalah makhluk historis. ?Kedua, Mengapa kesadaran kesejarahan hilang dalam
tradisi klasik kita ? .Dan apakah hilangnya kesadaran tersebut dikarenakan
tidak adanya kesadaran kesejarahan pada masa sekarang ?. Ketiga, Mengapa dalam Islam tidak ada filsafat
sejarah yang memberi gambaran pemahaman tentang kemajuan dan fase-fase sejarah
serta lebih memberi prioritas kepada masa depan dari pada masa lalu ?.Dalam
rangka menjawab terhadap pertanyaan yang kedua, barangkali merupakan jawaban
atas pertanyaan yang pertama. Karena masa sekarang merupakan akumulasi dari
masa lalu. Dan apakah telah hilang kesadaran kesejarahan dalam tradisi klasik kita
? mengapa ?.
Dari sini bisa diambil kesimpulan bahwa hilangnya kesadaran kesejarahan
kita saat ini, menurut Hasan Hanafi, disebabkan karena hilangnya kesadaran kesejarahan
dalam tradisi klasik kita. Oleh karena itu usaha menemukan kembali kesadaran
kesejarahan dalam tradisi klasik kita merupakan hal yang penting untuk melakukan
pembangunan terhadap kesadaran kesejarahan masyarakat muslim saat ini.
Hasan Hanafi kembali menegaskan bahwa sebab utama dari hilangnya kesadaran
kesejarahan yaitu hilangnya emosi dan perspektif sejarah dalam artian sebagai
konsep “kemajuan”. Dalam tradisi klasik para sejarawan muslim telah membatasi
sejarah dalam artian sebagai masa atau tingkatan-tingkatan (thabaqat) baik yang disandarkan
kepada riwayat atau sifat hadis. Pada hal masa adalah rentang waktu yang tidak
dibatasi dengan berlangsungnya sebuah kesadaran sejarah. Demikian juga thabaqat adalah rentang dari
generasi yang tidak dibatasi dengan akumulasi sejarah sebuah generasi, ia juga
tidak mengintegrasikan sebuah kesadaran sejarah di dalamnya .
Pemikiran historis Hasan Hanafi direpresentasikan oleh dua hal
yang sangat berkaitan dan berhubungan antara satu dengan yang lain, yaitu “sejarah” dan “manusia”. Dua entitas ini menjadi faktor
yang berpengaruh dalam membentuk pemikiran historis Hasan Hanafi. Hal ini
memang tidak bisa diragukan lagi bahwa menafikan peran sejarah sangat berkaitan
dan mempunyai korelasi yang erat dengan penafian terhadap peran manusia. Karena
kedua hal ini sangat berhubungan antara satu dengan yang lain dan saling
mempengaruhi eksistensi antara keduanya .
Dalam konteks ini Hasan Hanafi berkata bahwa sejarah tidaklah
berkembang dalam peradaban Tuhan namun berkembang dalam peradaban manusia.
Dengan demikian adanya penanggulangan terhadap krisis kemanusiaan sesungguhnya
berkorelasi erat dengan adanya penanggulangan terhadap krisis sejarah.
Sesungguhnya dalam ilmu-ilmu Islam klasik telah mewujud sebuah
tampilan sejarah, namun belum mampu memberi kontribusi terhadap kesadaran
sejarah umat Islam, dalam artian sebagai sebuah kemajuan (perkembangan). Dalam
ilmu aqa’id misalnya
dalam hal konsep imamah,
sejarah telah mengalami distorsi dari konsep kenabian (nubuwah) menjadi khilafah dan akhirnya menjadi
kerajaan.Dari kelompok yang benar menjadi kelompok yang sesat serta dari
persatuan menjadi perpecahan. Dalam Ilmu tasawuf terlihat disana sebuah sejarah
dalam konsep Isra’ Mi’raj. Jalan sufi sebenarnya muncul dari atas namun kemudian mengalami
pembalikan, sufi menjadi proses dari bawah (manusia) ke atas (Tuhan). Demikian
juga dalam konsep Ilmu Hikmah.
Sedangkan dalam Ilmu Ushul Fiqh, menurut Hasan Hanafi sejarah
mewujud dalam konsep syar’ man qab lana sebagai salah satu sumber hukum Islam dan dalam konsep al bara’ah al ashliyah. Kemudian
terjadi perkembangan sejarah dari nash menjadi ijtihad manusia. Dari al Qur’an
dan Sunah menjadi Ijma’ dan Qiyas.
Demikian juga terlihat sejarah dalam dilalah nasikh mansukh dan dalam
proses perkembangan tasyri’ dan
dalam Ijma’ suatu masa yang tidak harus diikuti oleh generasi pada masa
sesudahnya. Namun sayang, bersamaan dengan proses ini kesadaran kesejarahan
tertutup dan ternaungi oleh suatu pentasyri’an yuridis yang tekstual dan istinbaty .
Rujukan:
Hasan Hanafi, Dirasat Falsafiyah, Kairo: Maktabah Anglo Mishriyah, 1988,Hasan Hanafi. Al Din wa al Saqafah wa al Siyasah fi al wathan al ‘araby , kairo: Dar al Quba’ li al thib’ah wa al Nasyr wa al tauzi’, tt.
Ali Mabruk, al Turas wa al Tajdid : Mulahazat Awwaliyah. dalam “ Jadal al Ana wa al Akhar: Qira’at Naqdiyah fi Fikr Hasan Hanafi ”, Ahmad Abdul Halim ‘Ithyah (Ed) , Kairo: Maktabah Madbuly Shaghir, Cet I, 1997.