Metode Istinbat Hukum Mazhab Malik
Sunday, 7 August 2016
SUDUT HUKUM | Sebagaimana
ditegaskan oleh Abū Sulaiman (ahli uşūl fiqih berkebangsaan
Arab Saudi), bahwa uşūl fiqih sebagai metode instinbat dalam pembentukan
hukum fiqih. Baru dibukukan sebagai satu disiplin ilmu pada periode
Syāfi’ī menjadi Mujtahid, itu berarti pada periode imam Malik ibn Anas
menjadi mujtahid uşūl fiqih baru ada dalam praktek, belum tersusun secara
sistematis dalam sebuah buku. Meskipun demikian dari karya-karya imam
Malik ibn Anas seperti al-Muwaţţa’ (kitab Hadit ) dan al Mudāwwanah al-Kubrā
(kitab fiqih), oleh murid-murid dan pengikutnya disimpulkan metode istinbatnya
secara sistematis. Seperti halnya menurut para pendiri madhab fiqih
lainnya.
Mengenai
metode istinbat hukum madhab Malik yang dijelaskan oleh al-Qādhi
Iyād dalam kitabnya “Al Madaarik dar ar-Rāšid, dan juga salah seorang
fuqaha Malikiyah dalam kitabnya al Bahjah yang disimpulkan oleh pengarang
kitab Tārih al-Madāhibil Islāmiyyah sebagai berikut:
وخلاصة ماذكره هذان العالمان وغيرهما أن منهاج إمام دار الهجرة انه يأخذ بكتاب الله تعالى أولا، فإن لم يجد فى كتاب الله تعالى نص اتجه إلى السنة ويدخل فى السنة.
عنده أحاديث رسول الله صلم، وفتاوي الصحابة وأقصيتهم وعمل أهل المدينة، ومن بعد السنة بشتى فروعها
يجرالقياس.
Artinya
: “kesimpulan apa yang telah
dikemukakan oleh kedua ‘ulama’ ini dan yang lainnya, bahwasannya metode ijtihad imam
Darul Hijriyah itu adalah : bahwa beliau pertama-tama
berpegang pada kitabullah, apabila beliau tidak mendapatkan sesuatu
naš di dalamnya maka beliau mencarinya di dalam sunnah, dan
menurut beliau masih termasuk kepada kategori sunnah perkataan
Rasulullah, fatwa-fatwa para sahabat, putusan hukum
mereka dan perbuatan penduduk Madinah, dan setelah sunnah dengan
berbagai cabangnya barulah datang (dipakai) qiyas.
Selanjutnya
di dalam kitab “al-Bahjah”, dasar-dasar madhab Malik tersebut
diuraikan secara rinci dan jelas sampai dengan 17 dasar pokok adalah sebagai
berikut:
- Nashul Kitab
- Dāhirul Kitab (umura)
- Dahlul jitab (mafhum muhalafah)
- Mafhum Muwafaqat
- Tanbihul Kitab, terhadap ilat.
- Naš-naš sunnah
- Dahirus Sunnah
- Dalilus Sunnah
- Mafhum Sunnah
- Tanbihus Sunnah
- Ijma’
- Qiyas
- ‘Amal Ahl al-Madinah
- Qaul Sahabat
- Istihsan
- Murā’atul Hilāf
- Saddu ad-dara’ī.
Walaupun
para ‘ulama’ Hadi Hadit yang ditemui oleh Malik ibn Anas termasuk
kelompok ‘ulama’ tradisional yang menolak pemakaian akal dalam kajian
hukum, namun pengaruh Rabi’ah dan Yahyā bin Sa’id tetap kuat pada corak
kajian fiqihnya.
Hal ini dapat dilihat pada metodologi kajian hukum madhab
Malik yang bersumber pada:
Al-Qur’an
Sebagaimana
Abū Hanifah, Malik menjadikan al-Qur’an sebagai suber
hukum yang pertama dan berada di atas yang lainnya, karena di dalam
al-Qur’an terdapat semua ketentuan hukum syara’ bagi orang-orang mukalaf
yang ditetapkan langsung oleh syar’i. Dalam posisinya sebagai sumber
hukum, al-Qur’an memaparkan ketentuan-ketentuan hukum yang sudah jelas dan
pasti.
Seperti ayat-ayat Muqadarah, dan ada pula yang perlu
penjelasan Rasulullah SAW Kemudian ketentuan-ketentuan hukumnya
itu juga dapat rujukan dalam kajian analogis, serta ada pula yang
memberikan legalitas terhadap pemakaian metode-metode kajian hukum
tertentu.
As-Sunnah
As-Sunnah
merupakan sumber hukum kedua setelah al-Qur’an, karena
fungsi utamanya adalah menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an yang mujmal,
kendati dalam beberapa hal, as-sunnah menetapkan hukum tersendiri
tanpa terkait pada al-Qur’an.
Dalam
pemakaian as-Sunnah ini, Malik ibn Anas lebih mengutamakan
sunnah mutawawtir, kemudian yang mashur, sedang Hadi Hadit-hadit
ahad akan ia tinggalkan seandainya bertentangan dengan tradisi
masyarakat Madinah. Tetapi seandainya tidak bertentangan dari norma-norma
adat masyarakat Madinah itu tidak memberikan jawaban apa-apa
terdapat persoalan-persoalan yang dihadapinya, maka akan digunakan
Hadit ahad sejauh ma’mul bih.
Tradisi Masyarakat Madinah
Tradisi
masyarakat Madinah adalah sejumlah norma adat yang ditaati
seluruh masyarakat kota itu. Oleh karena itu, tradisi tersebut sering disebut
sebagai kesepakatan (ijma’) masyarakat Madinah. Norma-norma tersebut
dianggap sebagai norma hukum Islam. Karena punya akar pada tradisi
sahabat di zaman Rasulullah SAW dan kemudian diwariskan pada generasi
berikutnya secara turun menurun. Menurut Malik ibn Anas tradisi
masyarakat Madinah lebih baik daripada Hadit ahad, sesuai dengan doktrin
Rabi’ah, bahwa “Seribu dari seribu lebih baik daripada satu dari satu”.
Fatwa Sahabat
Sebagaimana
Abū Hanifah, madhab Malik juga merujuk pada fatwa
sahabat, menurutnya, bahwa apa yang dikatakan sahabat Rasulullah SAW
dalam masalah keagamaan, itu adalah berasal dari Rasulullah SAW sehingga
secara sah dapat dijadikan dasar hujjah dalam menetapkan suatu
hukum.
Qiyas, Maşlahat al Mursalah dan ihtisan
Al Saddu al-darā’i.
Sedangkan
menurut Muhammad Hasbi ash-Shidieqy bahwasanya Malik ibn
Anas mendasarkan fatwanya kepada :
- Kitabullah
- Sunnah Rasul yang beliau pandang sahih.
- ‘Amal ahl al-Madinah.
- Qiyas
- Istihsan.
Dalam
kitab at-Ţabaqat, As-Subhi menerangkan dasar-dasar Malik ibn Anas
lebih dari 500 dasar, akan tetapi setelah diteliti satu persatu ternyata bahwa
As-Subhi mencapurkan antara Masadir istinbath (uşūl fiqih) dengan Qawa’id
fiqhiyah.
Menurut
As-Šaţibi dalam kitab al-Muwafaqat menyimpulkan dasar-dasar Malik
ibn Anas ada 4 yaitu;
- al-Kitab
- as-Sunnah
- al-Ijma’
- ar-Ra’yu
Qaul
sahabat dan ‘Amal ahl al-Madinah digolongkan dalam as-Sunnah, sedangkan
ar-Ra’yu meliputi, maslaha al-mursalah, saddu al-darā’i, adat (urf), istihsan
dan istishab.
Secara
garis besar dapat disimpulkan bahwa dasar-dasar madhab Malik yang
dijadikan pedoman di dalam menetapkan suatu hukum terhadap suatu permasalahan
yang timbul dalam masyarakat adalah :
- al-Qur’an
- as-Sunnah
- Ijma’ imam ‘ulama’
- Ijma’ ‘ulama’ Madinah
- Qiyas
- Fatwa Sahabat
- Maslahah al-Mursalah
- ‘Urf
- Saddu al-darā’i
- Istishab
- Istihsan