Hukum Mewakilkan Talak Menurut Pendapat Ibn Hazm
Saturday, 6 August 2016
SUDUT HUKUM | Islam
memberikan hak talak kepada laki-laki, banyaknya tugas yang
dibebankan pada laki-laki, seperti memberi nafkah kepada isterinya dan
mencukupi kebutuhan rumah tangga itu. Laki-laki itulah yang tadinya membayar
mahar serta segala kebutuhan dalam upacara perkawinan mereka.
Maka wajarlah kalau suami berhak mengakhiri kehidupan rumah tangga,
kalau memang dia bersedia menanggung kerugian materi dan moral
yang akan timbul dari keinginannya menjatuhkan talak itu.
Biasanya
laki-laki lebih sanggup mengendalikan emosinya, lebih mampu
untuk memikirkan akibat-akibat yang akan timbul di saat-saat ia marah.
Laki-laki tidak begitu saja menjatuhkan talak, kecuali kalau sudah betul-betul
merasa putus asa dari kemungkinan menciptakan kebahagiaan bersama
isterinya dalam keluarga.
Imam
Illaudin al-Kasani berpendapat bahwa talak adalah hak yang ditetapkan
berada di tangan laki-laki, laki-laki lebih sempurna akalnya dalam
menghadapi masalah yang timbul dalam rumah tangga dan lebih sabar
dalam menghadapi perangai isterinya.
Seperti
yang telah dijelaskan, bahwa talak merupakan hak laki-laki, karena
itu ia berhak mentalak sendiri isterinya, atau menyerahkannya kepada
isterinya atau menguasakannya kepada orang lain untuk menjatuhkan
talaknya tanpa mengurangi haknya untuk itu.
Sebagaimana
kaidah umum:
من ملك
تصرفا
يملك
أن
ينيب
غيره
فيه
Setiap orang memiliki tasharuf dari beberapa tasharuf ia dapat melakukannya sendiri atau menggantikannya kepada orang lain”.
Dalam
mempercayakan orang lain ada dua jalan yang bisa dilalui oleh
suami, yaitu lembaga taukil (perwakilan) dimana suami mewakilkan orang
lain untuk menjatuhkan talaknya atau melalui lembaga tafwidh.
Sayyid
Sabiq dalam kitabnya Fiqhus Sunah membedakan antara keduanya, yaitu
talak tafwidh adalah penyerahan yang dilakukan suami kepada isterinya
sendiri bukan kepada orang lain, sedangkan talak taukil ialah hak talak
yang dikuasakan kepada orang lain yang mana penguasaan itu tidak dapat
menggugurkan hak suami dan merintanginya untuk ia gunakan sewaktu-waktu
dikehendakinya.
Ulama
Jumhur sepakat bahwa mewakilkan talak adalah boleh. Seperti
ashabul qiyas dengan persangkaan dan penglihatan mereka bahwa setiap
orang itu mengetahui bahwa talak itu adalah suatu ucapan baik itu berupa
ucapan talak dhihar, lian dan ila’, dan mereka tidak berselisih pendapat
pada masalah tidak diperbolehkannya mengucapkan dhihar pada seseorang,
tidak juga ila’ dan tidak juga menjadikan seseorang wali atas orang
lain, tidak pada wakil dan tidak pada yang lainnya.
Sedangkan
ulama Dhahiriyah sebaliknya yaitu tidak membolehkan perwakilan
dalam talak maupun penyerahan hak atas talak (takwidh
ath thalaq).
Seperti halnya ulama dhahiriyah, Ibn Hazm juga menilai bahwa perwakilan
dalam talak tidak boleh dan tidak sah.
Beliau
berpendapat bahwa talak yang diwakilkan tidak diperbolehkan
dalam al-Qur'an dan sunnah Nabi dan ini dihukumi batal, berdasarkan
firman Allah:
Katakanlah: Apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah, padahal Dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu. Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sandiri, dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan.”(Q.S. al-An’am : 164)
Hal
tersebut diungkapkan dalam kitab beliau “al-Muhalla”, sebagai berikut
:
ولا تجوزالوآالة
فى
الطلاق
لان
الله
عزوجل
يقو
ل : (ولا
تكسب آل نفس
الا
عليها) فلا
يجوز
عمل
احد
عن
احد
الا
حيث
اجا
زه القرأن اوا
لسنة
الثا
بتة
عن
رسول
الله
ص.م. ولا
يجوز
آلام
احد عن آلام
غيره
الا
حيث
اجازه
القران
اوسنة
عن
رسول
الله
ص.م.
ولم يأن
فى
طلا
ق
احد
بتو
آيله
اياه
قران
ولا
سنة
فهو
با
طل
Tidak diperbolehkan mewakilkan seseorang pada masalah talak. Hal ini didasarkan pada firman Allah : ولا تكسب آل نفس الا عليها maka tidak diperbolehkan seseorang melakukannya pada orang lain terkecuali al-Qur'an/sunnah Rasulullah membolehkan juga mewakilkan perkataan seseorang kepada orang lain kecuali al-Qur'an dan sunnah memperbolehkannya dan tidak juga pada masalah talak seseorang pada orang lain dengan cara diwakilkan dan tidak diperbolehkan oleh al-Qur'an dan sunnah dan ini dihukumi batal”.
Ibn
Hazm berpendapat demikian berdasarkan bahwa mewakilkan talak
pada orang lain itu tidak boleh, karena hal ini mempunyai arti pemberian
hak milik. Sedang menurut hukum syara’ hak talak itu berada di
pihak laki-laki (suami). Oleh sebab itu tidak bisa seseorang merubah hukum
Allah, sebab tidak ada dalil yang menunjukkan kepada berlakunya perlakuan
dalam masalah talak, dan walaupun hak talak ini merupakan hak pribadi
tetapi apabila diwakilkan kepada orang lain, maka berarti telah melanggar
ketentuan Allah karena telah melampaui had-Nya, beliau menyandarkan
pendapatnya ini pada keumuman firman Allah :
Dan barang siapa yang melanggar ketentuan Allah maka ia termasuk orang yang dhalim.” (Q.S. al-Baqarah: 229)
Ibn
Hazm juga menyandarkan pendapatkan berdasarkan firman Allah:
Dan tidak bagi mu’min ( laki-laki ) dan mu’min (perempuan) ketika Allah dan Rasul-Nya memutuskan suatu perkara maka bagi mereka ( laki-laki dan perempuan mu’min ) mempunyai pilihan bagi pemecahan masalah mereka.” (Q.S. al-Ahzab: 36)
Maka
tidak ada pilihan bagi seseorang ketika ada perbedaan di dalam
penafsiran nash dan kita tidak mengetahui diperbolehkannya mewakilkan
seseorang ketika akan melakukan talak. Hal ini menurut ulama mutaqadimin bahwa
mewakilkan talak tidak diperbolehkan kecuali Ibrahim dan Hasan.
Metode Istinbath Hukum Ibn Hazm tentang Mewakilkan Talak
Dalam
beristinbath hukum Ibn Hazm menggunakan empat sumber
yaitu : al-Qur’an, sunnah Rasulullah saw, ijma’ dan dalil-dalil yang
tidak keluar dari nash itu sendiri. Namun dalam permasalahan mewakilkan
talak tidak ditemukan nash ataupun sunnah yang secara sharih
menerangkan tentang boleh atau tidaknya mewakilkan talak.
Maka
Ibn Hazm yang terkenal dengan ulama pendukung dzahiri yang tekstual
dalam memutuskan hukum berpendapat tidak membolehkan mewakilkan
talak.
Dalam
memandang masalah mewakilkan talak Ibn Hazm tidak terlepas
dari metode istinbath yang telah digariskan sendiri, yaitu ada dalam
al-Qur'an. Sebagaimana firman Allah SWT:
Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri”. (QS. Al-An’am : 164)
Dan
juga ayat:
Dan barang siapa yang melanggar ketentuan Allah maka termasuk orang-orang yang dhalim”. (Q.S. al-Baqarah: 229)
Ibn
Hazm menetapkan bahwasanya al-Qur’an adalah kalam Allah
semuanya itu jelas dan nyata bagi umat ini, maka barang siapa berhendak
mengetahui syariat-syariat Allah dia akan menemukannya terang
dan nyata diterangkan oleh al-Qur'an sendiri.
Ibn
Hazm mengambil zahir maka segala lafal al-Qur'an dipahami
zahirnya. Berdasar pada keterangan ini maka al-Qur'an dari segi
bayannya terbagi tiga bagian:
- Jelas dengan sendirinya, tidak memerlukan baying-bayangnya lagi baik dari al-Qur'an sendiri ataupun as-Sunnah.
- Mujmal, yang penjelasannya diterangkan oleh al-Qur'an itu sendiri.
- Mujmal, yang penjelasannya diterangkan oleh as-Sunnah.
Ringkasnya
pokok penjelasan bagi ayat al-Qur'an adakalanya terdapat
dalam al-Qur'an sendiri, adakalanya terdapat dalam as-sunnah adakalanya
terdapat dalam ijma’ yang bersendikan pada sunnah. Hanya saja
daya menanggapinyalah yang berbeda-beda. Ada ayat yang jelas bagi
semua manusia dan ada yang masing-masing manusia menanggapi menurut
kekuatan fahamnya.
Seperti
dalam ayat yang digunakan sebagai dasar ketidak bolehan
dalam mewakilkan talak merupakan dalalah ‘am, karena ayat tersebut
menerangkan secara umum ketentuan bagi orang yang merubah hukum
Allah. Ibn Hazm mengatakan bahwa dalalah ‘am adalah qath’iyyah
sedangkan Asyafi’i mengatakan dalalah ‘am adalah dzani.
Ibn
Hazm berpendapat bahwa ra’yu sama sekali tidak boleh dipakai
dalam menetapkan hukum agama, maka dia menutup pintu istinbath
dengan jalan qiyas, istihsan, masalahah mursalah, saddud
dzara’i,
dan menyumbat usaha mencari illat-illat hukum daripada nash. Dia
hanya menggunakan nash secara zahir. Asas Ibn hazm dalam menolak
segala sumber tasyri’ yang lain dari al-Qur'an, as-Sunnah dan ijma’
ialah menolak ar-ra’yu.
Di
dalam menolak ar-Ra’yu Ibn Hazm berkata :
لايحل لأحد الحكم بالرأي
Tidak halal bagi seseorang menetapkan hukum dengan dasar ijtihad saja”.
Dari
uraian tersebut Ibn Hazm melarang adanya mewakilkan talak karena tidak adanya
nash yang membolehkan dan melarang mewakilkan talak. Maka Ibn Hazm menggunakan
metode istinbath hukum al-Qur'an secara zahir Karena lafal umum harus diambil umumnya,
sebab itulah yang zahir, terkecuali ada keterangan bahwa yang dimaksudkan
adalah bukan yang zahir.
Jadi
metode istinbath hukum yang digunakan sebagai dasar ketidak bolehan mewakilkan
talak adalah mengambil makna zahir dari al-Qur'an, tidak melihat illat dan
tidak mentakwilkan hukum.
Rujukan:
- Illauddin al-Kasani, Al-Bada’i, Juz III, Dar al-Fikr, t.th.
- Muhammad Ibrahim al-Hafnawi, Al-Mansu’ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah al- Thalaq, t.th.
- Ahmad al-Ghundur, Al-Talak fi Syar’iyah al-Islam wa al-Qanun bi has Muqaran, Juz I, Indonesia: Daar al-Ma’arif bi Makr, 1967,
- Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Semarang: Toha Putra, 1989,
- Ibnu Hazm, Al-Muhalla, Juz X, Dar al-Fikr, t.th.
- Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid II, Dar al-Fath lil I’lami al-Arabi, 1990,