Pendapat Ulama tentang Jual Beli Benda-benda Najis
Thursday, 11 August 2016
SUDUT HUKUM | Banyak
para Fuqaha yang mengupas secara luas mengenai makanan yang halal
dan haram baik untuk dimakan, dijualbelikan ataupun hanya diambil manfaatnya
saja. Al-Qur’an dan al-Hadits adalah kitab pokok yang dijadikan dasar dalam
setiap pandangan mereka. Namun seperti yang kita ketahui bahwa kedua nash
tersebut hanya memuat secara global tentang suatu ketentuan hukum.
Oleh karena
itu para Fuqaha’ melakukan ijtihad tentang hal-hal yang hanya tersirat dalam nash
tersebut. Seperti halnya benda yang najis yang diperjualbelikan. Apakah keharaman
suatu benda untuk dimakan juga dapat berimbas pada keharaman untuk diperjualbelikannya
benda tersebut. Sedangkan keharaman benda untuk dimakan dapat
dilihat pula dari “menjijikan” atau tidak. Kita mengetahui bahwa menjijikkan itu
bersifat sangat relatif. Menjijikkan bagi seseorang bukan berarti menjijikkan pula
bagi orang lain. Pada
dasarnya banyak Fuqaha’ yang tidak membolehkan jual beli bendabenda najis,
namun tidak sedikit pula pendapat yang memperbolehkannya.
Adapun
yang memperbolehkan, diantaranya adalah golongan Hanafiyah. Dalam
Kitab Al-Fiqh ‘ala Madzahib
al-Arba’ah, Abdurahhman al-Jazairi menyebutkan
bahwa jual beli barang najis diperbolehkan seperti halnya hewan liar dan
berbahaya. Karena setiap sesuatu yang bisa diambil manfaatnya maka berhukum
halal menurut syara’ dan bila menjualnyapun diperbolehkan.
Dr.Wahbah Az-Zuhaily dalam kitabnya Al-FiqhAl-Islami wa ‘Adilatuhu juga mengatakan bahwa jual beli benda najis diperbolehkan dengan alasan yang sama. Hal tersebut dengan dasar Allah menciptakan segala sesuatu di bumi untuk memberi manfaat pada manusia.
Dr.Wahbah Az-Zuhaily dalam kitabnya Al-FiqhAl-Islami wa ‘Adilatuhu juga mengatakan bahwa jual beli benda najis diperbolehkan dengan alasan yang sama. Hal tersebut dengan dasar Allah menciptakan segala sesuatu di bumi untuk memberi manfaat pada manusia.
Adapun
pendapat yang tidak memperbolehkan jual beli barang najis adalah dari
golongan selain Hanafiyah yaitu Syafi’iyah, Malikiyah dan Hambaliyah. Ketiganya
menyatakan bahwa benda yang diperjualbelikan harus suci karena sesungguhnya
penjualan yang diperbolehkan harus disertai dengan kesucian. Maka setiap
sesuatu yang suci, syara’pun memperbolehkan untuk menjualnya. Adapun barang
najis atau yang terkena najis maka dihukumi batal untuk menjualnya (tidak sah),
seperti anjing. Ibnu
Rusyd mengatakan bahwa benda najis itu termasuk dalam benda yang tidak
diperbolehkan untuk diperjualbelikan.
SayyidSabiq dalam kitabnya Fiqh as-Sunnah juga menjelaskan tentang hal ini.
Dapat disimpulkan bahwa beliau berpendapat bahwa barang yang najis tidak boleh
dijualbelikan tetapi diperbolehkan diambil manfaatnya dengan tanpa adanya transaksi-transaksi
jual beli. Contohnya adalah kotoran hewan, seseorang boleh memberikannya
kepada orang lain untuk diambil manfaatnya dengan imbalan (uang)
sebagai biaya pemeliharaan atau pencarian barang.
Pada
dasarnya boleh tidaknya jual beli terhadap suatu benda tergantung pada
sifat-sifatnya. Apabila benda tersebut dianggap baik dan wajar maka diperbolehkan
untuk menjualnya. Ahmad Mustafa al-Maraghi mengemukakan bahwa
: “Dihalalkan bagi mereka yang baik dan diharamkan bagi mereka segala yang
menjijikkan. Yang dimaksud dengan menghalalkan yang baik-baik adalah semua
makanan yang dianggap baik oleh perasaan yang wajar dan mengandung gizi
yang bermanfaat dan beliau mengharamkan segala yang dianggap kotor oleh perasaan
manusia”.
Rujukan:
- Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Juz. III, Semarang : Asy-Syifa’, 1990,
- Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Juz VII, Beirut : Dar al-Fikr, t.th.