Pendapat Ulama’ tentang Penentuan Awal bulan Kamariyah
Thursday, 18 August 2016
SUDUT HUKUM | Pendapat Ulama’ tentang Penentuan Awal bulan Kamariyah
bercerita kepada kami Adam, bercerita kepada kami Muhammad bin Ziyad, ia berkata : aku mendengar Abu Hurairah RA berkata : bersabda Nabi SAW : “berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah kalian karena melihat hilal,, dan apabila mendung maka sempurnakanlah Bulan Syakban menjadi 30 hari. (HR. Al-Bukhari).
Fiqih penentuan awal bulan
Kamariyah berawal dari berbedanya pemahaman terhadap hadits diatas.
Dan hal inilah yang menjadi akar lahirnya mazhab-mazhab dalam penentuan
awal bulan Kamariyah. Hadits diatas dapat kita jadikan
sebagai patokan untuk menentuakan awal bulan Kamariyah. Oleh karena
itu apabila hadits diatas dipahami dengan pemahamn yang berbeda-beda, maka
wajar apabila masing-masing pemahaman melahirkan metode yang
berbeda pula.
Dalam hadits diatas digunakan
kata kerja perintah (fi'il amar) “ صىمىا “ yang artinya “ berpuasalah” dan
kata “ وافطروا “ yang artinya “ berbukalah atau berlebaranlah” dan indikasi
(qarinah)-nya “ لرؤ يته “ (karena melihat Bulan).
Dalam kajian ushul fiqh “ Melihat
Bulan “ disini disebut sebab. dan kata صىمىا dan اوافطرو ini ditujukan untuk masyarakat banyak74. Para ulma sepakat bahwa perintah tersebut
menunjukan suatu kewajiban. Hal ini sesuai dengan kaidah :
Ashal dari perintah itu adalah wajib”
Hemat penulis bahwa perintah
dalam hadits diatas adalah ditujukan kepada seluruh umat islam di
dunia, akan tetapi perintah rukyah atau melihat hilalnya tidak diwajibkan kepada
semua orang.
Ibnu Hajar Asqalani mengatakan
bahwa Rasulullah SAW itu tidaklah mewajibkan rukyah untuk setiap
orang yang hendak melaksanakan ibadah puasa. Akan tetapi hanyalah
ditujukan kepada salah seorang atau sebagian orang yang dianggap mampu
melaksakannya. Demikian pendapat menurut Jumhur Ulama. Dan pendapat lain
juga mengatakan bahwa dengan dua orang yang adil.
Al-San'ani mengatakan, bahwa
menurut lahiriyah hadits tersebut mengisyaratkan rukyah adalah
untuk semua orang. Akan tetapi apabila sudah ditetapkan bahwa ijtima telah
terjadi dan menentukan bahwa rukyah cukup dicapai oleh seorang atau dua
orang yang adil. Annawawi
juga menerangkan bahwa rukyah itu cukup dicapai
oleh dua orang yang adil ditara kaum muslimin tidak diisyaratkan
setiap orang harus melakukan rukyah.
Acuan dalam menentukan waktu
dalam islam terutama dalam penentuan awal bulan Kamariyah
adalah hilal. Hilal dijelaskan dalam Alqur' an sebagai berikut:
Mereka bertanya kepadamu tentang Bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung”. (QS. Al- Baqoroh:189)
Dalam memahami ayat diatas,
diantaranya ada dua pendapat ulama yang dapat diambil, yaitu:
1. Imam Ibnu Katsir Rahimahullah
Imam ibnu Katsir mengatakan bahwa
ayat tersebut menjadi sebuah ketetapan agama dalam mengetahui
waktu „iddah bagi wanita-wanita waktu haji mereka.
2. Syaikh Islam Ibnu Taimiyah
Rahimahullah
Menurut Syaikh Islam Ibnu
Taimiyah bahwa Allah telah menciptakan hilal sebagai tanda
waktu bagi manusia pada hukum-hukum yang ditetapkan dengan syari'ah
seperti puasa, haji, masa iddah, dan kafarat puasa.
Di lain pihak bahwa Ibnu Taimiyah
mengatakan bahwa tandatanda waktu bagi manusia itu dibatasi
dengan sesuatu yang tampak dan jelas. Bermula dari sini kemudian
orang mengatakan bahwa dalam menentukan awal bulan Ramadhan
harus berpegang teguh pada Rukyah hilal, dan bukan pada hisab. Seperti yang sudah disinggung di
pembahasan sebelumnya, bahwa permasalahan yang lain dalam
Mazhab rukyah ini adalah permasalahan tentang mathla'.
Menurut Imam Hanafi dan Maliki
penanggalan Kamariah harus sama di dalam satu wilayah hukum
suatu negara. Menurut Imam Hambali, kesamaan tanggal
Kamariah ini harus berlaku di seluruh dunia di bagian malam dan siang yang
sama. Sedangkan menurut Imam Syafi'i, penanggalan Kamariah ini hanya
berlaku di tempat-tempat yang berdekatan sejauh jarak yang
dikatakan satu mathla'. Dalam prakteknya batas mathla' ini tidak jelas,
sehingga muncul Wilayat al-Hukmi.
Indonesia menganut prinsip
wilayat al-hukmi yakni bahwa bila hilal terlihat di manapun dalam
wilayah wawasan nusantara, maka dianggap berlaku di seluruh
wilayah Indonesia. Meskipun wilayah Indonesia dilewati oleh garis
penanggalan Islam Internasional yang secara teknis berarti bahwa wilayah
Indonesia terbagi atas dua bagian yang mempunyai tanggal Hijriah yang
berbeda, maka seluruh umat Islam di Indonesia melaksanakan ibadah
puasa dan berhari raya secara serentak.
Selain pendapat diatas, ada dua
pendapat lain sebagi berikut:
a. Syaikh Abdul Aziz bin Baz
Rahimahullah
Mengatakan bahwa apabila
seseorang di Saudi Arabiyah atau di negara lain memulai puasanya
lebih dahulu dari pada negara yang akan dikunjungi, kemudian sisanya
berpuasa di negara yang akan dikunjunginya tersebut, maka ia
harus berbuka bersama penduduk negara tersebut, meskipun lebih
satu hari. Kemudian beliau mengatakan bahwa
apabila seseorang berpuasa kurang dari 29 hari karena
bersafar, maka hendaklah bias menyempurnakannya. Hal ini karena
Bulan tidak ada yang kurang dari 29 hari.
b. Fatwa Syaikh Shalih Al-Fauzan
Hafizhahullah
Mengatakan pendapat yang senada
dengan pendapat syaikh Abdul bin Baz, yaitu setiap
muslim berpuasa dan berbuka bersama kaum muslimin di negaranya.
Hendaknya kaum muslimin memperhatikan hilal di Negara
tempat tinggal mereka, hal ini karena mathla' tersebut berbeda pada
masing-masing negara.
c. Syaikh Muhammad Arsyad
al_banjari
Mengatakan bahwa apabila seorang
dari penduduk negeri yang melihat hilal pergi ke negeri
yang tidak melihat hilal dan kedua negeri itu berbeda mathla'nya, maka
wajiblah mengikuti mereka dalam berpuasa pada akhir Bulan
sekalipun puasa mereka sudah cukup 30 hari. Hal ini karena dia
berpindah ke negeri mereka maka ia menjadi salah seorang penduduknya. Dan
begitu juga sebaliknya apabila seorang dari penduduk negeri yang
tidak melihat hilal berpindah ke negeri yang melihat hilal, dan
antara kedua negara tersebut berbeda mathla' maka wajiblah bagi mereka
mengikuti berbuka menurut negeri yang kedua. Akan tetapi apabila
puasanya masih 28 maka dia wajib mengqadha puasanya sebanyak satu
hari, karena bulan tidak ada yang berjumlah kurang dari 29 hari.
Dari pendapat para ulama diatas
dapat disimpulkan bahwa kata صىمىا hanya diperuntukkan bagi kaum muslimin yang mathla'nya adalah sama.
Rujukan:
- Abu Yusuf al-Atsari , Pilih Hisab atau Rukyah, Solo: Darul Muslim, 135, dikutip dari kitab , Fatwa Ramadhan, juz I,.
- Abi Ishaq Ibrohim ibn Musa al-Gharnathy al-Syatiby, al-Muwafaqaqat fi Ushul al- Ahkam , juz II , Beirut :Daar al-Fikr, 1341 H.
- Abdul Hamid Hakim , Mabadiul Awaliyah fi Ushulul Fiqh wal Qowaaidul Fiqhiyah, Jakarta: Sa'adiyah Putra,.
- Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathu al-Bari Syarh Sahih Bukhori , cet I, juz IV, Beirut: Dar al-Fikr, 1998.