Pengertian Bank Syariah
Monday, 15 August 2016
SUDUT HUKUM | Istilah bank telah menjadi
istilah umum yang banyak dipakai di masyarakat dewasa ini. Kata Bank berasal
dari kata banque dalam bahasa Prancis, dan dari banco dalam bahasa italia, yang
dapat berarti peti/lemari atau bangku. Konotasi kedua kata ini menjelaskan dua fungsi dasar
yang ditujnjukkan oleh bank komersial. Kata peti atau lemari menyiratkan fungsi
sebagai tempat menyimpan benda-benda berharga, seperti peti emas, peti berlian,
peti uang, dan sebagainya. Istilah perbankan di dalam Al-Qur’an tidak
disebutkan secara eksplisit tetapi yang dimaksud adalah sesuatu yang memiliki
unsur-unsur seperti struktur, manajemen, fungsi, hak dan kewajiban maka semua
itu disebutkan dengan jelas, seperti zakat, sadaqah, ghanimah (rampasan
perang), bai’ (jual beli), dayn (utang dagang, maal (harta dan sebagainya, yang
memiliki fungsi yang dilaksanakan oleh pihak tertentu dalam kegiatan ekonomi.
Dalam Peraturan Bank Indonesia,
yang dimaksud dengan Bank adalah Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998. termasuk kantor cabang bank asing. Sedangkan yang dimaksud
dengan Bank Syari’ah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan
Prinsip Syari’ah dan menurut jenisnya terdiri atas BUS dan BPRS (Pasal 1 angka
7 UU Perbankan Syari’ah).
UU perbankan
syariah sangat diperlukan karena beberapa alasan, yaitu: pertama, sejalan
dengan tujuan pembangunan nasional Indonesia untuk mencapai terciptanya
masyarakat adil dan makmur berdasarkan demokrasi ekonomi, perlu dikembangkan
sistem ekonomi yang berlandaskan pada nilai keadilan, kebersamaan, pemerataan,
dan kemanfaatan. Perbankan syari’ah merupakan satu-satunya institusi yang
paling tepat untuk menerjemahkan tujuan pembangunan nasional diatas dalam kehidupan
yang nyata.
Kedua, bahwa kebutuhan masyarakat
Indonesia akan jasa-jasa perbankan syari’ah semakin meningkat, seiring dengan
kesadaran masyarakat muslim dan bahkan non muslim bahwa jasa-jasa perbankan
syari’ah lebih sesuai dengan kebutuhan riil masyarakat. Kebutuhan masyarakat
terhadap perbankan syari’ah semakin meningkat manakala kita melihat bahwa
sebagian besar dari mereka adalah pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) sistem
yang cocok untuk mengembangkan UMKM adalah sistem bagi hasil dan bagi resiko
yang biasa dilaksanakan oleh perbankan syari’ah.
Ketiga, bahwa perbankan syari’ah memiliki
kekhususan dibandingkan dengan perbankan konvensional sehingga memerlukan
pengaturan yang khusus. Kekhususan itu, seperti fokus pada sektor riil atau
keterlibatan banyak untuk hal-hal yang halal, sangat diperlukan untuk memajukan
Indonesia. Pegerakan sektor riil dibutuhkan untuk mengatasi masalah kemiskinan
dan pengangguran.
Keempat, bahwa peraturan mengenai perbankan
syari’ah didalam UU No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan sebagaimana telah diubah
dengan UU No. 10 Tahun 1998 tentang perbankan belum spesifik sehigga perlu
diatur secara khusus dalam suatu undang-undang tersendiri.
Kelima, perbankan syari’ah sebagai salah satu
sistem perbankan nasional memerlukan berbagai sarana pendukung agar dapat
memberikan kontribuksi yang maksimum bagi pengembangan ekonomi maksimum. Salah
satu sarana pendukung vital adalah adanya pengaturan yang memadai dan sesuai
dengan karakteristik perbankan syari’ah. Meskipun itu, pembentukan UU perbankan
syari’ah menjadi kebutuhan dan keniscayaan bagi berkembangnya lembaga tersebut.
Sebelum
undang-undang perbankan syari’ah disahkan, posisi perbankan syari’ah
diindonesia cukup mengambang, meskipun didukung oleh konstitusi, namun tidak
diatur dalam peraturan undang-undang yang ada dibawahnya. Akhirnya, perbankan
syari’ah berjalan sesuai dengan kreatifitas pendukung dan pejuang perbankan
syari’ah dengan segala macam. Rancangan undang-undang perbankan syari’ah
sebenarnya suda sejak tiga tahun lalu di bahas DPR, namun baru disahkan pada 17
Juni 2008 lalu. Sebagai undang-undang yang khusus mengatur perbankan syari’ah,
dalam undang-undang ini diatur mengenai masalah kepatuhan syari’ah yang
kewenangannya berada pada majelis ulama Indonesia (MUI) yang di reperentasikan
melalui Dewan Pengawas Syari’ah (DPS) yang harus dibentuk pada masing-masing
bank syariah.
Berdasarkan
pendapat di atas maka Bank Syariah adalah Bank yang aktivitasnya dan
pengelolaannya menanggalkan sistem bunga yang merupakan suatu riba. Bank
Syariah bisa juga disebut sebagai Bank Islam atau Bank muamalah adalah lembaga
keuangan atau perbankan dimana kegiatan utamanya memberikan kredit dan
jasa-jasa perbankan pada umumnya serta peredaran uang yang pengoperasiannya sesuai
dengan prinsip-prinsip Syariah Islam yang berlandaskan Al-Qur’an dan Hadist.
Jadi dengan adanya Bank Syari”ah maka akan tercipta suatu sistem bermuamalat
secara Islam yaang mengacu kepada ketentuan Al-Qur’an dan Hadist. Sistem ini
dimaksudkan untuk mencapai suatu mamfaat yang tidak hanya mamfaat duniawi tapi
juga mamfaat akhirat.
Riba
diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda. Para
ahli tafsir berpendapat bahwa pengambilan bunga dengan tingkat yang cukup
tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktekkan. Allah berfirman dalam surat
Al-Imran ayat 130 : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya
kamu mendapat keberuntungan”.
Rujukan:
- Zainul Arifin, Dasar-dasar Manajemen Bank Syari‟ah, jilid 4, Jakarta: Pustaka Alvabet, 2006,
- Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari”ah Deskripsi dan Ilustrasi. Yogyakarta: EKONISIA, 2008,
- Khotibul Umam, Bank Umum Syariah, Yogyakarta: BPFE, edisi 1, 2009,
- Zubairi Hasan, Undang-Undang Perbankan Syari‟ah, Jakarta: Rajawali Pers, 2009.
- Zubairi Hasan, Undang-undang Perbankan Syari‟ah, Jakarta: Rajawali Pers, 2009.