Pengertian dan Dasar Hukum Remisi Menurut Hukum Pidana Islam
Sunday, 21 August 2016
SUDUT HUKUM | Kata remisi berasal dari bahasa
Inggris yaitu remission. Re yang berarti kembali dan mission yang
berarti mengirim, mengutus. Remisi diartikan pengampunan atau pengurangan
hukuman. Dari pengertian tersebut, Remisi merupakan kata serapan yang
diambil dari bahasa asing yang kemudian digunakan dalam pengistilahan
hukum di Indonesia. Sebagaimana Remisi menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia adalah pengurangan hukuman yang diberikan kepada orang yang
terhukum.[1] Selain itu
menurut kamus hukum karya Soedarsono, remisi mempunyai arti
pengampunan hukuman yang diberikan kepada seseorang yang dijatuhi
hukuman pidana.[2]
Dalam istilah Arab memang tidak
dijumpai pengertian yang pasti mengenai kata remisi, tetapi ada beberapa
istilah yang hampir sepadan dengan makna remisi itu sendiri, yaitu al-Afu’ (maaf,
ampunan), ghafar (ampunan), rukhsah (keringanan), syafa’at (pertolongan),
tahfif (pengurangan). Selain itu menurut Sayid Sabiq memaafkan disebut
juga dengan Al-Qawdu’ “menggiring” atau memaafkan yang ada halnya dengan diyat
atau rekonsiliasi tanpa diyat walau melebihinya.[3]
Dalam hukum
pidana Islam istilah yang sering digunakan dan memiliki makna hampir menyerupai
istilah remisi adalah tahfiful uqubah (peringanan hukuman). Dalam
Ensiklopedi Hukum Pidana Islam peringanan atau pengampunan hukuman merupakan
salah satu sebab pengurungan (pembatalan) hukuman, baik diberikan oleh korban,
walinya, maupun penguasa.[4]
Dasar Hukum Remisi dalam Hukum Pidana Islam
Dasar pengampunan hukuman yang
menjadi hak korban/walinya terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadis. Dasar
dari Al-Qur’an adalah firman Allah SWT dalam surat Al Baqaarah ayat 178
yaitu:
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diyat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih.”
Adapun sebab diturunkannya ayat
ini adalah riwayat yang berasal dari Qatadah yang menceritakan bahwa
penduduk jahiliyah suka melakukan penganiayaan dan tunduk kepada
setan. Jika terjadi permusuhan di antara mereka maka budak mereka akan membunuh
budak orang yang dimusuhinya. Mereka juga sering mengatakan , “ kami
hanya akan membunuh orang merdeka sebagai ganti dari budak itu.” Sebagai
ungkapan bahwa mereka lebih mulia dari suku lain.
Seandainya seorang wanita dari
mereka membunuh wanita lainnya, merekapun berkata, “ kami hanya akan
membunuh seorang lelaki sebagai ganti wanita tersebut”, maka Allah menurunkan
firman-Nya yang berbunyi ” Orang merdeka dengan orang
merdeka , hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita.” [5]
Diriwayatkan juga dari Said bin
Jubair rahimahullah bahwa sesaat sebelum Islam datang, bangsa Arab
Jahiliyah terbiasa membunuh. Terjadi pembunuhan dan saling melukai diantara
mereka hingga merekapun membunuh budak dan kaum wanita. Mereka tidak
menerapkan qishas dalam pembunuhan tersebut hingga mereka masuk Islam, bahkan
salah seorang dari mereka melampaui batas dengan melakukan permusuhan dan
mengambil harta orang lain. Mereka juga bersumpah untuk tidak merelakan
sampai dapat membunuh orang yang merdeka sebagai ganti budak yang
terbunuh, dan membunuh seorang laki-laki sebagai ganti dari wanita yang terbunuh,
maka Allah menurunkan firman-Nya, ” Hai orang-orang yang beriman,
diwajibbkan atas kamu Qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.”[6]
Selain mewajibkan Qishash , Islam
juga lebih menganjurkan pemberian maaf, dan mengatur tata cara (
hududnya ), sehingga sikap pemberian maaf ini terasa sangat adil dan muncul
setelah penetapan Qishash . Anjuran pemberian maaf ini bertujuan untuk mencapai
kemuliaan , bukan suatu keharusan , sehingga bertentangan dengan naluri
manusia dan membebani manusia dengan hal-hal di luar kemampuan mereka. Allah SWT
berfirman,
Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diyat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula)”.
Selain itu terdapat juga dalam
surat Al Maaidah ayat 45:
Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (Q.S. al- Ma’idah: 45)
Ayat ini menekankan bahwa
ketetapan hukum diyat tersebut ditetapkan kepada mereka mareka Bani Isra’il
di dalam kitab Taurat. Penekanan ini disamping bertujuan membuktikan
betapa mereka melanggar ketentuan-ketentuan hukum yang ada dalam kitab suci
mereka, juga untuk menekankan bahwa prinsipprinsip yang ditetapkan oleh Al Qur’an
ini pada hakekatnya serupa dengan prinsip-prinsip yang ditetapkan
Allah terhadap umat-umat yang lalu. Dengan demikian diharapkan ketentuan
hukum tersebut dapat diterima dan dilaksanakan oleh semua umat termasuk umat
Islam.[7]
Penafsiran dalam penutupan ayat
ini, ” Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut
apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orangorang yang zalim” mengesankan
bahwa anjuran memberi maaf bukan berarti melecehkan hukum Qishas karena
hukum ini mengandung tujuan yang sangat agung, antara lain menghalangi
siapapun melakukan penganiayaan, mengobati hati yang teraniaya atau
keluarganya, menghalangi adanya balas dendam dan lainlain. Sehingga jika hukum ini
dilecehkan maka kemaslahatan itu tidak akan tercapai dan ketika itu dapat
terjadi kedzaliman. Oleh sebab itu putuskanlah perkara sesuai dengan yang
diperintahkan oleh Allah, memberi maaf atau melaksanakan qishash. Karena
barang siapa yang tidak melaksanakan hal tersebut yakni tidak memberi maaf atau
tidak menegakkan pembalasan yang seimbang, maka dia termasuk orang yang
zalim.
Disamping dasar pengampunan dari
Al Qu‘ran Selain itu terdapat pula dalam hadits yang diriwayatkan
dari Anas bin Malik ra dan HR Ahmad, Abu Daud, An Nasa-Ydan Ibnu Majah; Al
Muntaqa yaitu:
Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma'il berkata, telah menceritakan kepada kami Abdullah bin bakr bin Abdullah Al Muzani dari Atha bin Abu Maimunah dari Anas bin Malik ia berkata, "Aku tidak pernah melihat Nabi shallAllahu 'alaihi wasallam mendapat pengaduan yang padanya ada Qishas, kecuali beliau menganjurkan untuk memaafkan." ( HR.Ahmad Abu Daud 4497 )[8]
[1]
Tim
Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta :
Balai Pustaka,
2005. h. 945
[2] Soedarsono, Kamus
Hukum, Jakarta : Rhineka Cipta, 1992. h.402
[3]
Sayyid
Sabiq (ed.), Fiqih Sunah, Diterjemahkan Oleh Nor Hasanuddin Dari ”Fiqhus Sunah”, Jakarta : Pena Pundi
Aksara.2006.h.419
[4]
Abdul Qadir
Audah ( ed ), Ensiklopedia Hukum Pidana Islam, Diterjemahkan Oleh Ahsin Sakho Muhammad dkk dari. “Al
tasryi’ Al-jina’I Al-Islami” Jakarta: PT Kharisma
Ilmu. 2008. h.168
[5]
Abdurrahman
Kasdi Dan Umma Farida , Tafsir Ayat-Ayat Yaa Ayyuhal-Ladziina Aamanuu 1, Jakarta :
Pustaka Al Kautsar, 2005. h. 63
[6]
Ibid, h. 64
[7]
M. Quraishi
Shihab, Tafsir Al Misbah, Pesan, Kesan Dan Keserasian Al Quran, Jakarta
: Lentera
Hati, 2002. h.107
[8] Abu Daud
Sulaiman, Sunan Abi Daud, Beirut-Lebanon: Dar Al-Kotob Al Ilmiyah 173