Yurisdiksi Negara dalam Hukum Internasional
Wednesday, 24 August 2016
1. Pengertian yurisdiksi negara
Yurisdiksi adalah kekuasaan atau
kompetensi hukum negara terhadap orang, benda atau peristiwa (hukum).
Yurisdiksi negara (state jurisdiction) tidak dapat dipisahkan dari asas kedaulatan
negara (state souvereignty), konsekuensi
logis dari asas kedaulatan negara,
karena negara memiliki kedaulatan atau kekuasaan tertinggi dalam batas-batas
teritorialnya (territorial souvereignty).
Pengertian yurisdiksi negara jauh
lebih luas daripada pengertian kedaulatan negara, sebab tidak hanya
terbatas pada apa yang dinamakan yurisdiksi teritorial sebagai konsekuensi adanya
kedaulatan teritorial, akan tetapi juga mencakup yurisdiksi negara yang bukan
yurisdiksi teritorial (yurisdiksi ekstra teritorial atau extra territorial jurisdiction) yang
eksistensinya bersumber dari hukum internasional, seperti yurisdiksi
negara pada jalur tambahan, ZEE, landas kontinen, laut bebas, ruang
angkasa dan sebagainya.
- legislatif, yaitu kekuasaan untuk membuat atau menetapkan peraturan atau keputusan-keputusan;
- eksekutif, yaitu kekuasaan untuk memaksakan agar orang (benda atau peristiwa) menaati peraturan (hukum) yang berlaku;
- yudikatif, yaitu kekuasaan untuk mengadili orang, berdasarkan atas suatu peristiwa.
Yurisdiksi yang dimiliki oleh
suatu negara dapat berupa bentuk-bentuk sebagai berikut:
- Prinsip teritorial
Setiap negara memiliki yurisdiksi
terhadap kejahatan-kejahatan yang dilakukan di dalam wilayah teritorialnya.
Menurut Starke, yurisdiksi ini dapat diartikan sebagai hak, kekuasaan atau kewenangan
yang dimiliki oleh suatu negara untuk membuat peraturan-peraturan hukum,
melaksanakan dan memaksakan berlakunya peraturan-peraturan tersebut
dalam hubungannya dengan orang, benda, hal atau masalah yang berada dan atau
terjadi di dalam batas-batas wilayah dari negara yang bersangkutan.
Dalam hukum internasional,
dikenal adanya perluasan yurisdiksi teritorial (the extention of territorial jurisdiction) yang timbul
akibat kemajuan iptek, khususnya teknologi transportasi,
komunikasi dan informasi serta hasil-hasilnya. Kemajuan iptek ini ditampung dan
diakomodasi oleh masyarakat dan hukum internasional, guna
mengantisipasi pemanfaatan dan penyalahgunaan hasil-hasil iptek ini oleh orang-orang yang
terlibat dalam pelanggaran hukum maupun tindak pidana di dalam wilayah suatu negara.
Perluasan yurisdiksi teritorial
mempergunakan dua pendekatan:
- Prinsip teritorial subyektif (the subjective territorial principle)
Prinsip ini memperkenankan suatu
negara untuk mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya terhadap suatu
tindak pidana yang mulai dilakukan atau terjadi di dalam wilayah negaranya
walaupun berakhir atau diselesaikan di negara lain.
- Prinsip teritorial obyektif (the objective territorial principle)
Memperkenankan suatu negara untuk
mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya terhadap suatu
tindak pidana yang terjadi di luar negeri (negara lain), tetapi berakhir atau
diselesaikan dan membahayakan negaranya sendiri.
- Yurisdiksi dengan prinsip personal (nasionalitas)
Dalam hukum internasional diakui
atau dikenal adanya yurisdiksi personal atau yurisdiksi perseorangan (personal jurisdiction). Suatu negara
dapat mengklaim yurisdiksinya berdasarkan azas
personalitas (jurisdiction according to
personality principle). Yurisdiksi personal adalah yurisdiksi
terhadap seseorang, apakah dia adalah warganegara atau orang
asing.
Dalam hal ini orang yang
bersangkutan tidak berada dalam wilayahnya atau dalam batas-batas teritorial dari
negara yang mengklaim yurisdiksi tersebut. Negara yang mengklaim atau menyatakan
yurisdiksinya baru dapat menjalankan yurisdiksi atau kekuasaan hukumnya apabila orang
yang bersangkutan sudah datang dan berada dalam batas-batas teritorialnya,
apakah dia datang dengan cara suka rela atau dengan cara terpaksa, misalnya
melalui proses ekstradisi.
Yurisdiksi dengan prinsip
nasional ini terdiri dari dua bagian, yaitu:
- Prinsip nasionalitas aktif (active nationality principle)
Yurisdiksi negara berdasarkan
prinsip nasionalitas aktif, memperkenankan suatu negara untuk mengklaim dan
menyatakan yurisdiksinya terhadap suatu tindak pidana apabila orang yang
melakukan tindak pidana atau orang yang bersalah adalah warga negaranya sendiri.
Hal ini disebabkan karena hukum nasional dari suatu negara akan selalu
mengikuti warga negaranya dimanapun dia berada dan kemanapun dia pergi. Dalam hal
mengadili ini, pelaku tindak pidana harus diekstradisikan terlebih dahulu
ke negaranya.
- Prinsip nasionalitas pasif (passive nationality principle)
Memperkenankan suatu negara untuk
mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya terhadap suatu tindak pidana yang
terjadi di luar negeri apabila pelakunya adalah orang asing, tetapi korbannya
adalah warga negaranya sendiri. Orang asing yang melakukan tindak pidana di luar
negeri dan merugikan warga negara dari suatu negara, maka negara korban dapat
mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya berdasarkan azas personalitas,
dalam hal ini azas nasionalitas pasif. Negara yang bersangkutan baru dapat
menjalankan yurisdiksinya secara efektif apabila pelakunya sudah datang dan berada
di dalam wilayahnya.
- Yurisdiksi dengan prinsip perlindungan
Berdasarkan yurisdiksi dengan
prinsip perlindungan ini, suatu negara dapat melaksanakan yurisdiksinya
terhadap warga negara asing yang melakukan kejahatan di luar negeri yang
diduga dapat mengancam kepentingan keamanan, integritas dan kemerdekaannya.
Misalnya, berkomplot untuk menggulingkan pemerintahannya, menyelundupkan
mata uang asing, kegiatan spionase, atau perbuatan yang melanggar
perundang-undangan imigrasinya.
Prinsip ini dibenarkan atas dasar
perlindungan kepentingan negara yang sangat vital. Hal ini dibenarkan karena
pelaku bisa saja melakukan suatu tindak pidana yang menurut hukum dimana ia tinggal
tidak dikategorikan sebagai tindak pidana, dan manakala ekstradisi
terhadapnya tidak dimungkinkan (ditolak) bila tindak pidana tersebut termasuk
kejahatan politik.
- Yurisdiksi dengan prinsip universal
Hukum internasional mengakui
adanya yurisdiksi berdasarkan azas universal (universal jurisdiction). Semua negara
tanpa terkecuali dapat mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya
berdasarkan azas universal. Terdapat tindak-tindak pidana tertentu yang karena sifat
atau karakternya memungkinkan atau memperkenankan semua negara tanpa
terkecuali untuk mengklaim dan menyatakan kewenangannya atas
suatu tindak pidana yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan
keadilan tanpa menghiraukan siapa pelakunya (warganegaranya sendiri atau
orang asing), siapa korbannya (warganegaranya sendiri atau orang asing), juga
tanpa menghiraukan tempat terjadinya maupun waktu terjadinya.
Tindak-tindak pidana yang
dimaksudkan antara lain adalah kejahatan perang (war crimes), kejahatan terhadap perdamaian dunia (crimes against international peace), kejahatan kemanusiaan (crimes against humanity), perompakan
laut (piracy), pembajakan udara (hijacking),
kejahatan terorisme (terrorism) dan berbagai kejahatan kemanusiaan
lainnya yang dinilai dapat membahayakan nilainilai kemanusiaan dan keadilan.
Dalam hubungan ini sering tidak
dapat dihindari adanya persaingan yurisdiksi di antara berbagai negara yang
mempunyai kepentingan, yaitu antara negara tempat terjadinya suatu tindak pidana
seperti itu dengan negara korban, negara tempat pelakunya berada atau melarikan
diri dan sebagainya. Untuk dapat mengklaim dan menyatakan yurisdiksi terhadap
tindak pidana seperti itu, maka negara-negara yang berkepentingan masing-masing
seharusnya telah membuat peraturan peraturan hukum nasional yang dapat
digunakan untuk menangani tindak pidana seperti itu.
2. Yurisdiksi kriminal
Orang–orang yang berada di atas
kapal asing yang memasuki perairan suatu negara pantai, berada di bawah
yurisdiksi otoritas setempat jika melakukan suatu delik. Namun demikian, hal yang
hanya menyangkut soal tata tertib intern dan disiplin di dalam kapal biasanya
diserahkan penyelesaiannya pada otoritas negara bendera.
Para awak kapal yang berada di
atas kapal perang negara asing adalah kebal terhadap tindakan penahanan dan
pemeriksaan pemerintah negara pantai sehubungan dengan delik yang
terjadi di atas kapal itu, sekalipun akibat dari kejahatan itu merembes keluar
dari kapal tersebut. Walaupun belum terdapat aturan dalam hukum internasional
yang telah mendapat pengakuan umum, yang meluaskan berlakunya imunitas
tersebut sehingga mencakup orang-orang yang berada di atas kapal pemerintah
lainnya yang tidak dapat dikategorikan sebagai kapal perang, namun telah menjadi
suatu kebiasaan, sejauh mengenai orang-orang yang berada di atas kapal niaga
pemerintah asing orang tersebut tidak luput dari yurisdiksi teritorial negara
pantai sehubungan dengan tindak pidana yang dilakukan oleh mereka, baik di
atas kapal maupun di daratan.
Terdapat kecenderungan bahwa pada
umumnya suatu negara tidak dapat mencampuri kasus kejahatan ringan
yang terjadi di atas kapal atau hal lain yang hanya menyangkut soal disiplin
intern kapal pemerintah itu. Demikian pun halnya terhadap suatu kapal niaga asing.
3. Penerapan hukum di laut
Penerapan hukum adalah suatu
proses pelaksanaan aturan-aturan, sampai pengadilan menjatuhkan hukuman
yang mempunyai kekuatan hukum. Proses tersebut adalah kegiatan yang
berkaitan satu sama lain.
Kebanyakan delik yang terjadi
adalah di perairan pedalaman terutama di bandar suatu negara. Bilamana suatu
kapal niaga memasuki perairan pedalaman suatu negara pantai yang berdaulat
penuh, baik negara pantai maupun negara bendera dapat bersaingan yurisdiksi di
atas kapal tersebut yang berada di pelabuhan negara pantai. Konflik hukum tersebut
dilandasi oleh dua macam prinsip hukum internasional yang masing-masing
sudah mantap kedudukannya, yaitu prinsip mengenai yurisdiksi teritorial
negara pantai dan yurisdiksi kuasi teritorial negara bendera atas kapal dan awaknya.
Di satu pihak, negara bendera mempunyai yurisdiksi terhadap kapal dan
awaknya meskipun berada di luar wilayahnya, dan di lain pihak negara pantai dapat
menerapkan yurisdiksinya terhadap kapal asing yang berada di wilayah
perairannya.
Rujukan:
- Djuang Harahap, Mustafa. 1983. Yurisdiksi Kriminal di Perairan Indonesia yang Berkaitan dengan Hukum Internasional. Alumni: Bandung.
- Djuang Harahap, Mustafa. 1983. Yurisdiksi Kriminal di Perairan Indonesia yang berkaitan dengan Hukum Internasional. Alumni: Bandung.
- Adolf, Huala. 1990. Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional. PT RajaGrafindo Persada: Jakarta.