Definisi Saksi dan Korban
Friday, 9 September 2016
Definisi Saksi
Pembuktian tentang benar tidaknya
seorang terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian yang
terpenting dari acara pidana. Sebagaimana diketahui bahwa suatu
keberhasilan dari suatu proses peradilan pidana sangat bergantung dari pada alat bukti
yang berhasil dimunculkan dalam suatu proses persidangan terutama alat bukti
yang berkenaan dengan saksi. Saksi merupakan alat bukti atau unsur yang paling
penting dari sebuah proses pembuktian dalam proses persidangan suatu perkara.
Saksi merupakan kunci utama dalam
membuktikan kebenaran dalam suatu proses persidangan karena dapat
dikatakan bahwa keterangan dari saksi merupakan alat bukti yang utama dari suatu
perkara pidana sebab tidak ada perkara pidana yang luput dari pembuktian dari
keterangan saksi. Hampir semua sumber pembuktian perkara pidana selalu bersumber
dari keterangan saksi walaupun selain dari keterangan dari saksi masih ada
alat bukti yang lain namun, pembuktian dengan menggunakan keterangan saksi
masih sangat diperlukan. Hal ini dapat dilihat dari Pasal 184 – 185 KUHAP yang
menerapkan keterangan saksi pada urutan pertama hal ini juga dikarenakan
keterangan saksi merupakan alat bukti yang pertama kalinya diperiksa dalam tahap
pembuktian didalam persidangan.

Keterangan saksi sebagai alat
bukti yang salah harus dibedakan apakah termasuk keterangan saksi sebagaimana
tercantum pada Pasal 184 ayat (1) KUHAP atau sebagai “petunjuk” sebagaimana
dimaksud Pasal 184 ayat (1)d KUHAP.
Pengertian saksi dalam Undang -
Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban ini
menggunakan konsep tentang pengertian saksi seperti yang diatur oleh KUHAP
yang membedakan adalah jika dalam KUHAP seseorang disebut sebagai saksi
adalah pada tahap penyidikan sedangkan pada Undang – Undang Nomor 13 tahun
2006 ini seseorang disebut sebagai saksi semenjak tahap penyelidikan
dimulai.
Pasal 1 butir 26 dan 27 KUHAP
diatur mengenai pengertian Saksi serta Keterangan Saksi.
Pasal 1 butir 26 KUHAP
menyatakan:
Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan alami sendiri.”
Pasal 1 butir 27 KUHAP
menyatakan:
Keterangan Saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri dan alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.”
Berdasarkan kajian teoretik dan
praktik dapat disimpulkan bahwa menjadi seorang saksi merupakan kewajiban hukum
bagi setiap orang. Apabila orang itu memang benar-benar mengetahui atas telah
terjadinya suatu tindak pidana. Seseorang dipanggil menjadi saksi, tetapi
menolak/tidak mau hadir di depan persidangan, saksi tersebut dapat
diperintahkan supaya menghadap ke persidangan, hal ini sesuai dengan Pasal 159 ayat (2)
KUHAP.
Dalam hal saksi tidak hadir, meskipun telah dipanggil dengan sah dan hakim ketua sidang mempunyai cukup alasan untuk manyangka bahwa saksi itu tidak akan mau hadir, maka hakim ketua sidang dapat memerintahkan supaya saksi tersebut dihadapkan kepersidangan.”
Keterangan seorang saksi dalam
hukum pidana tidak langsung saja dapat di jadikan alat bukti yang sah,
karena begitu pentingnya keterangan seorang saksi maka agar dapat diterima sebagai
alat bukti yang sah harus lah sesuai dengan ketentuan yang dinyatakan dalam
Pasal 185 KUHAP.
Pasal 185 KUHAP:
- Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan;
- Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya;
- Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya;
- Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri - sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu;
- Baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi;
- Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan sungguh - sunggguh memperhatikan:
- Persesuaian antara keterangan saksi atau satu dengan yang lain;
- Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain;
- Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu;
- Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada
- umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.
- Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai keterangan saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.
Umumnya semua orang dapat
dijadikan saksi namun, ada orang – orang tertentu yang tidak dapat dijadikan saksi
yaitu terdapat pada Pasal 168 KUHAP dimana pada Pasal tersebut dijelaskan
orang – orang yang tidak dapat di jadikan seorang saksi suatu perkara pidana dalam
suatu proses persidangan yaitu:
- Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau bersama-sama sebagai terdakwa;
- Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga;
- Suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersamasama sebagai terdakwa.
Pasal 171 KUHAP ditambahkan
kekecualian untuk memberikan kesaksian dibawah sumpah yaitu:
- Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin;
- Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun ingatannya baik kembali.
Pasal 170 KUHAP yang menyatakan:
mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka”.
Adapun jenis – jenis saksi dalam peradilan
pidana yaitu:
- Saksi a charge ( Memberatkan )
Pada dasarnya menurut sifat dan
eksistensinya maka keterangan saksi a charge adalah keterangan seorang saksi
dengan memberatkan terdakwa dan terdapat dalam beberapa perkara serta
lazim diajukan oleh Jaksa/Penuntut Umum. Saksi a charge ini dicantumkan
Jaksa/Penuntut Umum dalam surat dakwaannya. Hal ini dilakukan oleh Jaksa karena
nantinya di persidangan ia harus dapat membuktikan semua tuntutan yang di jatuhkan
kepada terdakwa
- Saksi A de Charge ( Meringankan )
Merupakan saksi yang meringankan
bagi tersangka/terdakwa atau saksi yang tidak menguatkan bahwa tersangka itu
melakukan tindak pidana. Saksi meringankan ini diajukan oleh terdakwa pada saat
persidangan di Pengadilan. Hal ini sesuai dengan Pasal 65 KUHAP yang
mengatakan bahwa tersangka atau terdakwa berhak mengusahakan dan
mengajukan saksi dan atau sesorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan
keterangan yang menguntungkan baginya. Jaksa Penuntut Umum dapat
menyatakan keberatan terhadap saksi – saksi a de charge ini namun
keberatan itu harus di sertai dengan alasan – alasan yang dapat diterima.
- Saksi Korban ( Mengalami sendiri )
Korban dari suatu tindak pidana
berhak mengajukan laporan kepada penyidik atau penyelidik. Korban dapat
dijadikan sebagai saksi yang umumnya disebut dengan saksi korban. Saksi korban ini
dapat memberikan keterangan mengenai kejadian atau tindak pidana yang
dialaminya sendiri.
- Saksi Pelapor ( Mendengar/melihat sendiri)
Saksi pelapor merupakan orang
yang bukan sebagai korban tindak pidana, tetapi ia adalah orang yang melihat
sendiri, mendengar sendiri sacara langsung kejadian itu dan bukan diketahui oleh
orang lain. Orang – orang yang menjadi saksi
ini adalah seseorang yang memberikan laporan kepada aparat kepolisian bahwa
telah terjadi suatu tindak pidana di suatu tempat atau dapat juga seseorang yang
berada di tempat kejadian perkara tersebut.
- Saksi Mahkota ( Yang bersama menjaadi terdakwa )
Saksi mahkota adalah saksi yang
berasal dari atau diambil dari salah seorang tersangka atau terdakwa lainnya
yang bersama – sama melakukan perbuatan pidana, dan dalam hal mana kepada
saksi tersebut diberikan mahkota. Mahkota yang diberikan kepada
saksi yang berstatus terdakwa tersebut adalah dalam bentuk ditiadakan
penuntutan terhadap perkaranya atau diberikannya suatu tuntutan yang sangat ringan
apabila perkaranya dilimpahkan ke Pengadilan atau dimaafkan atas kesalahan yang
pernah dilakukan. Namun demikian kelemahan dari pemeriksaan seperti ini
sering mengakibatkan terjadinya keterangan saksi palsu, sehingga ada kemungkinan
yang timbul para terdakwa yang diperiksa menjadi saksi mahkota akan saling
memberatkan atau meringankan.
- Saksi Testamonium de Auditu
Saksi Testamonium de Auditu merupakan
saksi yang menerangkan tentang apa yang didengarnya mengenai suatu
tindak pidana dari orang lain. Sebenarnya saksi Testamonium de
Auditu bukan
merupakan alat bukti yang sah dalam suatu proses perkara pidana di persidangan
sebab saksi Testamonium de Auditu ini tidak melihat atau mendengar sendiri
suatu tindak pidana yang telah terjadi saksi ini hanya mendengar keterangan dari
orang lain walaupun saksi ini tidak mendengar secara langsung mengenai telah
terjadinya suatu tindak pidana tetapi saksi Testamonium de
Auditu ini
perlu pula didengar oleh Hakim, walaupun tidak mempunyai nilai sebagai bukti
kesaksian, tetapi dapat memperkuat keyakinan Hakim yang bersumber kepada dua
alat bukti yang lain. Saksi Testamonium de Auditu ini dapat
dijadikan alat bukti yang sah jika tidak ada alat bukti lain.
Definisi Korban
Terjadinya suatu tindak pidana
dalam masyarakat mengakibatkan adanya korban tindak pidana dan juga pelaku
tindak pidana. Dimana dalam terjadinya suatu tindak pidana ini tentunya yang
sangat dirugikan adalah korban dari tindak pidana tersebut. Ada beberapa pengertian
mengenai korban, pengertian ini diambil dari beberapa penjelasan peraturan
perundang – perundangan yaitu:
Menurut Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2006 Pasal 1 butir 2 menyatakan bahwa pengertian korban adalah:
Seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana”
Menurut Resolusi Majelis Umum PBB
No. 40/34 Tahun 1985 pengertian korban adalah:
orang - orang, baik secara individual maupun kolektif, yang menderita kerugian akibat perbuatan atau tidak berbuat yang melanggar hukum pidana yang berlaku disuatu negara, termasuk peraturan yang melarang penyalahgunaan kekuasaan.”
Pengertian tentang korban juga
dapat dilihat dalam PP Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Pemberian
Perlindungan Kepada Saksi dan Korban Pelanggaran HAM Berat yaitu menyatakan bahwa
korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami
penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang
memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan
kekerasan dari pihak manapun.
Korban juga dapat merupakan pihak
yang sifatnya secara kolektif dan hanya bersifat perseorangan. Sebab,
akibat terjadinya suatu tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa
mengakibatkan jatuhnya korban yang bisa saja tidak hanya satu orang namun bisa saja
korban dari tindak pidana tersebut lebih dari satu orang. Korban suatu tindak
pidana ini dapat melaporkan secara langsung perkara pidana yang telah menimpa
dirinya kepada pihak yang berwenang yaitu pihak kepolisian.
Korban dalam suatu tindak pidana
berhak untuk medapatkan perlindungan baik itu bagi dirinya sendiri maupun
untuk keluarganya. Mardjono Reksodipuro mengemukakan
beberapa alasan mengapa korban memerlukan hak untuk mendapatkan
perlindungan diantaranya adalah:
- sistem peradilan pidana dianggap terlalu memberikan perhatian pada permasalahan dan peran pelaku kejahatan;
- terdapat potensi informasi dari korban untuk memperjelas dan melengkapi penafsiran tentang statistik kriminal melalui riset tentang korban dan harus dipahami bahwa korbanlah yang menggerakkan mekanisme sistem peradilan pidana;
- semakin disadari bahwa selain korban kejahatan konvensional, tidak kurang pentingnya untuk memberikan perhatian kepada korban kejahatan non konvensional maupun korban penyalahgunaan kekuasaan.
Berdasarkan alasan-alasan
tersebut memang sudah seharusnya korban mendapatkan haknya untuk perlindungan.