Maqashid menurut Imam Ibn Taimiyyah (wafat th 728 H)
Friday, 9 September 2016
SUDUT HUKUM | Taqiy al-Din Ibn Taimiyyah lahir
pada 661 H di Hiran, daerah diselatan timur Turki. Sejak kecil Ibn Taimiyyah
dibesarkan dalam atmosfir keluarga pencinta ilmu agama dan fiqh ayahnya ahli
agama bernama Abd al-Halim sedang kakenya Majd al-Din Abu al-Barakat adalah
ulama ushul yang menulis buku muntaqa al-ahbar. Para teorikus maqashid
menilai bahwa agama memiliki tujuan mulia untuk manusaia.
Tujuan itu lalu diretas dalam
tiga maslahat: primer, skunder dan suplementer. Kemudian pada maslahat primer
mencangkup lima hal: melindungi agama, jiwa keturunan, akal dan harta. Kelima
hak primer yang wajib dilindungi itu dikuatkan dengan adanya sanksi atau
hukuman bagi pelanggarnya.
Secara garis besar Ibnu Taimiyyah
menolak pembagian tiga maslahat manusia tersebut. Penolakan itu mengandaikan
maslahat tersebut hanya dibatasi karena adanya sanksi. Misalnya hukuman rajam bagi
pezina, hudud bagi peminum khamer, qishash bagi pencuri dan lain sebagainya.
Maslahat yang dikaitkan dengan saknsi badani sama halnya menyederhanakan
konteks luas maslahat menjadi maslahat fisik.
Ibnu Taimiyyah kemudian
mengkritisai lima hak primer yang menyangkut kepentingan manusia di dunia.
Kelima hak tersebut dapat dikategorikan al-maslahah al-mursalah yang intinya jallb
al-mashalih wa daf’ al-madlar, atau upaya mendatangkan maslahat dan
menghindari keburukan. Menurut Ibn Taimiyyah kelima pembagian hak primer yang dikaitkan
dengan sanksi hudud hanya menekankan daf al-madlar saja.
Baca Juga
Dari penjaelasan diatas dapat
ditarik kesimpulan dasar Maqashid al_syari’ah bagi Ibnu Taimiyyah adalah
lebih mengutamakank al-Maslahah al-Mursalah, terlebih pada penekanan jalb
al-mashalih. Maslahat tidak dibatasai semata-mata dengan hudud. Bagi Ibnu Taimiyyah,
Jalb al-mahalih atau mendatangkan maslahat lebih penting dari pada daf
al-madlar atau mencegah kemudharatan.