Ketentuan Sanksi Tindak Pidana Perjudian
Friday, 9 September 2016
SUDUT HUKUM | Pembahasan
mengenai kebijakan sanksi pidana dalam UU No. 7 Tahun
1974 tentang Penertiban Perjudian akan meliputi, pengaturan jenisjenis sanksi
dan pengaturan tentang berat ringannya pidana.
Pengaturan jenis-jenis sanksi
Khusus
sistem sanksi pidana tentang tindak pidana perjudian tetap mengacu
pada aturan umum yang terdapat dalam Pasal 10 KUHP yang mengatur
jenis-jenis pidana, meliputi pidana pokok dan pidana tambahan.
Pidana
pokok terdiri atas :
Baca Juga
- Pidana mati,
- Pidana penjara,
- Kurungan,
- Denda,
- Pidana tutupan.
Sedangkan
pidana tambahan terdiri atas :
- Pencabutan hak-hak tertentu,
- Perampasan barang-barang tertentu,
- Pengumuman keputusan hakim.[1]
Pasal
2 UU No. 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian, mengatur
tentang sanksi pidana, yang berbunyi:
- Merubah ancaman hukuman dalam pasal 303 ayat (1) Kitab Undangundang Hukum Pidana, dari hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya sembilan puluh ribu rupiah menjadi hukuman penjara selama-lamanya sepuluh tahun atau denda sebanyak-banyaknya dua puluh lima juta rupiah.
- Merubah ancaman hukuman dalam pasal 542 ayat (1) Kitab Undangundang Hukum Pidana, dari hukuman kurungan selama-lamanya satu bulan atau denda sebanyak-banyaknya empat ribu lima ratus rupiah, menjadi hukuman penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya sepuluh juta rupiah.
- Merubah ancaman hukuman dalam pasal 542 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dari hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah menjadi hukuman penjara selama-lamanya enam tahun atau denda sebanyak-banyaknya lima belas juta rupiah.
- Merubah sebutan pasal 542 menjadi pasal 303 bis.
Pasal
303 bis ini semula adalah pasal 542 yang ancaman pidananya lebih
rendah yaitu pidana kurungan paling lama satu bulan atau pidana denda
paling banyak tiga ratus ribu rupiah dan dengan diundangkannya UU
No. 7 Tahun 1974 pasal 542 diganti dengan pasal 303 bis dengan ancaman
pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak
sepuluh juta rupiah. Ini berarti perjudian dalam bentuk pelanggaran
dalam pasal 542 tersebut dinyatakan sebagai tindak pidana kejahatan.
Jika
dicermati beberapa pokok perubahan tersebut bukan pada penambahan
atau pengurangan jenis sanksi melainkan hanya merubah berat
atau ringannya sanksi pidana yang akan dikenakan pada si pembuat. Atau
dengan kata lain UU ini hanya peraturan yang menambahkan ketentuan
tentang bobot sanksi dalam KUHP khususnya pasal 303 (1), pasal
542 (1) dan pasal 542 (3). Dengan demikian sistem sanksinya tidak berbeda
dengan sistem yang ada dalam KUHP.
Dalam
ketentuan UU No. 7 Tahun 1974 tidak mengatur tersendiri mengenai
jenis-jenis pidana tambahan. Maka, ketentuan pidana tambahan dalam
pasal 10 KUHP tidak secara otomatis berlaku. Hal tersebut sejalan dengan
pendapat Barda nawawi Arief yang menyatakan,” walaupun pidana
tambahan diatur dalam aturan umum, namun menurut sistem KUHP
untuk jenis-jenis pidana tambahan hanya diancamkan untuk jenisjenis pidana
tertentu. Apabila dalam aturan khusus perumusan delik yang bersangkutan,
tidak mencantumkan secara tegas maka pidana tambahan itu
tidak
dapat dijatuhkan. Khususnya untuk pidana tambahan berupa pengumuman
putusan hakim, KUHP antara lain menyebutkan secara tegas dalam
pasal 128 (3), 206 (2), 361, 377 (1), 395 (1) dan 405 (2).[2]
Pengaturan tentang berat ringannya pidana (Straf
Maat)
Sistem
hukum pidana materiil yang saat ini berlaku di Indonesia, terdiri
dari keseluruhan sistem peraturan perundang-undangan yang ada di dalam
KUHP (sebagai induk aturan umum) dan Undang-undang khusus di luar
KUHP. Keseluruhan peraturan perundang-undangan dibidang hukum pidana
subtanstif itu, terdiri dari aturan umum (general
rules) dan aturan khusus.
Aturan
umum terdapat di dalam KUHP (Buku 1), dan aturan khusus
terdapat didalam KUHP (Buku II dan Buku III) maupun dalam Undang-undang
khusus diluar KUHP.[3]
Aturan
khusus ini pada umumnya memuat
perumusan tindak pidana tertentu, namun dapat pula memuat aturan
khusus yang menyimpang dari aturan umum. Tidak terkecuali dengan
lahirnya UU No. 7 Tahun 1974. Namun karena peratuan perundang-undangan
tersebut tidak mengatur secara khusus berat atau ringannya
pidana yang menyimpang dari KUHP maka ketentuan yang ada pada
Buku 1 KUHP otomatis akan berlaku. Seperti ketentuan minimum umum
pidana penjara berdasarkan pasal 12 ayat (2) KUHP adalah satu hari,
pidana kurungan berdasarkan pasal 18 ayat (1) KUHP jo. pasal 1 UU No.
18 prp 1960 yang menentukan denda paling sedikit adalah 25 sen.
Dalam
UU No. 7 Tahun 1974 ada kecenderungan memformulasikan
pidana denda dalam jumlah yang cukup besar (puluhan juta
rupiah) dengan sistem maksimum khusus. Namun penetapan pidana denda
tersebut dikhawatirkan tidak akan efektif dan dapat menimbulkan masalah,
karena tidak ada ketentuan yang mengatur secara khusus pelaksanaan
dalam UU tersebut mengenai pelaksanaan pidana denda atau pedoman
pemidanaan, baik itu tata cara pembayaran dengan tunai dan kapan
batas akhir dari pembayaran. Konsekuensi apa saja yang bisa dijatuhkan
apabila jumlah denda yang dibayarkan tidak sesuai dengan jumlah
yang ditetapkan atau dikenakan.
UU tersebut tidak mengatur secara khusus pelaksanaan ancaman pidana denda. Maka secara otomatis berlaku ketentuan umum dalam KUHP (pasal 30) sebagai sistem induk, bahwa maksimum pidana kurungan pengganti adalah 6 (enam) bulan atau dapat menjadi maksimum 8 (delapan) bulan apabila ada pemberatan recediviel konkursus. Dengan demikian kemungkinan ancaman besar pidana denda
UU tersebut tidak mengatur secara khusus pelaksanaan ancaman pidana denda. Maka secara otomatis berlaku ketentuan umum dalam KUHP (pasal 30) sebagai sistem induk, bahwa maksimum pidana kurungan pengganti adalah 6 (enam) bulan atau dapat menjadi maksimum 8 (delapan) bulan apabila ada pemberatan recediviel konkursus. Dengan demikian kemungkinan ancaman besar pidana denda
yang
sangat besar itu tidak akan efektif, karena kalau tidak dibayar palingpaling hanya
terkena pidana kurungan pengganti 6 (enam) bulan atau 8 (delapan)
bulan. Oleh karena itu kemungkinan besar dendanya tidak akan dibayar.
Hal
tersebut terlihat dalam ketentuan dalam pasal 30 KUHP yang memungkinakan
lamanya ancaman pidana kurungan pengganti denda hanya
selama 6 bulan dan paling lama 8 bulan (pasal 542 KUHP) inipun apabila
ada pemberatan. Ini jelas tidak sesuai dengan ancaman yang mencapai
puluhan juta rupiah, apakah masih sepadan dengan hukuman yang
hanya sekian bulan dan pada saat sekarang sangat tidak sesuai. Hal-hal inilah yang perlu
diperhatikan dalam formulasi pidana denda kedepan.
[1] Adami
Chazawi, Hukum Pidana 1,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002, hlm.26
[2]
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni Bandung, hlm. 142
[3]
Barda Nawawi Arief, Kapita
Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2003.hlm. 262